Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2016

Corat Coret Di Toilet - Eka Kurniawan

Kembali ke Bumi Parahyangan

Bermalam di stasiun Surabaya Gubeng untuk kedua kalinya adalah sesuatu yang berkesan apalagi malam ini banyak sekali backpacker yang menjadikan stasiun ini sebagai meeting point jadi serasa punya saudara senasib. Maklumlah sendirian rasa kesepian mendera selama perjalanan. Bergabung dengan teman - teman 'gunung' yang berada di pojok kanan stasiun tepatnya di depan Roti O bagi saya ini merupakan cara untuk melindungi diri dari kesepian dan melindungi diri dari segala kejahatan saat kita tidur. Mungkin istilahnya saya meminta suaka keselamatan atau mencari jaminan keamanan kepada teman - teman 'gunung'. Namanya tempat umum memang tidak semua  orang baik berada tapi orang jahat pun banyak di sekitar kita. Rasa kesepian hilang dan rasa aman datang membelai hati yang sedikit khawatir akan kriminal ganas di Surabaya. Berkenalan dengan semua personal yang akan memanjat gunung Argopuro di timur Jawa itu membuat saya merasa mempertahankan saudara baru. Kocak dan penuh

Probowangi Sang Penghubung

Lelah sudah terselesaikan dengan tidur yang cukup semalam. Kini di pagi yang cerah (24/10/16) dunia terasa lebih segar dengan pepohonan yang masih rindang dan sejuknya udara di lingkungan Ketapang - Banyuwangi.  Waktu chek out penginapan yakni jam 10:00 pagi, tentunya saya memanfaatkan waktu yang tersisa 4 jam untuk bersantai ria di dalam kamar. Berhubung jadwal kereta Probowangi yang masih lama (13:30) tentunya pemanfaatan waktu adalah hal terbaik. Menulis cerita yang tertunda di blog mengisi waktu yang tersisa di penginapan sederhana nan murah.  Waktu chek out telah tiba tanpa pengusiran yang galak ataupun peringatan chek out dari pemilik penginapan. Bahkan sang pemilik menganjurkan saya untuk istirahat kembali di penginapan sampai jadwal keberangkatan kereta Probowangi. Dengan menyesal saya meninggalkan kamar penginapan. Tapi cukup beruntung karena bisa berbagi cerita dengan bapak - bapak penjual makanan di sekitar Stasiun Banyuwangi Baru.  Perut memelas dengan mengelua

Obrigado de Flores

Perbekalan dan logistik belum tertata rapi karena sebagian baju dan tas basah. Labuan Bajo kali ini terserang hujan lebat. Terik mentari tidak muncul dengan kehangatannya. Hanya menyisakan sedikit waktu untuk bersinar namun tertutup oleh kawanan kapas langit yang berarak.  Menjelang pagi (23/10/16) baju dan tas lumayan lebih baik keadaannya mungkin hanya membutuhkan waktu 2-3 jam di bawah paparan sinar matahari untuk kering. Bersyukur pada Allah yang memberikan sinarnya begitu terang di hari keberangkatan saya.  Membangunkan Andre yang masih merajut mimpi untuk mengantarkan saya ke pasar. Ya ini adalah hari terakhir masak di rumah host . Saya ingin meninggalkan mereka dengan sedikit cita rasa makanan yang saya buat. Semoga mereka mengenang saya dengan rasa yang pernah mereka kecap di lidah. Memasak dengan target waktu yang lumayan mepet membuat tangan dan otak bekerja lebih keras. Alhamdulillah jam 9 pagi semua sudah beres termasuk baju, celana dan tas yang sudah mengering.

Cabo de Flores 3

Perseteruan semalam memberikan sebuah jalan yang harus diyakini dan dikerjakan. Sesuatu yang memang sulit untuk diterima oleh hati yang masih bernafsu menikmati kedamaian yang menenangkan. Hati memang selalu kalah oleh otak di hampir setiap kepala lelaki. Mungkin akan berbeda jika terjadi pada perempuan yang selalu menggunakan bahasa kalbu. Otak menjadi akhirnya menjadi pemenang. Kemenangan otak mengharuskan saya untuk merencanakan kembali perjalanan untuk pulang. Apakah menggunakan moda transportasi air dan darat atau udara.  Kerisauan mendera satu hari penuh karena perencanaan perjalanan yang harus ada sementara otak masih dalam fase keterkejutan. Denpasar menjadi titik awal perjalanan melalui moda transportasi udara. Alhamdulillah tiket sudah ada di tangan dengan harga yang lumayan murah ketimbang pesawat merek lainnya. Saya mendapatkan tiket promosi seharga Rp 411.000 dari merek NAM air yang masih seibu dengan Sriwijaya air.  Poin perjalanan ke dua yang bermula dari Banyuw

Cabo de Flores 2

Hari kedua belum ada perencanaan perjalanan kembali karena cost life terlalu tinggi dibandingkan dengan kota besar Jakarta ataupun Kuala Lumpur. Seperti menunggu durian yang jatuh dari batangnya yang kokoh, entah kapan akan jatuhnya. Hanya berharap dan berharap.  Pak Alex selalu sibuk dengan bisnisnya sehingga selalu meninggalkan rumah dan karyawannya. Di rumah hanya tiga orang saja yakni saya, Andre dan seorang karyawan (lupa nama) terkadang mas Samsul menjadi teman dalam kekosongan hari. Karena mas Samsul senang dengan program acara televisi sementara saya tidak suka jadi tetap kekosongan hari terasa berat. Hanya Andre saja yang saya harapkan untuk mengisi hari bersama. Bermain dengan umur yang tidak terlalu jauh merupakan hal yang seimbang ketimbang bermain dengan orang yang tua lebih dari usia kita. Keuntungan tersendiri jika bermain dengan orang di atas umur kita yakni mempunyai pengalaman yang lebih bijaksana. Pengalaman bijaksana biasanya disampaikan dari orang yang usianya

Cabo de Flores 1

Cukup sudah bagi saya untuk mendiamkan blog ini untuk beristirahat sebentar di Labuan Bajo, kali ini saya membangunkan kembali untuk mengisi pengalaman saya selanjutnya. Kesibukan menjadi koki amatir di rumah host membuat blog ini tidak disentuh mesra. Mungkin saja blog ini menjadi jablay jalanan. Hahahaha. Memasak untuk keluarga host sebanyak empat orang dengan porsi yang banyak memang menyita waktu saya untuk menulis. Jadi maafkan saya membiarkan blog ini menjadi jablay jalanan. Saya ingin menulis cerita pengalaman pertama ke Flores ini dengan judul Cabo de Flores semoga Anda terhibur dengan pengalaman yang super remeh ini.  Pertemuan saya dengan Pak Alex yang menepati tempat duduk ku adalah suatu anugerah tersendiri. Bermula dari tas dan tempat duduk yang saya tinggalkan untuk melihat pemandangan gugusan kepulauan Komodo di sebelah kanan kapal.Tempat duduk saya menjadi kosong, karena kekosongan ini pak Alex menempatinya. Kembali ke tempat duduk saya yang ditempati pak Alex

Sampai Jumpa Sang Bima

Malam terakhir sebelum berlayar ke pulau selanjutnya, kuberikan kesempatan pada jiwa ini untuk bercumbu kembali dengan suasana malam Kota Bima. Sepeda pinjaman yang sangat bermanfaat menemani saya malam ini untuk kembali bercumbu rayu.Percumbuan malam ini tidak terlalu jauh hanya sekitar kawasan istana dan jalan gajah mada. Ingin sekali menikmati kenikmatan surgawi yang dipersembahkan oleh kuliner Bima. Singkong goreng khas Bima saya cari ke sudut - sudut kota namun tak ada satupun yang masih buka. Malang memang nasib saya untuk menikmatinya.  Pulau Komodo dilihat dari kapal ferry Malam terakhir adalah suatu yang istimewa bagi saya dimanapun berada termasuk di Bali yang paling berkesan dengan sahabat saya Rosi. Malam terakhir adalah suatu kenangan yang mendalam dan bahan perenungan selama perjalanan di kota orang. Persiapan keberangkatan ke pulau Flores  sudah saya persiapkan sejak semalam. Pakaian sudah saya rapihkan termasuk izin pamit pada keluarga perjalanan saya di Bima.

Sang Bima 6

Hari yang dinanti akan datang besok hari dengan rencana besar dari rangkaian perjalanan di Bima. Rencana besar ini tidaklah terlalu muluk untuk diceritakan karena memang pantas untuk diceritakan sebagai pengetahuan tentang keindahannya negri Mbojo.  Dimulai dengan terbit matahari dari rumahnya di arah timur jauh entah dimana ujungnya. Hari ini (18/10/16) berangkat melawan arus cahaya matahari yang begitu menyengat. Sape berlokasi di ujung timur pulau Sumbawa menyerang perjalanan kami dengan arus cahaya matahari panas. Hutan wilayah Sape tidak cukup menjadi penuduh kami dalam perjalanan. Jelas saja keadaan alam di sini sangat berbeda dengan wilayah hutan yang di Jawa ataupun Bali. Hutan kering dengan sedikit pohon menjadi ciri khas sebagian jenis hutan di Bima.  Jalan yang nanjak begitu tinggi, tikungan tajam setiap sudut selalu membuat saya terpana karena jalur yang begitu menantang. Konsentrasi menjadi modal utama perjalanan di Bima, jangan sampai Anda terjatuh dari motor kar

Sang Bima 5

Edisi kali ini spesial untuk kosong melompong alias tidak ada kegiatan sama sekali hanya menulis blog dan pamer tutur cerita kepada teman - teman yang ada di kontak grup WhatsApp . Hanya sore hari saja saya memutuskan untuk menikmati sunset di pantai Lawata.  Mentari tenggelam di teluk Bima Menikmati debur ombak pantai Lawata dengan kesempurnaan matahari yang terbenam menjadikan kenangan manis bagi saya. Pantai Lawata cukup berbeda dengan pantai yang lainnya karena hanya memiliki pantai berpasir 10-15 meter saja. Sisi lainnya hanya sebuah tembok yang berdiri kokoh. Ada bangunan khas indisch di atas bukit seperti sebuah pasangrahan ataupun sebuah rumah dinas saat masa kolonial.  Terdapat jembatan antar bukit menjadi saksi sejarah yang saya belum ketahui. Mudah - mudahan saya mengetahui dengan secepatnya dengan bertanya kepada Bapak Mbojopedia alias mas Fahru. Ngomong ngomong soal mas Fahru teringat bahwa hari ini dia mempunyai janji kepada saya untuk pergi menikmati sunset

Yang Unik dari Bima

Ini hanyalah sebuah temuan yang dipandang oleh mata saya. Jadi maafkan saya apabila mata anda melihat yang berbeda di Bima.  Semua tempat mempunyai karakteristik tersendiri tentu saja Bima mempunyainya, namun karakter ini bukanlah hal yang biasa seperti keindahan alam ataupun kekayaan budaya. Di sini saya ungkap sisi lain yang dilihat dari mata saya sendiri. 1. Lampu Lalulintas yang Tidak Berfungsi   Memang ada beberapa yang berfungsi namun tetap saja pengendara di kota ini selalu menerobos lampu lalu lintas.  2. Pedagang Jawa Mendominasi   Setiap sisi kota selalu terdapat warung ataupun pedagang kaki lima, mungkin saja 10 dari 6 pedagang tersebut dari pulau Jawa. Orang Jawa yang berdagang di kota Bima kebanyakan berasal dari daerah Jawa Timur seperti dari Madura,  Surabaya,  Jember,  Malang dan Banyuwangi. Terlihat di plang warung, gerobak kaki lima ataupun toko selalu menuliskan daerah tempat asal mereka.  3. Jarang Pengguna Sepeda   Kota kecil ini memang mempu

Minasarua Bubur Khas Bima

Rasanè kurang pas nek plesiran adoh tapi ra ngerasakna atawa nyicipi panganan khas kang daerah sing diplesiri. Kota Bima janjané akeh panganan tradisional kur mbuh nang ndi sing pada adol. Ora sih mbanggakna wong Jawa jan tiap warung panganan atawa jajanan akeh - akehè wong Jawa sing adol. Dadi nek jerèku Bima gue wis dijajah nang wong Jawa kerna langka mbanget kuliner khas Bima sing diadol. Jal arep nyicipi panganan khas apa nek sing adol kabeh wong Jawa?  Bingung ra hayo?!  Saiki kancaku ngajak nyicipi kuliner khas Bima yague Minasarua, mandan angel ngoleti panganan khas gie. Enyong ge arep nyicipi panganan gie sampe lunga adoh lewih kang 30 menit nganggo motor.  Satu porsi bubur rempah minasarua Minasarua yague bubur khas Bima sing ingsiné bumbu - bumbu rempah misalé bae ana jahe, kunir, mrica,  kayu manis, lan sejabané. Ana komposisi sing unik uga yague glendo (ampas sekang gawe lenga klentik) dadi bubur gie ana minyaké.  Ingsi utama kang bubur minasarua yague tape

Sang Bima 4

Kali ini saya bingung untuk membuat mukadimah ataupun intro di episod kali ini. Baiklah saya bawa Anda ke inti sebuah perjalanan ke pedalaman Bima yang menawan.  Hari itu (16/10/16) mentari membakar kulit setiap orang yang berlalu lalang di luar ruangan. Sungguh panasnya melebihi sauna mewah di sudut kota Jakarta. Tak perlu teknik tanning yang menghabiskan uang banyak, kulit Anda dengan sendirinya menjadi eksotik dengan sengatan mentari di langit biru diatas sana.  Jadwal kali ini mundur beberapa jam karena mas Fahru ( www.fahrurizki19.wordpress.com )  masih di acara pesta khitanan saudaranya. Waktu luang yang banyak tentu saja saya pergunakan untuk mencuci baju kotor dan menulis artikel blog. Cukup maksimal memanfaatkan waktu yang kosong.  Mata terkantuk walaupun bukan jam waktu istirahat siang mungkin saja ini karena faktor kelelahan dalam berfikir dan mencuci pakaian yang hanya lima biji saja. Maklumlah jarang mencuci pakaian. Klakson berbunyi dari luar rumah yang menan

Sang Bima 3

Hari ini (15/10/16) hanya berniat untuk mengunjungi kota tua di Bima tepatnya di Raba yang bisa dijangkau oleh semua kenderaan umum ataupun pribadi. Niat untuk mengunjungi kota tua ini sebenarnya jam tujuh pagi namun karena ada ajakan dari Om Bram akhirnya pagi ini terasa spesial karena diajak berbelanja ke pasar tradisional di dekat pelabuhan Bima.  Pasar tradisional ini berdekatan dengan pantai teluk Bima di jalan sultan kaharudin. Suasana pasar pagi ini terasa sibuk dan unik karena setiap pedagang menawarkan dagangannya dengan suara lantang ada juga yang menggunakan toa seru juga menikmati kehidupan sosial di Bima.  Barang yang dijual pun cukup murah bagi saya terutama hasil tani dan hasil tangkapan ikan nelayan yang jauh lebih murah daripada di Jakarta ataupun kampung halaman saya di Pamarican - Ciamis. Empat ekor ikan kembung tanpa ditimbang terlebih dahulu dihargai dengan Rp 10.000,  ikan kakap merah Rp 20.000 dengan ukuran besar dan banyak sekali jenis - jenis ikan yan

Sambel Bima sing Seger Buger

Tiap daerah memang nduweni karakter dewek - dewek ora ketang wong Bima sing nduweni sejarah lan cita rasa sing luar biasa mak nyos ... Kur sing ditangisi kang panganan khas daerah Bima ora nduweni promosi sing apik kang pemerintah atawa kang wong Bima dewek dadi ra seterkenal panganan kang Jawa, Minang atawa Manado.  Pertama madang karo sambel khas Bima rasanè seger buger kaya madang karo lalaban sing seger utamanè kerna ana jeruk purut atawa jeruk nipis sing diiris tipis karo kulité. Penasaran kan? Yo wis engko tek wai resepé.  Sambel khas Bima Jeruk purut atawa jeruk nipis salah siji komposisi sing fardu kifayah go wong Bima tiap masakan biasanè ana jeruké. Pencen sih ya mambu jeruk nipis atawa jeruk purut nambah rasa seger. Contohé bae Enyong nginum es degan pinggir masjid agung kota Bima ya di campur irisan jeruk jan apa - apa karo jeruk terus. Tapi memang beda rasanè antara es degan biasa karo sing disogi jeruk. Kapan - kapanlah gawe es degan karo irisan jeruk.  J

Sang Bima 2

Hari Jumaat boleh dikatakan hari paling pendek di Indonesia. Sebenarnya semua hari mempunyai waktu yang sama yakni 24 jam namun predikat hari pendek ini disematkan kepada hari Jumaat karena waktu kerja yang pendek dikarenakan terpotong oleh waktu solat Jumaat yang bisa mencapai 1,5 jam ditambah dengan jam istirahat. Tentu saja jam kerja Anda menjadi pendek kan?! Waktu traveling saya pun menjadi pendek karena harus solat Jumat.  Sebenarnya masih bingung apa yang disuguhkan kota Bima kepada para tamunya. Mungkin saja 'suguhan' banyak namun karena informasi yang kurang sehingga tampak tidak ada 'suguhan' yang istimewa di kota Bima selain Istana Kesultanan Bima, Bukit Jatiwangi atau bisa disebut Bukit Bintang, dan makam Raja Bima. Banyak 'suguhan' yang menarik di Bima hanya akses transportasi yang susah sehingga membuat bengkaknya anggaran tentunya. Angkut umum seperti angkot disini terasa mati suri, ada beberapa angkot yang lalu lalang di jalan raya namun tida

Sang Bima 1

Kualitas tidur adalah yang utama dari sebuah tidur bukan frekuensi ataupun lamanya sebuah tidur. Kali ini saya mendapatkan kualitas tidur yang luar biasa walaupun hanya menghabiskan 4 jam saja. Pagi di kota Sang Bima terasa bising oleh aktivitas yang berjalan sibuk layaknya kota lainnya yang mempunyai kesibukan dalam kesehariannya.  Mata terbuka dengan semangat hidup di kota Sang Bima dengan bayangan kesulitan hidup di perjalanan namun semua rontok menghilang entah kemana seperti air panas yang menguap begitu cepat. Penguapan masalah ini bukan lain karena hubungan keluarga yang terjalin antara saya dan bu Fadlun yang menjadi ibu saya dan kawan - kawan di Jakarta yang dijuluki sebagai emak plesiran . Relasi dimana - mana membuat bu Fadlun mempunyai teman - teman hebat sepanjang pulau Nusantara.  Bima merupakan kampung halaman bu Fadlun yang telah ditinggalkan lama ke ibukota Jakarta. Tentunya di kota wayang ini dia memiliki relasi dan keluarga yang banyak. Berkat dia saya terda