Langsung ke konten utama

Corat Coret Di Toilet - Eka Kurniawan

Sang Bima 4

Kali ini saya bingung untuk membuat mukadimah ataupun intro di episod kali ini. Baiklah saya bawa Anda ke inti sebuah perjalanan ke pedalaman Bima yang menawan. 

Hari itu (16/10/16) mentari membakar kulit setiap orang yang berlalu lalang di luar ruangan. Sungguh panasnya melebihi sauna mewah di sudut kota Jakarta. Tak perlu teknik tanning yang menghabiskan uang banyak, kulit Anda dengan sendirinya menjadi eksotik dengan sengatan mentari di langit biru diatas sana. 

Jadwal kali ini mundur beberapa jam karena mas Fahru (www.fahrurizki19.wordpress.com)  masih di acara pesta khitanan saudaranya. Waktu luang yang banyak tentu saja saya pergunakan untuk mencuci baju kotor dan menulis artikel blog. Cukup maksimal memanfaatkan waktu yang kosong. 

Mata terkantuk walaupun bukan jam waktu istirahat siang mungkin saja ini karena faktor kelelahan dalam berfikir dan mencuci pakaian yang hanya lima biji saja. Maklumlah jarang mencuci pakaian. Klakson berbunyi dari luar rumah yang menandakan ada orang yang akan masuk gerbang. Jelas saja yang datang adalah orang yang saya tunggu yakni mas Fahru sang bumiputera Bima. Hanya berbekalkan kamera kami pergi meninggalkan kota Bima yang sibuk.

Sepanjang perjalanan kami disuguhkan pemasangan eksotik nan menawan di teluk Bima. Jalan lurus datar membentang mulus di pinggir pantai teluk Bima. Ombak seakan - akan melambaikan tangannya untuk sekedar mampir di pantai. Lambaian ombak yang menggoda kali ini kami tolak mentah - mentah karena bukan tujuan kami untuk bertemu dengan ombak. 

Matahari melotot tajam ke arah bumi membuat panas yang cukup disegani oleh manusia yang takut akan kulitnya menghitam karena sinar yang terlalu kuat. Memang terasa menyengat sekali matahari kali ini, untung saja kulit saya ditutup oleh sweater, sayangnya sengatan masih terasa di wajah. Bukit tandus jadi kosmetik ayu yang dipakai alam Bima. Semua orang pasti terkagum akan keindahannya, terutama komposisi alam yang sempurna antara bukit tandus dan teluk yang memberikan kesegaran tersendiri. 

Pemandangan di sawah yang dipercaya sebagai tempat bekas meteor jatuh
Tujuan pertama kami adalah sebuah desa adat yang berada di Kecamatan Donggo dengan jarak seekitar 38 kilometer dari kota Bima dan mempunyai waktu tempuh rata - rata 1 jam dengan menggunakan sepeda motor ataupun mobil. Perjalanan menuju desa Mbawa - Donggo tidaklah sesulit yang dibayangkan. Akses jalan menuju desa Mbawa cukup mulus karena semua jalan berbalut aspal jenis hotmix jadi jangan khawatir motor Anda akan rusak karena jalan yang jelek. Sepanjang jalan Anda akan disuguhi pemandangan yang luar biasa misalnya saja pemandangan pegunungan tandus nan eksotik, teluk Bima yang menjorok dalam ke arah daratan pulau Sumbawa dan rumah - rumah tradisional suku Mbojo. 

Banyak petani ladang tandus membakar huma untuk bercocok tanam kembali. Komoditas utama dari wilayah Donggo salah satunya adalah padi huma. Tidak mudah untuk mengelola tanah yang tandus dan berbatu di sini. Ada sisi lain yang dikhawatirkan apabila terjadi hujan lebat dengan intensitas tinggi kemungkinan besar adanya longsor dan banjir di wilayah yang lebih rendah karena tidak adanya pohon penyerap. 

Susana mulai terasa asing saat sampai di kampung tradisional Mbawa. Hampir semua rumah penduduk berbentuk panggung khas rumah suku Mbojo. Ada satu rumah yang dikeramatkan penduduk setempat yakni rumah Leme. Rumah ini hanya ditepati oleh ketua adat saja saat ada upacara tradisional ataupun saat seseorang ingin di doakan oleh ketua adat. Untuk memasuki rumah Leme harus menaiki tangga dan wajib melepaskan alas kaki sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur. 

Rumah Leme berbentuk panggung terbuat dari kayu dan daun pandan sebagai atapnya. Ruang interior rumah Leme tidak mempunyai sekat yang membentuk sebuah kamar atau ruangan kecil sehingga rumah ini balak luas. Tidak ada ruang dapur di rumah Leme, ruang dapur menjadi satu dengan yang lainnya. Kesimpulannya satu ruangan untuk semua fungsi. Terdapat rak di atas tungku masak yang berfungsi sebagai tempat peralatan dapur maupun peralatan yang lainnya. 

Setiap rumah tradisional suku Mbojo mempunyai bentuk seperti huruf X atau disebut juga sebagai tanduk yang berada di atas atap depan rumah . Adapun filosofi dari atap depan rumah tersebut sebagai tanda pengingat ke para leluhur. Ada yang berbeda dari rumah Leme yang dikeramatkan dengan rumah tradisional yang sekarang ditempati oleh masyarakat Mbojo yakni adanya kamar,  dapur dan gudang atau tempat ternak tepatnya di bawah panggung rumah. 

Bukan hanya mempertahankan warisan arsitektur tetapi juga masih mempertahankan warisan budaya, agama dan hal lainnya. Diantara warisan yang masih terlihat di perkampungan Mbawa adalah aktivitas menenun pakaian. Biasanya para perempuan di kampung Mbawa membuat kain tenun untuk upacara adat dalam perkawinan misalnya seseorang akan menikah maka pihak keluarga akan membuat sejumlah kain tenun sesuai dengan jumlah anggota keluarga yang akan dinikahi. 

Kain tenun sekarang mempunyai perbedaan dengan yang dulu dari jenis bahan. Dahulu orang Mbawa membuat kain tenun dari bahan benang alami yang berasal dari pohon randu atau kapuk, sekarang mereka menggunakan benang yang sudah banyak dijual di pasar. Hampir semua wanita dewasa mengunyah pinang dan kapur sirih, lain halnya dengan para pria yang tampak giginya bersih dari warna khas kapur sirih.

Tenun adalah warisan leluhur orang Mbojo yang masih lestari
Terik mentari tidak mengubah rencana kami untuk menjelajahi sebagian wilayah kekuasaan Bima. Beranjak ke lokasi menarik lainnya yang tentunya lebih menarik lagi. Tempat ini dipercayai oleh penduduk setempat sebagai awal mulai orang Mbojo mengenal api. Bukan api sembarang api tapi api yang berasal dari meteor jatuh. Tampak terlihat bekas jatuhnya meteor dengan membentuk lubang yang luas persis seperti sebuah kolosium. Kesuburan tanahnya menjadikan tempat ini sebagai lahan produksi warga untuk bertani. 

Waktu bergulir seiring bergulirnya sang surya ke arah barat kami menapaki alam - alam yang khas dan eksotik. Sungguh penuh penasaran saya mencoba untuk belajar bertani garam. Membuat garam sangat membutuhkan keuletan dan kesabaran tinggi karena waktu panen garam yang begitu lama. Sangat menyayat hati saat saya tanyakan harga satu karung garam yang hanya dihargai Rp 10.000 per satu karung. Betapa tidak adilnya dengan keringat yang mereka keluarkan. Hanya kesabaran dan ketabahan dalam hati mereka untuk menyambung hidup mereka rela menerima bandrol harga yang diberikan. 

Cukup rasanya menikmati sebuah keajaiban alam, kini kami berpindah lagi untuk kembali ke Kota Bima dengan menyisir warung - warung yang menjual makanan tradisional khas Bima. Tepat di sisi jalan kami berhenti untuk mencicipi bubur rempah khas Bima atau Sumbawa yakni bubur minasarua. Bubur ini mempunyai cita rasa yang khas karena penuh dengan rempah - rempah tentunya membuat tubuh Anda hangat. Minasarua dipercayai sebagai tonikum mujarab untuk jasmani yang lesu. 

Sensasi kenyang merasuk lambung yang berteriak lapar tapi tidak sampai di sini saja untuk menjajal kenikmatan kuliner Bima. Mencari informasi tentang warung yang menjual kuliner Bima yang sudah teruji dan dipuja masyarakat, kami menemui paman mas Fahru untuk menayangkannya. Lumayan jauh jarak antara rumah paman mas Fahru dengan warung yang menjual sup kaki kerbau khas Bima yang populer dengan nama lokal Kopa sahe

Kopa sahe  kaya akan rempah - rempah dalam kuahnya boleh disamakan dengan kuah opor. Yang membuat berbeda adalah kaki kerbau yang menjadi lauk utamanya. Sup ini cocok dimakan saat pagi atau malam hari dengan keadaan hangat (panas) kenikmatan akan bertambah apabila Anda makan dengan orang terdekat. Minasarua yang membuat sensasi hangat dan mengenyangkan berdampak pada Kopa sahe yang harus dimakan untuk santap malam. 

Sape,  19 Oktober 2016
10:25 WITA

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nama-nama Tai

Sega, beras yang ditanak Apa benar bahasa Jawa itu terlalu 'manut' ke bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris? Tampaknya ada benarnya juga, bahasa Jawa terpengaruh/meminjam banyak kosa kata dari bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Kekurangan kosakata dalam bahasa Jawa memang kebanyakan untuk hal-hal seperti teknologi ataupun hal lainnya. Jangan berkecil hati untuk penutur bahasa Jawa di seluruh dunia! Perlu diingatkan bahasa Jawa mempunyai keunikan tersendiri, misalnya saja untuk belajar bahasa Jawa 'satu paket' atau juga keseluruhan dari bahasa kasar/ngoko, bahasa sedang/madya hingga bahasa halus/kromo, sama saja belajar tiga bahasa!! Bayangkan belajar tiga bahasa, apa gak repot ya?! Itulah keistimewaan bahasa Jawa. Bersyukur! Berbagai keistimewaan bahasa Jawa juga terdapat di istilah-istilah yang sangat detail/spesifik pada suatu beda yang mengalami sebuah perubahan sedikit maupun perubahan besar. Misalnya saja untuk rangkaian nama dari sebuah padi/po

Menegang dan Mengeras Oleh Nyai Gowok

Ah...sialan! Padahal aku sudah kenal buku ini sejak Jakarta Islamic Book Fair tahun 2014 lalu! Menyesal-menyesal gak beli saat itu, kupikir buku itu akan sehambar novel-novel dijual murah. Ternyata aku salah, kenapa mesti sekarang untuk meneggang dan mengeras bersama Nyai Gowok. Dari cover buku saya sedikit kenal dengan buku tersebut, bang terpampang di Gramedia, Gunung Agung, lapak buku di Blok M dan masih banyak tempat lainnya termasuk di Jakarta Islamic Book Fair. Kala itu aku lebih memilih Juragan Teh milik Hella S Hasse dan beberapa buku agama, yah begitulah segala sesuatu memerlukan waktu yang tepat agar maknyus dengan enak. Judul Nyai Gowok dan segala isinya saya peroleh dari podcast favorit (Kepo Buku) dengan pembawa acara Bang Rame, Steven dan Mas Toto. Dari podcast mereka saya menjadi tahu Nyai Gowok dan isi alur cerita yang membuat beberapa organ aktif menjadi keras dan tegang, ah begitulah Nyi Gowok. Jujur saja ini novel kamasutra pertama yang saya baca, sebelumnya tidak pe

Mengenal Tanaman Kangkung Bandung (Kangkung Pagar)

Kangkung Bandung, sudah tahu tanaman ini? Menurut buku  biologi tanaman ini berasal dari Amerika Latin (Colombia, Costa Rica). Ciri tanaaman ini tumbuh tidak terlalu tinggi cuma sekitar satu meter sampai dua meter maksimal tumbuhnya. Kangkung Bandung tidak bisa dimakan layaknya kangkung rabut atau kangkung yang ditanam di atas air. Bentuk daun menyerupai kangkung yang bisa dimasak (bentuk hati) begitu juga dengan bentuk bunganya. Bunganya berbentuk terompet berwarna ungu muda terkadang juga ada yang berwarna putih. Batang Kangkung Bandung cukup kuat sehingga memerlukan tenaga cukup untuk memotongnya (tanpa alat).  Tanaman Kangkung Bandung Sebagai Patok Alami Pematang Sawah Fungsi dan manfaat Kangkung Bandung sendiri belum diketahui banyak, beberapa sumber mengatakan tanaman ini bisa dijadikan obat dan dijadikan kertas. Pada umumnya masyarakat desa menjadikan Kangkung Bandung sebagai tanaman untuk ciri (patok) batas antar pemantang sawah. Daya tumbuh tanaman ini cukup baik d