Langsung ke konten utama

Corat Coret Di Toilet - Eka Kurniawan

Slamet Selepas Lebaran

Survivor Gunung Slamet

Aku adalah diaspora Jawa yang merindu pada tanah leluhur di timur sungai Citandui, dimana masyarakatnya lebih memilih mendoan sebagai lauk utamanya hingga terbentuk pada logat ngapak. Di situlah dimana tanah menjulang tinggi hingga 3428 di atas aras laut hingga memberikan aliran Serayu yang panjang nun jauh hingga bertemu pada pelataran Sri Ratu Kidul. Aku tidak terlahir dan tercipta dari tanah gunung Slamet, namun ada sedikit ladu yang terbawa hingga sel pembangun tubuhku yang berasal dari sana. Sebagian dariku adalah Parahyangan karena aku tercipta dan terlahir di tanah pegunungan yang dicipta saat Shyang Hyang Widi sedang tersenyum. 

Kerinduan diaspora selalu hadir baik dalam lidah, telinga maupun kulit terlalu rindu untuk memeluk tanah leluhur. Sejatinya setahun sekali hingga tiga kali menjenguk tanah leluhur dimana para kerabat masih bernafas di sana. Aura dan pesonanya tak akan hilang untuk seorang keturunan seperti diriku yang selalu merindu, namun tak mau untuk kembali padanya. Karena hatiku sudah di Parahyangan. 

Pada momen lebaran adalah sesuatu yang sangat wajib untuk kembali pada kampung halaman untuk bertemu saudara-mara, untuk mencium wangi tanah, untuk saling sapa dengan saudara sesama manusia di sana. Hanya akulah yang tidak berniat untuk pergi ke Maos atau Kroya untuk saling mengurai rindu, nampaknya aku pasrah pada rindu yang terikat di Parahyangan. Biarkan rindu itu lepas satu persatu saat acara pernikahan sepupu di hari ke empat selepas lebaran, dengan alasan itu kakiku enggan beranjak untuk pergi. Guliran waktu terhitung begitu teratur seperti putaran roda mesin pembuat harum manis, begitu pun rindu pada saudara terurai dari belitan dalam hati, hanya saja kerinduan pada aroma tanah leluhur belum terbalas, hingga aku berdoa untuk menggapai kenikmatan indra-ku.

Miftah Sehari Menjelang Pendakian

Tawaran-tawaran perontok uang datang silih berganti mulai dari Iman yang mengajak untuk berkemah di gunung Cikuray, pantai Menganti yang di-inisiasi oleh Imam, dan gunung Guntur tawaran mentah dari Miftah. Semua tertolak sempurna kecuali, tawaran Miftah. Ada transaksi dalam chat yang cukup lama dengan Miftah hingga berujung tukar destinasi! Saya menyetujui tawaran untuk berkemah bersama asalkan tidak di gunung Guntur. Alasan ini bersumber pada perinsip-ku untuk tidak nanjak pada gunung yang sama, kecuali dari awal hingga akhir perjalan dibayar lunas dan kontan! Aku tidak mau membayar untuk gunung yang sama ke-dua kali. 

Transaksi destinasi tidak begitu alot, entah aku yang terlalu berpegang pada perinsip itu atau memang Miftah yang kalah argumentasi dan hanya nurut. Entahlah yang pasti aku menang! Destinasi untuk najak kali ini saya memilih gunung yang tidak terlalu jauh dan merupakan salah satu gunung yang masuk daftar idaman. Gunung yang saya maksudkan adalah gunung Slamet, gunung dengan jabatan nomor dua tertinggi di pulau Jawa dan menjadi tertinggi di Jawa Tengah. 

Setelah gagal berangkat untuk ke-empat kalinya, kali ke-lima inilah semua terjadi untuk diriku yang bermimpi menaiki gunung yang paling perkasa bagi masyarakat Panginyongan. Bagiku ini adalah zirah (pilgrimage) pada tanah leluhur dimana pusat kesejahteraan dan kehidupan mengalir dari dalam bumi baik material solid maupun cair yang dikeluarkan gunung Slamet. Ketinggiannya cukup membuat orang berhati-hati menjaga ruhnya agar tidak keluar dari kandang jasad, banyak kabar bahwa gunung tidak sedikit mengeluarkan jiwa-jiwa dari kediamannya di dalam jasad. Ngeri kan kalau diungkit peristiwa kaburnya jiwa ke sang Pemilik alam, ya sudahlah mari kita lanjutkan cerita nyata ini. 

Modern ini mengatakan sesuatu yang enak itu "dadakan" seperti tahu bulat digoreng dadakan, penganan khas Jawa Barat yang digandrungi orang karena mengandung banyak micin alias penyedap rasa buatan. Dari dadakan ini terbentuklah kesepakatan untuk nanjak ke gunung Slamet, beberapa sahabat dihubungi terutama yang ada dalam kontak Google Contact. Farhan, Raihan, Iman, Imam adalah prioritas utama untuk ajakan istimewa ini, namun sayang Imam menolak karena terlalu sering plesiran. Raihan sedikit ragu dan selalu last minute change! Berbeda dengan Farhan yang selalu berperinsip dimana-mana aku senang! Terlebih dia punya duit jadi take it easy lah... 

Rembugan diadakan di rumah Raihan pada hari senin malam, hanya saja yang datang bertiga saja diantaranya saya, Raihan, dan Farhan. Sementara Miftah sang inisiator datang melalui sambungan internet via WhatsApp. Rembugan berjalan lancar dengan tulisan-tulisan kecil berupa estimasi biaya dan waktu pendakian. Aduh entah ini karena bulan istimewa dalam islam atau hanya kehendak semesta, saat aku menulis estimasi biaya dan yang lainnya aku memasukkan "porsi" biaya untuk empat orang saja dengan hasil akhir pembiayaan sekitar Rp 135.000. Dan ternyata perkiraan empat orang itu terjadi!!

Cahaya Yang Datang Ke Bumi Adalah Masalalu Matahari

Selasa, hari ke sepuluh bulan juni. Miftah saya tarik untuk pergi ke Banjarsari untuk memepertegas rencana pendakian. Satu teman lama bernama Yayan juga tertarik untuk ikut bergabung, namun sayang dia cidera saat main futsal malam selasa kemarin. Sore menjelang hari rabu aku menjemput Miftah di terminal Kota Banjar, langkahnya tegap dengan ayunan kain strap tas khusus pendakia, auranya mengalir menggebu untuk mengalahkan nafsu untuk mendaki atap Jawa Tengah itu.

Keberangkatan Menuju Purwokerto
Berjalannya rencana cukup bagus karena tidak terlalu ngaret sampai beberapa jam, hanya mengulur beberapa menit karena kurangnya persiapan. Si hitam xride bersedia untuk ditunggangi berdua, kepulan asap tipis wangi pertamax tercium masuk pada pori-pori batang hidung. Seperempat lingkaran stang gas ditarik dan akhirnya roda berputar entah berapa kali, aku tidak menghitung dengan seksama hanya saja speedometer dan odometer yang selalu sigap menghitung setiap tarikan gas dan langkah bulat dari ban motor. 

Meeting point berada di rumah Raihan, seperti biasanya saling tunggu terjadi terutama Farhan yang selalu ngaret! Sedikit kecewa dengan kedisiplinan waktu yang belum menjadi daging dalam tubuhnya. Bersyukur jam delapan pagi dimana lalu-lintas khas riuh lebaran masih terasa walaupun lebaran sudah berumur satu minggu! Sisi kiri jalan terlihat penuh dengan roda-roda yang berputar menuju detinasinya, begitupun sisi kanan yang mempunyai tujuan masing-masing. Jalur yang ditempuh cukup terjal karena masuk ke pedalaman Mangunjaya dengan kualitas jalan yang jelek, memasuki kawasan tegalan, dan menyebrang sungai dengan jembatan sempit yang selalu bergoyang. Sungguh suatu rintangan awal yang cukup membuat lelah.

Xride Lumpuh Tersobek Kulit Kakinya

Terlepas dari buruknya jalan di wilayah Mangunjaya kini roda xride bergulir dengan kecepatan rendah di jalan lintas Panineungan hingga jalan by pass Menganti-Padaherang. Waktu adalah misteri tidak bisa ditebak dengan matematika! Hanya semesta yang menginginkan baik dan buruknya insan di bumi, begitupun aku mendapatkan kemalangan berupa ban depan sobek oleh tajamnya tulang jalanan yang mengagaga bagai duri pada ikan pepes. Waktu tempuh kembali terulur karena ban sobek, semua kehendak alam tidak ada emosi ataupun keluhan yang keluar hanya angin dari bokong terdengar dari sebrang jalan! Ternyata Farhan kentut dengan kekuatan suara yang cukup mengalahkan suara mobil melaju. 

Limabelas menit untuk satu proses penambalan ban motor jika dikonversikan waktu tersebut tanpa ada acara ban sobek, maka jarak yang akan diperoleh dengan rata-rata tarikan gas sebesar 60 km perjam maka posisi sudah berada do 10 km di depan! Saya pikir sudah berada di Sidareja - Jawa Tengah. Tapi semesta memberikan yang terbaik untuk saling berbagi waktu, berbagi uang dan berbagi senyuman. Beruntung ongkos jasa tambal ban tidak naik harga cukup membayar Rp 8000 saja, sangat menyenangkan bukan dengan uang pecahan Rp 10.000 mu dikembalikan dalam pecahan Rp 2000. Lumayan bisa buat bayar jasa parkir di kemudian hari. 

Pertigaan Karangpucung, Sidareja dan Gandrungmangu dimana kami berhenti untuk memilih, ya memilih jalur untuk mencapai tujuan. Tawaran dengan penjelasan lengkap saya berikan kepada mereka bertiga, jawabannya hanya manut saja. Bisa jadi karena mereka baru pertama ke Jawa Tengah dan tidak tahu jalur mana yang paling cepat, jalan berkualitas baik dan titik-titik bahaya ataupun kemacetan. Jalur Karangpucung diambil hingga tembus sampai Rawalo dan masuk ke arah utara ke Patikaraja hingga sampai pada komplek Pasar Wage Purwokerto, di pasar ini kami bukan untuk belanja melainkan untuk bersilaturahmi dengan sahabatku Yudha dan Asegaf. Kami bertamu cukup lama sekitar satu jam lebih sepuluh menit, waktu yang terulur ini bukan karena sebuah kesengajaan tapi sebuah kehormatan dari ibunya Asegaf dan Yudha yang telah menjamu kami berempat. Untuk keramahannya aku ucapkan terima kasih banyak, mohon maaf belum bisa membalasnya dengan cepat.

Menu Penyewaan Tenda di Toko Peak

Yudha menjadi pemandu kota untuk urusan tempat sewa peralatan outdoor, berkat petunjuknya kami mendapatkan tempat penyewaan dengan mudah tanpa harus berkeliling kota maupun masuk dalam halaman pencarian Google. Peak Rental salah satu yang kami pilih karena berdasarkan rekomendasi Yudha, namun sayang sekali peralatan di Peak sudah laku tersewa! Hanya beberapa tenda dan peralatan lainnya. Untuk nesting dan kompor kami mencari di penyewaan lainnya termasuk ke Fourteen dan akhirnya nemu di Annapurna di belakang kampus Unsoed. Syarat penyewaan termasuk hal yang mudah untuk beberapa toko penyewaan, beberapa dari mereka mempunyai aturan mewajibkan menyerahkan KTP, kartu pelajar yang masih berlaku dan kartu identitas lainnya. Untuk toko penyewaan Fourteen cukup menyusahkan dimana kartu identitas yang diterima untuk orang luar Purwokerto atau bukan pelajar di Purwokerto maka harus menyerahkan SIM, sementara untuk warga lokal ataupun pelajar di Purwokerto cukup menggunakan KTP atau kartu pelajar. Bersyukur di Annapurna bisa menggunakan KTP walaupun kami bukan orang lokal. Harga sewa yang ditawarkan umumnya setiap tempat sewa mempunyai harga yang sama, sebagai contoh tenda kapasitas empat orang disewakan seharga Rp 40.000 sementara untuk jenis tenda ringan (lite) kapasitas empat orang hanya berbeda 5000 Rupiah saja.

Basecamp Bambangan

Perjalanan berlanjut dengan bergantinya supir motor, kali ini giliran Miftah. Alasan bergantinya supir bukan sekedar untuk kesehatan atau hal teknis safety riding melainkan alih fungsi sebagai navigator Google Maps untuk menuju Basecamp Bambangan. Jarak dari kota Purwokerto sampai Bambangan sekitar 40Km kalau dihitung secara fisika maka jarak tempuh tersebut bisa dicapai satu jam saja dengan tarikan gas antara 40-50km/jam. Pukul empat sore kami memasuki wilayah Bambangan, berhubung belum belanja kebutuhan untuk mendaki kami sempatkan untuk berbelanja di jaringan toko modern. Beberapa barang dibeli namun sisanya akan dibeli di warung sekitar basecamp, kami memilih membeli di toko modern karena harga lebih murah daripada warung dekat basecamp. Mohon dimaklumi kami rakyat miskin yang ingin selalu mendapatkan harga murah. 

Kabut putih khas pegunungan dan aroma kegelapan sudah menyelimuti Bambangan seolah menyambut kedatangan kami sebagai tamu dari jauh. Aroma-aroma itu menusuk hidung untuk sebuah perkenalan yang bersifat fisika dan kimiawi, namun dari perkenalan itu kepala belakang terasa semakin sakit. Jika dirunut masalah kesehatan ini timbul dari perjalanan jauh terlebih beban helm yang cukup berat menindih kepala. Urusan kesehatan menjadi prioritas utama dimana pun berada, termasuk di Bambangan kali ini. Karena kesehatan paling utama maka kami sepakat untuk tidak nanjak pada sore hari dan ditangguhkan menjadi esok dini hari.

Dari Basecamp Hingga Samyang Kendit
Kepulan asap bagai pusaran air yang siap mematikan orang yang masuk ke dalamnya, rasa sesak dan panas di kulit wajah terjadi saat memasuki ruangan basecamp. Sampah seakan menjadi permadani yang menutupi lantai, aku seakan-akan terbawa ke sebuah ruangan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Entahlah ruangan apa ini, pikiranku terpental jauh pada sebuah kalimat yang pernah ditulis atau di ucapkan oleh Muhammad Abduh "Aku pergi ke negara barat aku lihat islam, tapi tidak melihat umat Islam, sementara saat aku pulang ke negara Islam aku melihat banyak sekali umat islam, namun tidak melihat Islam" Ya itulah realita yang perlu diperbaiki kembali. Bukan hanya di basecamp saja melainkan sepanjang pendakian selalu menemukan sampah plastik, bau amoniak, botol berisi air warna kuning tua, dan masih banyak lagi masalah lingkungan yang menjadi perusak kenyamanan. Di situ aku merasa perjalanan ini adalah paling greget!

Borang Surat Pernyataan

Pendaftaran untuk pendakian atau SIMAKSI (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi) bisa dilakukan langsung saat memasuki basecamp. Cukup menyerahkan sejumlah dokumen berupa identitas resmi baik KTP, kartu pelajar, SIM ataupun kartu identitas lainnya yang masih berlaku, selain itu pendaki diwajibkan untuk menyerahkan surat sehat dari lembaga kesehatan baik dokter maupun puskesmas atau klinik. Jika tidak menyerahkan surat sehat maka calon pendaki diwajibkan ke klinik atau puskesmas terdekat untuk memperolehnya. Ada satu celah, namun beresiko yakni dengan pembuatan pernyataan dengan materai, surat pernyataan ini menyebutkan kesanggupan dan kondisi sehat yang diklaim sendiri oleh calon pendaki. Resiko dari surat pernyataan adalah jika ada kecelakaan, maut atau hal buruk lainnya tidak ditanggung asuransi yang telah kita bayar. Walaupun premi asuransi sudah dibayar namun kebijakan surat kesehatan bisa mematahkan klaim asuransi. Jadi mau pilih mana?! 

Kami sendiri memilih menggunakan surat pernyataan, maklum saja kami dadakan! Saya memilih ini bukan sok-sokan sebagai perawat yang tahu kondisi kesehatan, namun ini adalah ketidaksengajaan karena mepet atau dadakan. Setelah administrasi perizinan sudah beres kami mencari lapak untuk memanjangkan badan ke ubin yang sudah diselimuti debu-debu halus. Tak banyak aktifitas yang kami lakukan hanya beramah-tamah dengan tetangga kiri-kanan pendaki, sembahyang magrib dan isya, berbelanja di warung terdekat dan makan malam yang cukup menyiksa karena semua terasa kering!

Jalur Pendakian Gunung Slamet
Boleh diklaim kita adalah kelompok romantis di pendakian jalur Bambangan, keromantisan ini bisa dilihat saat kita makan, satu piring berdua, satu bungkus nasi timbel untuk berdua. Ya kami memang sangat romantis! Saat di Pos Dua (Pondok Walang) kisah romantis pun terjadi dengan satu paket makanan seharga Rp 12.000. Apa sih yang menyebabkan kami selalu romantis?! Jawabannya memang sangat mudah tapi tidak memalukan kami sebagai manusia, penyebab kami romantis tidak lain adalah kemiskinan yang menyelimuti sekujur tubuh dompet.

Kepulan asap masih bergolak sampai masuk pori-pori keril yang kami bawa, suara silih berganti seiring waktu yang semakin malam. Aku tertidur dalam kelelahan yang berujung kedamaian. 

Pagi masih memberikan tamparan hawa dingin, kami terbagun oleh bunyi alarm yang sudah diperhitungkan sebelumnya. Selepas sembahyang kami mulai berdoa untuk setiap langkah yang diberkati hingga pada sebuah maksud yang tidak pernah dimengerti oleh sebagian orang. Tepat depan gerbang pendakian satu paragraf kalimat yang boleh disebut mantra, doa ataupun kalimat pemberkatan tercurah dalam hati masing-masing dan kami berjalan.

Bintang-bintang milik semesta selalu murah senyum memberikan kedipan-kedipan genit pada subuh yang terlalu alim. Partikel udara yang terasa basah membuat kewalahan satu bagian tubuh kami, dia terlalu bekerja keras untuk menghangatkan setiap oksigen dingin yang masuk. Suara ngongsrong cuping hidung terdengar kasar dalam setiap langkah kami yang semakin ke atas dan ke atas hingga menggapai kaki langit. Suara Miftah memotong langkah kaki, suaranya jelas terdengar di kuping yang tertutup kupluk tebal "Mas, ereun heula!" Kaki berhenti selama lima menit. Lembaran makanan yang konon dari Eropa dikeluarkan sebagai bahan bakar untuk pagi ini, satu lembar jatah untuk menjadi satu orang dan satu permen untuk satu orang juga.

GS Yang Mengambil Gambar

Dari ujung timur sumber sinar memberikan kehangatan dan penglihatan menjadi tajam, birunya langit terlihat begitu indah, hijau-hijau dedaunan seakan menjadi pemandangan yang mengasyikan. Ada kondisi dimana kita merasa sangat lapar, aku tahu bahwa setiap manusia mempunyai kultur kuliner tersediri, dimana ia belum merasa makan jika belum makanan pokoknya sehari-hari. Begitulah kami yang belum menemukan nasi, beruntung di setiap pos mulai dari Pos Satu hingga Tujuh terdapat warung. Warung-warung ini biasanya menjual nasi timbel, air mineral botolan, semangka, pisang dan aneka makanan dan minuman praktis. Untuk harga ada variasi harga, nah yang unik variasi harga ini berdasarkan ketinggian tanah (Mdpl), semakin tinggi tanah tersebut harga semakin naik. Contoh kasus harga satu botol air mineral di warung Pos Satu Rp 6000 sementara di Pos Lima-Tujuh dihargai Rp 10.000 - 12.000. Setiap Pos juga mempunyai bedeng kecuali Pos Delapan dan Sembilan, bedeng ini mempunyai fungsi vital dimana jika keadaan sulit (badai) kita bisa masuk ke dalam-nya. Dalam peraturan pendakian di gunung Slamet setiap pendaki tidak boleh mendirikan tenda di dalam bedeng, saya paham arti larangan tersebut. Di sini bedeng memang fungsinya sebagai "rumah bersama" bukan lapak untuk mendirikan tenda sendiri.

Warung Di Pos Empat

Bagaimana tidak dikatakan beruntung saya memiliki tiga teman yang mempunyai karakter berbeda, kesemuanya sangat melengkapi dengan kelebihan dan kekurangan-nya. Farhan alias GS biarpun serakus "kasep" selalu berguna saat kondisi jenuh, dia media satu-satunya hiburan untuk kami. Tapi betapa menjijikan-nya dia saat perutnya terguncang ingin makan kalau saya tidak galak satu keril makanan habis oleh mulut besar GS. Miftah dengan mode mute namun cukup cerdik dalam segala urusan hanya saja dia terlalu manut. Satu lagi Raihan orang suple suka membantu! Sementara saya si egois yang suka menyuruh orang lain. Dari ke-empat karkater individu ini tidak ada yang mengecewakan seakan sebuah puzzle yang saling melengkapi. 

Metode pendakian kali ini masih menggunakan rumus lima menit istirahat: jantung kembali berdebar normal langsung jalan. Dengan metode inj kami berjalan melebihi yang lainnya, kami berangkat dari Basecamp Bambangan jam 05:00 WIB dan sampai di Pos Tujuh sekitar jam 12:40 WIB. Trivia! Saat memasuki Pos Samaranthu ada satu kejadian menarik yang saya alami di mana badan tidak merasa membawa beban berat selama 50 meter lebih, kupikir GS bercanda dengan menganggkat tas-ku! Ternyata dugaanku salah. Soal cerita mistis memang sangat banyak terjadi menurut penuturan pendaki yang pernah mengalaminya terutama di Samaranthu.

Bersyukur kami sampai POS Tujuh dengan selamat dan bonus berlipatnya dimana pendaki lain sudah gulung tikar jadi leluasa dalam memilih lapak untuk mendirikan kemah, kami sendiri mendirikan tenda di depan bedeng dengan kontur tanah yang datar dan tidak berbatu. Suatu anugrah tersendiri mendapatkan lapak yang sempurna. Tenda yang kami sewa cukup membuat kami bingung merangkainya terlebih bentuknya yang tidak pernah dimiliki sebelumnya, bentuk tenda ini seperti bentuk keong. Kami sedikit kecewa dengan barang sewaan yang kami dapat, ada sobek di layer atas dan riselting yang dol. Bersyukur Tuhan memberikan cuaca bagus sehingga tidak bersusah payah terkena air tetesan langit.

Terjalnya Slamet Menjelang Puncak

Menginjak Kepala Jawa Tengah
Selama di Pos Tujuh kami hanya memberikan hak istimewa kepada anggota badan dengan cara memberikan makanan dan minum cukup, rebahan untuk relaksasi otot dan tidur (body restarting). Trivia! Lagi-lagi kami bersyukur tidak keracunan gas dengan rumus kimia KN707 alias kentut, aduh perang kentut dalam dome sangat bahaya namun mengasyikan. Hirup perlahan lalu muntah! 

Kuping ku terlalu sensitive dengan bisikan orang di luar tenda, satu kelompok pendaki ribut merencanakan summit attack! Aku yang dalam kedamaian terusik untuk curiga dan mengikuti cara-caranya. Egoisku kembali muncul dimana setting alarm tidak berlaku, aku bangun lebih awal 15 menit. Miftah, Reihan dan Farhan dibangunkan untuk segera bersiap-siap. Pembangian logistik sudah diatur sedemikian apik sehingga saat bangun tidur hanya memulihkan kesadaran dan konsentrasi saja. Tepat jam 02:15 kami berangkat di-iringi bisikan-bisikan yang tidak perlu, kami turunkan angka volume dalam pita suara agar tidak menganggu pendaki lainnya yang sedang dalam pelukan gunung.

Jarak Pandang Yang Berkurang Karena Badai

Hal yang tak pernah ku kira jarak antara pos Tujuh dengan Delapan ternyata hanya selemparan batu, padahal dalam "peta Dora" estimasi perjalanan membutuhkan waktu 10-15 menit tapi ternyata kami berjalan lebih cepat dari itu, hanya lima menit! Dalam summit attack kami sempat bertemu dua kelompok pendaki lainnya, lagi-lagi kami mengalahkan mereka. Kami maju terdepan! Satu hal yang membuatku sedikit bergidik saat spotlight tertuju pada batu In Memorial, batu itu bukan petanda dimana tulang belulang manusia tertanam di dalamnya melainkan sebuah tanda dimana ada jiwa manusia yang ikhlas pergi meninggalkan rumah jasad yabng sudah tidak mampu lagi memberikan kenyamanan. Aku berdoa dengan caraku sendiri, dengan keyakinanku pada semesta, pada jiwa yang damai itu aku menyapa dengan penuh martabat. 

Sedikit pun aku tak kenal nama yang tertulis di batu itu, tapi rasanya dia terlalu dekat, terlalu mesra untuk disapa. Aku hanya merasakan rindu dengan apa yang sedang dirasakannya. Rindu yang kadang orang merasa takut untuk menggapai kerinduan itu, ya kerinduan untuk bersatu dengan Tuhan, moksa! Entah ini sebuah tanda dimana ada hawa kedamaian yang mengiringiku selama berkenalan dengan batu bernama itu, kedamaian yang seolah menemani hingga mencapai puncak gunung Slamet. 

Tanda badai sudah terlihat dari awan berbentuk melingkar di atas kepala kami, aku masih merasa damai dengan hawa (aura) yang mengikuti dan aku percaya badai akan datang! Tepat lima meter sebelum puncak badai datang dengan membabi buta seperti si kasep yang sedang kelaparan, terpaan angin membawa suhu dingin mencapai nol derajat selsius! Entah mengapa hatiku masih terlalu damai untuk hal ini, hanya dua tangan yang protes kedinginan.

Saat Gunung Menunjukan Sisi Feminine

Hawa itu memberiku signal untuk menyelinap di growongan batu! Aku berlindung di sana selama dua jam setengah! Inilah titik kritis dimana tidak ada pendaki lainnya yang di puncak, kabut putih menebal dengan jarak pandang kurang dari dua meter, dan angin yang berputar-putar seperti kesurupan. Tanganku terlalu ringkih untuk hal ini, rasa ba'al semakin menjelma hingga hukum fardu'ain diketuk untuk segera mungkin mentransfer kalor dari sumber kalor lainnya, Miftah menjadi sumber kalor-ku! Terima kasih sudah menjaga "kabut tipis" yang menyerupai jasad ini. 

Aku masih dalam kedamaian seperti si pemilik batu itu, entah kenapa otakku tidak sedemikian was-was ataupun gugup mengahadapi badai berkepanjangan ini, terdengar suara ilahiah dari mulut kecil Raihan, sesekali muncul dari mulut yang lainnya. Aku masih terdiam menerima keputusan Tuhan. Aku kehilangan kedamaian saat terpental pada diskusi kecil dengan pa Oyon (Sahabat Senior) yang sudah malang melintang di dunia pendakian dan SAR, dia pernah mengajarkan cara menjadi surveyors yang baik dan kuat. Salah satu yang ku ingat adalah point not return dimana kita dilarang keras untuk kembali saat sedang ada badai. Point not return adalah hal darurat yang mesti dilakukan pendaki agar maut tidak mudah lepas dari jasad. Terjalnya medan, fokus yang kurang, jarak padang yang berkurang medan yang lainnya menjadikan rumus survivor berbunyi Point No Return.

Yang Ambil Foto Namanya Raihan

Beruntung badai mereda sekitar jam lima pagi, satu persatu pendaki lainnya datang dan saling memberikan pancaran kehangatan dan ketenangan! Bersyukur atas-Mu Tuhan kami masih ada dan eksis di atas atap Jawa Tengah yang pernah Kau buat. Tak henti-hentinya badai menerjang hingga jam tujuh lebih, sedikit banyak rasa ingin segera turun gunung. Keputusan kembali diambil untuk efesiensi waktu dan energi, kami turun gunung dengan rasa syukur. Tepat di leher gunung kami mendapatkan cuca bagus, tanpa pikir panjang bidikan mata buatan merekam setiap perubahan alam dan aneka bentuk alam yang menarik. 

Kembali Slamet
Berkali-kali jatuh karena hilang konsentrasi ataupun kaki yang mulai ringkih, Miftah adalah salah satu dari kami yang sering jatuh! Bersyukur kami berempat kembali slamet sampai rumah masing-masing. Dalam perjalanan aku sedikit bawel saat bagi-bagi makanan terlebih soal minuman dimana minuman sisa 1,5 botol kalau dijumlah literkan menjadi 2 litter saja. Jadi jatah perorang menjadi setengah liter saja! Resiko sekali bukan, walaupun ada warung kami juga sempat mikir dengan kemiskinan! Jadi jalan satu-satunya berjimat air! 

Rasa haus hilang ketemu Daniela asal Panjalu - Ciamis, senyumnya meluruhkan haus seketika namun dibalik senyumnya ada efek samping yang membahayakan "kurang fokus" di perjalanan. Ampun untuk Daniela yang mempunyai sihir Afrika yang jitu. Perjalanan pulang dimulai dari puncak sekitar setengah tujuh pagi, sampai Pos Tujuh (perkemahan) sekitar jam sembilan pagi dan sampai di Basecamp Bambangan jam 2 siang!

Saat Di Leher Mas Slamet

Rintangan kembali datang untuk kesekian kalinya, hujan deras melumuri permukaan bumi sepanjang Purbalingga hingga memasuki Purwokerto! Sungguh manis-nya dunia dengan aneka suasana alam! Beruntung kami yang dikejar batas waktu penyewaan memenuhi syarat waktu sewa dengan durasi penyewaan 27 jam dikali dua! Tidak ada denda yang diajukan! #
Perjalanan pulang yang bisa memakan waktu lima jam membuatku menolak ide dari Farhan yang stress dan kurang bermartabat! Dengan segala argument keselamatan aku menang! Dan akhirnya kami menginap di rumah bibiku di bilangan Maos Kidul. 

Bonus!
Sengaja Saya memberikan bonus super ciamik, dimana mereka belum pernah merasakan indahnya kota dan pesisir kabupaten terluas di Jawa Tengah ini, pantai dengan pemandangan pulau Nusakambangan, perahu-perahu tanker minyak dan perahu tongkang batu bara seolah-olah menjadi kosmetik tersendiri untuk se-ayu wajah Cilacap.

Lagi-lagi Reihan Yang Ambil Foto

Jumlah Jamleh
Berikut jumlah jamleh keluarga miskin yang mengharap keliling dunia dengan uang patungan Rp 150.000 X 4 = Rp 600.000 untuk:

Sewa Tenda Rp 40.000/hari ~ 40.000X2 = Rp 80.000
Sewa Nesting, kompor dan gas total harga untuk dua hari Rp 68.000
SIMAKSI untuk empat orang Rp 80.000
Matrei 6000 Rp 12.000 perlembar.
Jatah bensin 10.000 untuk dua motor
Parkir motor Rp 10.000 per-motor
Jatah logistik Rp 200.000
Uang tidak terduga (makanan minuman tambahan dll) Rp 104.000

Dari uang patungan Rp 150.000 perorang uang cukup dan habis sangat pas sampai rumah.

Di siang yang dingin seminggu selepas pendakian, 20 Juni 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nama-nama Tai

Sega, beras yang ditanak Apa benar bahasa Jawa itu terlalu 'manut' ke bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris? Tampaknya ada benarnya juga, bahasa Jawa terpengaruh/meminjam banyak kosa kata dari bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Kekurangan kosakata dalam bahasa Jawa memang kebanyakan untuk hal-hal seperti teknologi ataupun hal lainnya. Jangan berkecil hati untuk penutur bahasa Jawa di seluruh dunia! Perlu diingatkan bahasa Jawa mempunyai keunikan tersendiri, misalnya saja untuk belajar bahasa Jawa 'satu paket' atau juga keseluruhan dari bahasa kasar/ngoko, bahasa sedang/madya hingga bahasa halus/kromo, sama saja belajar tiga bahasa!! Bayangkan belajar tiga bahasa, apa gak repot ya?! Itulah keistimewaan bahasa Jawa. Bersyukur! Berbagai keistimewaan bahasa Jawa juga terdapat di istilah-istilah yang sangat detail/spesifik pada suatu beda yang mengalami sebuah perubahan sedikit maupun perubahan besar. Misalnya saja untuk rangkaian nama dari sebuah padi/po...

Mengenal Tanaman Kangkung Bandung (Kangkung Pagar)

Kangkung Bandung, sudah tahu tanaman ini? Menurut buku  biologi tanaman ini berasal dari Amerika Latin (Colombia, Costa Rica). Ciri tanaaman ini tumbuh tidak terlalu tinggi cuma sekitar satu meter sampai dua meter maksimal tumbuhnya. Kangkung Bandung tidak bisa dimakan layaknya kangkung rabut atau kangkung yang ditanam di atas air. Bentuk daun menyerupai kangkung yang bisa dimasak (bentuk hati) begitu juga dengan bentuk bunganya. Bunganya berbentuk terompet berwarna ungu muda terkadang juga ada yang berwarna putih. Batang Kangkung Bandung cukup kuat sehingga memerlukan tenaga cukup untuk memotongnya (tanpa alat).  Tanaman Kangkung Bandung Sebagai Patok Alami Pematang Sawah Fungsi dan manfaat Kangkung Bandung sendiri belum diketahui banyak, beberapa sumber mengatakan tanaman ini bisa dijadikan obat dan dijadikan kertas. Pada umumnya masyarakat desa menjadikan Kangkung Bandung sebagai tanaman untuk ciri (patok) batas antar pemantang sawah. Daya tumbuh tanaman ini cuk...

Menegang dan Mengeras Oleh Nyai Gowok

Ah...sialan! Padahal aku sudah kenal buku ini sejak Jakarta Islamic Book Fair tahun 2014 lalu! Menyesal-menyesal gak beli saat itu, kupikir buku itu akan sehambar novel-novel dijual murah. Ternyata aku salah, kenapa mesti sekarang untuk meneggang dan mengeras bersama Nyai Gowok. Dari cover buku saya sedikit kenal dengan buku tersebut, bang terpampang di Gramedia, Gunung Agung, lapak buku di Blok M dan masih banyak tempat lainnya termasuk di Jakarta Islamic Book Fair. Kala itu aku lebih memilih Juragan Teh milik Hella S Hasse dan beberapa buku agama, yah begitulah segala sesuatu memerlukan waktu yang tepat agar maknyus dengan enak. Judul Nyai Gowok dan segala isinya saya peroleh dari podcast favorit (Kepo Buku) dengan pembawa acara Bang Rame, Steven dan Mas Toto. Dari podcast mereka saya menjadi tahu Nyai Gowok dan isi alur cerita yang membuat beberapa organ aktif menjadi keras dan tegang, ah begitulah Nyi Gowok. Jujur saja ini novel kamasutra pertama yang saya baca, sebelumnya tidak pe...