Cukup sudah bagi saya untuk mendiamkan blog ini untuk beristirahat sebentar di Labuan Bajo, kali ini saya membangunkan kembali untuk mengisi pengalaman saya selanjutnya. Kesibukan menjadi koki amatir di rumah host membuat blog ini tidak disentuh mesra. Mungkin saja blog ini menjadi jablay jalanan. Hahahaha. Memasak untuk keluarga host sebanyak empat orang dengan porsi yang banyak memang menyita waktu saya untuk menulis. Jadi maafkan saya membiarkan blog ini menjadi jablay jalanan.
Saya ingin menulis cerita pengalaman pertama ke Flores ini dengan judul Cabo de Flores semoga Anda terhibur dengan pengalaman yang super remeh ini.
Pertemuan saya dengan Pak Alex yang menepati tempat duduk ku adalah suatu anugerah tersendiri. Bermula dari tas dan tempat duduk yang saya tinggalkan untuk melihat pemandangan gugusan kepulauan Komodo di sebelah kanan kapal.Tempat duduk saya menjadi kosong, karena kekosongan ini pak Alex menempatinya. Kembali ke tempat duduk saya yang ditempati pak Alex tentu saja percakapan kecil pun terjadi. Dari percakapan sederhana ini, Pak Alex menawarkan diri menjadi host untuk beberapa hari.
Berlabuh di Labuan Bajo saat matahari tenggelam menimbulkan rona - rona indah yang tak terlupakan. Rona kemerahan itu menjadi sebuah ucapan selamat datang yang paling berkesan. Deru knalpot semakin menderu, melaju gerak keluar dari badan kapal yang terlalu sumpek. Saya menunggu keputusan pak Alex untuk memilih jasa mobil terbaik untuk mengangkut barang belanjanya. Sebuah mobil jenis pick up membawa kami ke sebuah daratan pulau Flores yang indah.
Penyambutan hangat tidak berlalu begitu saja namun kembali terjadi di rumah pak Alex yang sederhana. Rumah semi permanen yang dicipta untuk mencari rezeki, berlokasi di wilayah pusat pemerintahan Kabupaten Manggarai Barat. Penyambutan hangat saya peroleh dari semua penghuni rumah terutama anak pak Alex yang masih duduk di bangku SMA kelas tiga. Andre, nama panggilan anak terakhir dari keluarga pak Alex. Ramah dan supel layaknya sifat bapaknya yang selalu memberi kesan yang luar biasa.
Malam ini saya tidur bersama seorang karyawan pak Alex. Di kamar ini saya mempunyai nostalgia dengan aksesoris di kamar, terutama jaring nyamuk yang terpasang membentuk sebuah kubus. Saat saya masih kecil saya selalu tidur dengan jaring anti nyamuk ini. Selalu membekas di hati saya akan kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya, setiap mau tidur, ibuku selalu mencari nyamuk yang terjebak masuk kedalam jaring.
Rona - rona senja di ujung barat pulau Flores |
Ufuk timur memberikan cahaya di bumi Flores ini, terasa hangat membelai kulit. Suasana kesejukan tercipta oleh rindangnya pohon yang berjajar mengelilingi rumah. Nyaman rasanya! Tidak mau terlena oleh kenyamanan, saya bergegas untuk membereskan barang - barang di dapur. Ya inilah janji saya pada pak Alex untuk membantu di rumah. Beruntung bisa bertemu dengan mas Samsul seorang pedagang Jawa yang sukses di Labuan Bajo. Dia mengelola sebuah rumah makan sederhana di kompleks pemerintahan Kabupaten Manggarai. Karena mempunyai sebuah rumah makan tentu saja mas Samsul tahu mengenai harga sayuran, lokasi pasar dan hal lainnya yang berhubungan dengan perdagangannya.
Pagi ini (20/10/16) saya ditemani mas Samsul berbelanja di pasar tradisional. Cukup membuat saya kaget karena aktivitas bisnis di sini termasuk mahal. Bayangkan saja satu porsi makanan standar saja berharga Rp 35.000. Tiga kali makan sudah Rp 105.000 jelas lebih murah di Bandung ataupun Jakarta terlebih di Yogyakarta ataupun Purwokerto. Jangan kaget karena aktivitas bisnis yang wooow nominal uang standard di sini adalah Rp 5000. Uang koin jarang sekali ditemukan ataupun digunakan penduduk untuk berteransaksi. Uang kertas nominal Rp 1000 dan 2000 jarang digunakan namun masih ada. Harus berhematlah bagi Anda yang ingin menjadi backpacker di Labuan Bajo.
Pulang ke rumah host membawa 6 ikat kangkung, satu genggam bawang merah, dan dua buah tempe semua itu berharga Rp 20.000 termasuk mahal untuk yang hidup di pulau Jawa. Sampai di rumah langsung saja saya memasak semua bahan yang saya beli. Hal yang membuat saya linglung saat memulai masak adalah bagaimana cara menyalakan kompor yang berbahan bakar minyak tanah?! Sudah terlampau lupa akan tatacara penggunaan kompor minyak tanah, memang dulu saat saya kecil masih menggunakan kompor bahan bakar minyak tanah tapi sekarang hampir semua penduduk pulau Jawa menggunakan gas LPG untuk memasak.
Sekedar informasi harga minyak tanah di sini lebih murah daripada di Jawa. Untuk satu liter minyak tanah dihargai Rp 5000 tentu saja harga subsidi. Menurut saya wilayah timur khususnya NTB dan NTT mendapatkan subsidi hanya untuk minyak tanah saja sementara penduduk Jawa hanya mendapatkan subsidi untuk LPG saja. Syukur alhamdulillah masakan kangkung saya dinikmati dengan lahap oleh karyawan dan Pak Alex sendiri. Hari ini saya memasak dua kali karena saya salah perkiraan porsi.
Waktu siang hari terbuang dengan sia - sia tanpa aktivitas apapun. Sebenarnya ingin sekali ke pulau Komodo ataupun ke Pulau Rinca namun harga memang tidak sesuai dengan kantong rakyat jelata orang Indonesia. Untuk sekali menyebrang saja menguras uang Rp 1.000.000 sampai Rp 3.000.000 ini membuat saya stres berat.
Menjelang sore tiba saya mengajak Andre untuk sekedar berkeliling mengunjungi tempat indah dan menawan di sekitar Labuan Bajo tentunya yang tidak memerlukan tiket!! Andre memberi saya pilihan untuk mengunjungi Bukit Cinta atau Pantai. Bukit Cinta menjadi pilihan untuk hari ini. Cuaca yang buruk sepertinya cemburu terhadap perjalanan saya kali ini. Tekad yang kuat kecemburuan cuaca terkalahkan!! Gerimis dan hujan ringan kami terobos dengan semangat membara. Syukur alhamdulillah saat sampai di Bukit cinta cuaca kembali pada sifatnya yang selalu baik.
Pohon yang selalu menjadi incaran para penggemar swafoto |
Bukit cinta berlokasi di ujung landasan Bandara Komodo. Di sini terdapat banyak lokasi yang bagus dan sedap dipandang mata. Yang menjadi ciri khas bukit cinta adalah berdirinya sebuah pohon di puncak bukit. Puas dengan Bukit Cinta, Andre mengajak saya untuk menikmati keindahan matahari terbenam di gugusan pulau Komodo. Saya lupa nama bukit ini tapi bukit inilah yang paling tinggi. Bukit tertinggi ini menyajikan pemandangan yang fantasik di seluruh penjuru mata angin. Pemandangan gugusan kepulauan Komodo, pelabuhan, bandara, pegunungan dan laut dari berbagai sudut. Kami hanya menikmati keindahan ini sampai mega mulai memudar.
Sepulang dari Bukit Cinta kami pulang dengan berputar arah sampai akhirnya tiba di Pasar tradisional dekat pelabuhan. Berbelanja kebutuhan terutama sayur dan bahan mentah lainnya. Sepulang dari pasar kami mampir ke pelabuhan PELNI untuk melihat jadwal kapal yang bersandar di Labuan Bajo. Ya saya mempunyai rencana lain untuk selanjutnya. Tidak mau memberatkan sang pemilik motor, kami pergi ke SPBU terdekat untuk mengisi penuh bahan bakar. Saat sampai ke lokasi ternyata SPBU tutup hanya segerombolan orang tua dan anak - anak yang menjual bensin dengan botol bekas air mineral ukuran 1,5 liter yang dijual Rp 15.000 perbotolnya. Lewat jam 6 petang SPBU di sini akan tutup ntahlah alasan pastinya. Bersumber dari Andre bahwa jam 6 petang biasanya bensin sudah habis terjual.
Muka lusuh dan lapar melanda saat kembali pulang. Tentu saja saya mengolah bahan makanan yang saya beli di pelabuhan. Kali ini saya membuat telur dadar karangan saya sendiri dengan campuran sayur yang sehat. Rasa lapar hilang dengan sekejap akhirnya saya tersungkur tidur pulas di kasur tipis khas Palembang.
Banyuwangi, 24 Oktober 2016
08:59 WIB
08:59 WIB
Komentar