Kualitas tidur adalah yang utama dari sebuah tidur bukan frekuensi ataupun lamanya sebuah tidur. Kali ini saya mendapatkan kualitas tidur yang luar biasa walaupun hanya menghabiskan 4 jam saja. Pagi di kota Sang Bima terasa bising oleh aktivitas yang berjalan sibuk layaknya kota lainnya yang mempunyai kesibukan dalam kesehariannya.
Mata terbuka dengan semangat hidup di kota Sang Bima dengan bayangan kesulitan hidup di perjalanan namun semua rontok menghilang entah kemana seperti air panas yang menguap begitu cepat. Penguapan masalah ini bukan lain karena hubungan keluarga yang terjalin antara saya dan bu Fadlun yang menjadi ibu saya dan kawan - kawan di Jakarta yang dijuluki sebagai emak plesiran. Relasi dimana - mana membuat bu Fadlun mempunyai teman - teman hebat sepanjang pulau Nusantara.
Bima merupakan kampung halaman bu Fadlun yang telah ditinggalkan lama ke ibukota Jakarta. Tentunya di kota wayang ini dia memiliki relasi dan keluarga yang banyak. Berkat dia saya terdapar dengan nyaman. Alhamdulillah.
Kenyamanan ini bukan lain dipersembahkan oleh orang yang baik hati bernama Fahru Rizki seorang ayah dua orang putri yang berjiwa muda selamanya. Karena selalu berjiwa muda bapak dua anak ini enggan dipanggil dengan sebutan "pak atau bapak" dia hanya ingin dipanggil dengan "mas ataupun abang" tentu saja membuat saya salah panggil terus hehehe.
Mas Fahru adalah seorang bumiputera tentunya mempunyai sejuta pengetahuan mengenai tempat tinggalnya yang indah. Berkat bakat dan kecerdasannya dalam menulis semua potensi wisata di kota wayang ini dibeberkan dengan jelas. Anda boleh berselancar ke blognya beliau di Www.fahrurizki19.com. Syukur alhamdulillah saya dijemput mas Fahru jam 08:00 WITA. Langsung saja saya meninggalkan hotel yang hanya ditiduri kurang dari 5 jam saja. Mengeluarkan uang 1 merah dan 1 hijau sedikit berat ya ternyata. Berbeda saat masih kerja dulu mau berapa hijau ataupun merah tetap dianggap murah. Mungkinkah ini yang namanya legeg?!
Bersilaturahmi ke rumah orang tua mas Fahru di sekitar pemukiman kota menjadi hal yang menarik bagi saya karena disini saya menyaksikan tipikal bangunan dan tata kota di Bima. Pemukiman di Bima sendiri mempunyai cita rasa kota rasa desa terlihat adanya arsitektur yang sebagian masih menggunakan kayu dan gaya khas suku Mbojo (Suku Bima). Pemukiman yang khas urban terlihat pada padatnya rumah - rumah yang berjajar rapih.
mas Andang sebelah kanan dan mas Abim sebelah kiri |
Kali ini saya diberi rezeki untuk menempati sebuah rumah besar tepatnya di belakang istana kesultanan Bima dan di pinggir kantor imigrasi kota Bima. Lokasi yang strategis untuk bisa bebas berjalan - jalan ke tempat menarik. Di rumah ini tentu saja saya tidak sendiri tapi ada 2 keluarga yang mendiami rumah khas Belanda ini. Keluarga pak Bram dan keluarga Mas Bakso Solo.
Menempati kamar yang luas adalah salah satu hal yang luar biasa bagi saya karena belum pernah menggunakan kamar yang luasnya 5x5 meter persegi. Alhamdulillah dengan Rahmatnya saya bisa tinggal di tempat yang terbaik dan terima kasih banyak untuk kesediaan mas Fahru memberi tumpangan kepada saya.
Bima juga merupakan tempat tinggal teman saya yang di Yogyakarta. Tak dilewatkan untuk menjalin silaturahim kembali saya hubungi mas Dediansyah untuk mengabarkan saya sudah berada di Bima. Tentu saja mas Dediansyah mengundang saya untuk berkunjung ke rumahnya di daerah Jati Wangi yang tak jauh dari wilayah istana. Sekitar 10 menit menggunakan sepeda. Karena mas Dediansyah berada di Yogyakarta tentunya saudara mas Dediansyah yang menjemput dan menemani saya untuk keliling Bima.
Destinasi pertama yang ditunjuk mas Andang dan mas Abim adalah kantor walikota Bima yang megah dengan lampu hias seperti dalam festival. Sayang sekali kita hanya berjalan lambat tidak berhenti untuk berfoto ataupun menikmati keindahan arsitektur gedung walikota. Berlanjut kembali ke pemakaman para raja Kesultanan Bima yang terletak di atas bukit. Disini memang terkenal banyak pemuda untuk memadu kasih walaupun di lokasi yang sakral. Hanya beberapa raja yang disemayamkan di bukit ini jadi tidak semua raja bersemayam di pemakaman ini.
Nampaknya kesakralan kompleks pemakaman raja ternodai oleh pemuda yang mempunyai nafsu membara dalam memandu cinta. Saat pertama datang di kompleks pemakanan ini saya tertarik untuk memotret keindahan lampu - lampu runtuh yang bersinar terang bak bintang di langit yang terlihat dari ketinggian bukit sontak saja kaget melihat dua sejoli sedang mabuk cinta. Karena kondisi yang tidak bagus mas Abim menyarankan saya untuk pindah ke tempat lainnya atau sekedar berkeliling kota.
Gempita lampu - lampu kota Bima dari bukit Jatiwangi |
Sepanjang perjalanan mas Abim selalu bercerita tentang kehidupan di Bima dan keunikan Bima. Adik mas Dediansyah nampaknya tidak suka berbicara banyak kenimbang mas Abim dan saya hehehehe maklumlah mulut lebar hahahaha. Agak bingung kemana tempat nongkrong yang bagus kami memilih untuk ke "bukit bintang ala Bima" bukit bintang ini tidak jauh dari rumah mas Andang. Jalan menuju ke bukit bintang ini sudah diaspal dengan baik hanya saja harus berhati hati karena tidak ada pagar penghalang di sepanjang jalan menuju puncak bukit. Sudah ada korban yang terjatuh dari bukit saat menuruni bukit mungkin karena rem blog atau tidak konsentrasi saat mengendarai motor. Namun juga ada pagar pembatas mungkin kecelakaan atau tingkat keselamatan lebih baik.
Di bukit bintang ini Anda bisa melihat seluruh wilayah kota Bima yang dipenuhi oleh lampu yang terang benderang baik di sisi manapun Anda melihat. Sangat di sayangkan kuliner yang tersedia tidak mempunyai karakteristik daerah setempat. Disini berjajar warung traditional namun hanya menjajakan kopi instan dan jajanan pasar yang tidak punya karakter. Semoga saja suatu saat nanti ada wedhang khas Bima yang bisa dinikmati di bukit ini.
Angin bertiup begitu kencang membuat dua teman saya ini kedinginan dan mungkin saja masuk angin. Dengan alasan tersebut kita mengakhiri pertemuan kali ini.
Bima, 15 Oktober 2016
15 :13 WITA
15 :13 WITA
Komentar