Satu setengah bulan yang lalu kembali menjadi honorer dengan niatan membantu perekonomian keluarga di tengah pandemi. Berapapun duitnya saya terima untuk meringankan risakan ekonomi akibat pandemi ini.
Menjadi pekerja ada beberapa titik kehidupan, mulai dari titik ngenes, seneng, datar dan bosan. Aku pun begitu, terlebih saat menemukan fakta penghasilan dan juga tuntutan hidup yang selalu melibatkan ekonomi. Hari ini saya menulis untuk diri saya sendiri dan sebagai cerita bagiamana kehidupan pekerjaan seorang honorer.
Kukus sebagai ahli madya dalam bidang keperawatan dengan segala nominal tercurah dan predikat yang baik, semua itu katanya mempunyai nilai jual yang baik. Saya yakini demikian di suatu sudut lain, namun sayang di sudut ini kami kalah dan menjadi golongan yang nasibnya mengerikan. Biar tidak disangka ngadi-ngadi mari kita hitung seperti apa keringat yang keluar dan uang yang diterima.
Ini adalah hitungan saya yang berdomisili dengan rumah keluarga, tak jauh dari tempat kerja sekitar dua sampai tiga kilometer. Job list saya sebagai honorer di puskesmas dengan tambahan BLUD sebagai berikut: menerima pasien gawat darurat; mempersiapkan tempat tidur, mengerjakan tindakan medis, membersihkan peralatan medis, membuat laporan, membuat kassa dan sejumlah pekerjaan yang tak terlihat. Okeh sekarang masuk ke jam kerja, di sini terdapat tiga sesi kerja (shift): pagi, sore dan malam. Ketiganya jika dijabarkan menjadi pagi dan sore masuk ke dalam delapan jam kerja, sementara shift malam adalah jam paling panjang yakni dua belas jam.
Kita sekarang masuk ke dalam hitungan uang, setengah bulan yang lalu saya mendapatkan amplop putih sebagai isi gaji dari sebulan yang lalu. Isi dari amplop sejumlah Rp 600.000 tanpa tambahan lainnya. Kita hitung jumlah hari sebulan dan bagikan dengan jumlah uang yang diperoleh: 600.000 : 30 = 20.000. Jadi jika dihitung harian maka gaji honorer seperti saya mendapatkan penghasilan Rp 20.000 perhari. Di puskesmas tidak ada uang transportasi, uang tunjangan hari tua ataupun uang untuk asuransi kesehatan. Jika ingin mendapatkan uang lebih bisa ikut program kesehatan yang lain di luar jadwal kerja seperti menjadi surveilans, merekap data-data pasien dan yang lainnya.
Oooo inilah kehidupan nyata yang mesti dinikmati entah dengan bersyukur, kecewa, atupun dengan hal lainnya yang bisa dicurahkan. Ada keuntungan lain yang sangat terlihat, jika anda menjadi honorer: seragam sebagai sebuah kehormatan, akses kesehatan yang mudah, relasi ke pejabat ataupun tokoh masyarakat, dan kemudahan urusan birokrasi.
Bagaimana dengan makan? Di puskesmas tidak ada uang makan, tapi ada jatah makan untuk yang masuk sore dan malam berupa mie instan dan kental manis satu sachet. Di sini saya merasa beruntung sekaligus malu karena selalu ditraktir ibu haji, dia selalu mengajak saya makan baik makanan yang dari rumah maupun dia beli sendiri.
Aku sendiri curiga dengan teman honorer lainnya yang tidak punya usaha lainnya, tapi hidup glamor. Padahal jika dilihat penghasilan selama menjadi honorer itu kecil sekali, bahkan untuk membeli bensin juga mikir dua kali. Saya berharap bahwa pekerjaan ini membawa sebuah ketenangan jiwa, semoga. Dan jika suatu hari ada kesempatan untuk keluar kembali dan mendapatkan pekerjaan yang layak secara penghasilan.
Pernah berpikir kembali untuk menjadi pengangguran (petani) saja, kenapa bisa? Dilihat dari penghasilan honorer lebih rendah daripada buruh serabutan yang biasanya mendapatkan Rp 50.000 perhari. Wajar di sini para buruh lebih sejahtera secara ekonomi ataupun kecukupan keuangan daripada honorer yang kadang mencari uang lain baik dengan cara berdagang, korupsi, hutang, atau nyambi usaha lainnya. Boleh dikata honorer sebagai jembatan 'kehormatan' karena seragam yang dipakai.
Komentar