Hari ini (15/10/16) hanya berniat untuk mengunjungi kota tua di Bima tepatnya di Raba yang bisa dijangkau oleh semua kenderaan umum ataupun pribadi. Niat untuk mengunjungi kota tua ini sebenarnya jam tujuh pagi namun karena ada ajakan dari Om Bram akhirnya pagi ini terasa spesial karena diajak berbelanja ke pasar tradisional di dekat pelabuhan Bima.
Pasar tradisional ini berdekatan dengan pantai teluk Bima di jalan sultan kaharudin. Suasana pasar pagi ini terasa sibuk dan unik karena setiap pedagang menawarkan dagangannya dengan suara lantang ada juga yang menggunakan toa seru juga menikmati kehidupan sosial di Bima.
Barang yang dijual pun cukup murah bagi saya terutama hasil tani dan hasil tangkapan ikan nelayan yang jauh lebih murah daripada di Jakarta ataupun kampung halaman saya di Pamarican - Ciamis. Empat ekor ikan kembung tanpa ditimbang terlebih dahulu dihargai dengan Rp 10.000, ikan kakap merah Rp 20.000 dengan ukuran besar dan banyak sekali jenis - jenis ikan yang saya tidak ketahui. Ikan hasil tangkapan nelayan ini dijual langsung selepas pulang melaut jadi tidak perlu lagi lemari es untuk menyimpan karena ikan masih segar.
Hasil pertanian yang cukup murah seperti kacang panjang yang dijual satu bundel besar dengan harga Rp 5000 dan sayur mayur lainnya yang cukup murah dibeli di sini. Saya merasa hewan juga kenapa apel malang yang susah didapati di Jakarta lebih mudah di temui di Bima selain itu sayur 'jari perawan' pun gampang ditemui padahal di Jakarta sayuran ini hanya terdapat di mall dengan harga yang mahal karena import. Jambu monyet juga dijual di sini unik juga jambu monyet yang sepat rasanya dan bisa membuat bibir Anda jontor karena gatal yang ditimbulkan oleh getah jambu. Daun kelor dijual dengan murah juga agak aneh juga daun kelor dimasak sementara di Jawa daun kelor tidak pernah dibuat sayur. Luar biasa!
Nenek sang penjual seledri dan bawang kupas |
Sepulang dari pasar tentu saja Bu Bram mengajak saya untuk memasak makanan tradisional Bima yang yahud...tiada duanya. Wangi ikan kembung yang dimasak terasa menyengat dan menggoda lidah saya untuk menjilat dan mengigitnya dengan paksa. Sepertinya aroma ikan kembung yang dimasak Bu Bram memang mempunyai karakteristik tersendiri berbeda yang saya makan di Jawa. Tekstur daging ikannya pun terasa lembut dan gurih. Karena nafsu yang tinggi membuat saya mengigit dan menjilat lebih banyak lagi.
Selain ikan yang membuat saya jatuh hati terhadap kuliner Bima ada juga sambel khas Bima yang selalu membuat saya mencolek colek terus. Sambel Bima dibuat dengan bahan yang sederhana cukup dengan cabe rawit, garam, vitsin, bawang dan jeruk purut atau nipis. Berbeda dengan sambel lainnya sambel Bima membuat karakteristik pedas dan segar, kesegaran sambel diperoleh dari jeruk nipis yang diiris tipis dengan kulitnya. Jangan heran kulit jeruk ini bisa dimakan loh tentu saja kulit jeruk menambah koleksi rasa di lidah karena sifat pahit yang dikandung pada kulit jeruk.
Selesai sudah jamuan dari keluarga Bram yang lezat tiada tandingan. Alhamdulillah atas rejeki yang Kau berikan semoga perantaraMu diberikan rezeki yang tiada tara juga. Amin. Tanpa mengurus rasa hormat saya kepada om Bram saya pamitan untuk pergi keliling kota kembali. Kali ini saya ingin mengunjungi kota tua Bima di kawasan Raba. Kawasan kota tua ini tidak jauh dari pusat pemerintahan kota Bima dan juga tidak jauh dari tempat saya menginap, sekitar 20 menit menggunakan sepeda.
Sebelum memasuki kawasan kota tua Bima saya sempatkan untuk memotret keindahan arsitektur gedung walikota Bima yang sangat megah. Saya fikir lebih megah daripada bangunan walikota yang ada di Jawa. Bangunan ini bercat putih dengan tiga kubah yang menghasi bangunan tersebut.
Kota tua Bima ini ditandai dengan rumah telegram yang berada di tengah - tengah jalan Nasional. Tentunya membuat orang bertanya tentang bangunan khas kolonial tersebut. Memasuki ke dalam perumahan terlihat beberapa bangunan indisch yang masih berdiri megah selain itu ada gereja protestan. Sempat dicurigai oleh seorang jemaat gereja karena saya memotret bangunan gereja. Ibu tersebut khawatir akan teror terhadap gerejanya. Tentu saja saya sebagai Muslim menjelaskan niat baik saya hanya memotret keindahan arsitektur gereja peninggalan kolonial ini. Ibu tersebut mengajak saya untuk memasuki gereja dan.bertemu dengan pastor yang masih lajang namun saya urungkan karena keimanan saya yang tidak sempurna.
Hari ini layaknya hari sebelumnya dengan terik matahari yang bisa membuat sebagian perempuan indonesia gundah akan kemulusan dan putih kulitnya yang akan berubah menjadi coklat saat terpapar lama oleh sinar surya. Tidak tahan dengan sengatanya saya beristirahat di taman kota yang penuh oleh muda mudi yang sedang ngobrol santai Dibawah sejuknya pohon. Memang mengasikan sekali duduk santai bicara ngalor ngidul ditemani minum segar dan camilan renyah. Satu jam duduk untuk istirahat dan menulis blog membuat saya jenuh dan ingin kembali beristirahat santai di kamar.
Menjelang sore hari saya berniat untuk olahraga di sekitar kawasan gedung olahraga namun karena banyak acara - acara menarik akhirnya saya cukupkan hanya berolahraga sejam saja. Acara menarik di dekat GOR ada acara balap sepeda BMX antar Rw yang disenggarakan untuk remaja dan anak - anak saja. Cukup seru melihat balapan ini. Di sisi lain di lapangan istana terdapat lomba beat box dan tari ala Amerika tentu saja ramai yang menonton terutama kalangan siswa SMA.
Berpose di Pantai Amahami |
Demi mengejar keindahan sang surya yang akan kembali keperaduannya ku kayuh dengan cepat menuju pantai teluk Bima yang tak jauh dari istana. Teluk Bima terasa lebih indah dengan rona rona yang dihasilkan oleh proses kepulangan sang surya. Menikmati kepulangan sang surya dengan kesyahduan seorang backpacker yang mengharap keindahan dunia.
Malam tiba dengan cepatnya saya menunggu undangan dari mas Abim dan mas Andang yang menjanjikan untuk ngaliwet ternyata tidak ada konfirmasi kembali jadi saya putuskan untuk main sepeda dan menikmati bukit Jati Wangi. Untuk kedua kalinya saya ke bukit ini yang sebelumnya dengan mas Andang. Banyak orang yang menonton saya karena keanehan yang saya lakukan di bukit itu. Saya adalah satu - satunya pengunjung yang mengendarai sepeda ontel sampai puncak sementara pengunjung lainnya menggunakan sepeda motor.
Puas menikmati keindahan dan belaian angin di bukit Jatiwangi saya pulang dengan penuh peluh di tubuh. Waktu belum juga menunjukkan malamnya bingung untuk mengusir kesepian ini saya kembali lagi untuk menyaksikan ajang bakat beat box sampai malam menyapa dengan keheningan.
Bima, 16 Oktober 2016
11:13
11:13
Komentar