Bukan salahku untuk mencintai, urusan rumit ini bukan saja dari sebuah enzim, hormon, antropologi, sosial bahkan agama. Kompleks sudah. Aku membutuhkan benda atau hal yang tak berupa, hanya sebuah rasa dan emosi yakni cinta. Saat pertemuan di kolom chat, seakan kita menghangat tanpa sebuah tungku api. Tanpa sebuah korek begitupun lilin kecileakan menyaladan mengambar seluruh sudut ruang hati.
Aby. Pernah memberikan cintanya di malam Senin, saat para bintang dan bulan senyum pada bumi yang mulai mengantuk. Percakapan itu dimulai begitu hangat persis seperti paragraf di atas. Dan terbakar ke seluruh neuron baik padaku dan dirinya, tangannya begitu menarik untuk bersentuhan. Rambut lurus nan hitam melambaikan helaian untuk segera dicium dari belakang.
Dan ingat, awalnya hanya dari kehangatan sentuhan. Apalahdaya hormon kita terlalu cepat naik seperti komet yang melintas, aku khawatir. Pada pengabdian cinta yang pernah tertanda oleh kedua bibirku, musnah sudah oleh laku kita malam ini. Aku khianat, melenceng yang bersinonim dengan serong. Terdengar menjijikkan, hanya neuronlah yang menikmati dengan baranya. Bi, kita tenggelam saat itu.
Pada gua garba yang mengasikan aku senang untuk maju mundur, entah kau senang atau tidak. Nyatanya seperti itu. Pada bagian tubuh yang lain kau pun tampak membara seperti bambu runcing yang tegak. Ilmu tantri menjelma menjadi seinggok tai yang hina, inikah aku yang sedang menggila padamu.
Padamu aku gak pernah merasa kecil, walaupun pada akhirnya tertolak hingga aku terdampar pada sebuah kesemuan. Kini riwayat cintaku semakin memuai tak bermakna.
Banjar, 11 April 2022
Komentar