Artikel ini pernah dibacakan di program Jurnal Maria (JM) Radio Taiwan Internasional seksi Bahasa Indonesia pada tanggal 27 September 2021.
MENJEMPUT IMPIAN
"Kalau mimpi paling tidak setinggi angkasa raya, biar pas jatuh gak sampe tanah amat, paling enggak jatuh di bulan".
Kalimat yang mesti direnungkan dan dijalankan, mimpi setinggi langit bukanlah ngawang-ngawang belaka jika usahanya dikerjakan dengan sepenuh hati. Impian yang tak terlalu tinggi pastinya jatuhnya gak jauh dari wilayah sekitar. Begitulah interpretasi dari kalimat di atas, kalimat yang saya dapatkan dari sebuah podcast. Kalimat ini sangat menginspirasi saya yang sedari dulu mempunyai impian yang begitu 'pendek'.
Menceritakan kembali tentang impian masa kecil adalah hal yang sangat menyenangkan, bahkan bisa jadi memalukan atau menjadi komedi yang tak larut oleh ingatan. Bagi sebagian besar anak-anak pada umumnya impian atau cita-cita adalah harapan besar dengan level tertinggi untuk setiap profesi yang dianggap 'atas' oleh setiap orang di suatu tempat, budaya dan agama tertentu. Semisal saja impian anak-anak Indonesia sejak kecil dan ini memang tercipta dari anak-anak periode 'jadul' yang mahfum menyebutkan cita-cita seperti menjadi presiden, dokter, masinis, astronot, dan profesi yang dianggap 'kece'.
Namun tidak bagi saya! Dan guru pun bertanya kenapa? Aku sendiri mempunyai pikiran yang susah dimengerti, mungkin juga karena pikiran anak-anak selalu susah dipahami oleh orang dewasa. Padahal pikiran anak-anak adalah pikiran yang sederhana saja. Bahkan saya sering bertanya sederhana, namun orang tuaku dan orang dewasa lainnya tidak bisa menjawab pertanyaanku yang sesederhana itu. Jawabku pada guru "Pak, saya ingin menjadi seorang manusia yang bebas dan sederhana". Guruku ngotot dengan penggalian pikiranku juga dengan pemaksaan kehendak impian yang mereka inginkan. Dan aku pun tak sanggup untuk mengucap cita-cita yang mereka inginkan. Hingga akhirnya saya menyebut profesi ayahku, petani.
Rendah sekali ya, seperti anak-anak harapan suram. "Masa petani jadi cita-cita wong keluarga petani masa anaknya jadi petani lagi, emang gak gairah impian?" Mungkin seperti itulah suara hati guruku. Aku memilih profesi petani sebagai profesi paksaan guru untuk menyebut cita-cita secara spesifik, bukan menjadi orang bebas merdeka yang sederhana. Walaupun paksaan bagiku profesi petani memang dekat sekali dengan kehidupanku sehari-hari, terlebih pada idolaku yakni ayah.
Masa anak-anak adalah masa mencontoh pada orang yang terdekat terutama keluarga. Demikian padaku yang masih anak-anak, saya meniru apa yang dilakukan ayah termasuk pikiran, gaya bicara, dan kehidupan sehari-hari lainnya. Dari hal inilah saya memilih untuk menjadi petani, karena memang panutanku adalah seorang petani. Riuh anak-anak lainnya menyeruak seantero ruang kubus kelas, heran dan lucu. Dan kupikir itu adalah lucu yang melecehkan, aku tersinggung. Itulah masa kecil.
Sejalan umur dan keterisian intelegensi dari waktu ke waktu terjadi pergeseran impian. Semua impian itu bergeser dengan skala-skala pendidikan, kemampuan dan ketertarikan. Pernah ingin menjadi pengusaha barang rongsokan karena melihat betapa melimpahnya harta tetangga yang menjadi pengepul barang rongsokan, namun bagiku itu hanya cita-cita yang penuh ambisi kehartaan. Pernah juga ingin menjadi relawan kemanusiaan, peneliti (periset), dan pernah juga ingin jadi penyiar karena terlalu seringnya mendengar penyiar radio stasiun luar negri. Pernah di warung kopi pembicaraan tentang impian menyeruak pada setiap mulut dan menjadi hal menarik, ada kesimpulan yang lucu: "Cita-cita saat kecil memang setinggi langit, di SMP turun sampe ke tower seluler, di SMA turun lagi ke pohon rambutan dan cita-cita saat kuliah seperti turun dari kasur, sampai-sampai menyebutkan cita-cita sendiri pun tak mampu".
Menjadi dewasa adalah keniscayaan, bila jalan kehidupan berjalan lancar tanpa alang-alang kematian. Demikian pada sebuah cita-cita yang akan terganjal oleh waktu yang mengikat pada hayat dikandung badan. Cita-cita akan berjalan dengan baik bila diikuti dengan usaha gigih, cinta yang tulus, serta dinamika kehidupan lainnya yang menyokong cita-cita.
Apakah masih ada cita-cita di masa dewasa?
Masih, walaupun cita-cita itu bukan seperti di profil biodata anak-anak SD, SMP ataupun SMA. Cita-cita manusia dewasa adalah cita-cita spesifik yang tercipta oleh dinamika kehidupan yang mereka alami. Ada yang ambisius seperti di awan angkasa ada yang sesederhana bulir pasir di padang sahara, semua masih tersimpan di sanubari manusia dewasa begitupun pada manusia yang hendak berpulang pada kehidupan selanjutnya.
Kesederhanaan cita-cita akibat dinamika kehidupan manusia dewasa tidak boleh dianggap enteng oleh semua orang. Sesederhana bulir pasir Sahara bisa sangat berarti bagi orang tersebut, karena skala cita-cita dan ukuran kebahagiaan setiap orang berbeda. Jangan merusak cita-cita dan kebahagiaan orang lain karena skala yang berbeda.
Kira-kira apa saja cita-cita atau impian di masa dewasa? Masa dewasa yang sudah mengemban profesi pada umumnya akan menitikberatkan pada pengembangan usaha atau profesi yang dilakoninya, menambah kualitas diri sendiri dan hasil kerja dan lain sebagainya. Kadang orang dewasa akan 'menitipkan' cita-cita yang tertunda itu pada anaknya. Dengan bekerja keras dan membiayai sekolah anaknya para orang tua secara tidak langsung 'menitipkan' cita-cita yang tertunda, kadang tujuan cita-cita yang 'dititipkan' akan berbeda dari yang sebelumnya seiring berkembangnya zaman dan pikiran dari orang tua.
Saya sendiri masih mempunyai cita-cita yang tiada akhir, saat ini saya masih menitik beratkan pada kemampuan diri untuk bermanfaat bagi semesta. Begitulah sederhananya cita-citaku, mungkin lebih sederhana daripada bulir pasir Sahara. Terima kasih untuk kesempatan menulis dan berpikir kembali akan cita-cita di acara JM.
Di depan jendela yang memancarkan cahaya, 2 September 2021
Waluyo Ibn Dischman
Komentar