- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Setiap hal mempunyai jalur ilmunya tersendiri termasuk nama tempat. Ilmu mengenai nama tempat disebut juga Toponimi, suatu hal yang baru bagi saya dewasa ini. T Bachtiar membawa saya untuk mengenal lebih lanjut apa itu Toponimi baik dari segi ilmuan, pengetahuan tentang nama-nama tempat di Jawa Barat juga pada hal hal yang sebelumnya ‘gelap’. Mendapatkan buku Toponimi adalah kecelakaan keuangan terindah tahun ini, di mana saya sudah memutuskan ‘sumpah palapa’ untuk tidak membelanjakan uang pada buku-buku baru. Lewat enam bulan tahun 2025 berjalan, buku-buku bertumpuk dalam belasan jilid dengan nilai melebihi 3.000.000 Rupiah Indonesia. Orang bilang kalap, parahnya setelah ‘sumpah palapa’ membeli 3 judul buku lagi diantaranya Toponimi.
Ada keistimewaan tersendiri pada buku yang dibeli kali ini, tanda tangan penulis. Belum pernah saya mendapatkan tanda tangan dari penulisnya langsung. Aaaaaa!!! kegirangan ini meluap melebihi sungai Nil dengan potongan harga sampai Rp 96.500 dengan harga normal Rp 125.000.
Berjilid warna merah hati dengan hiasan gambar peta tua menjadi pemikat jitu untuk para pecinta buku, siapapun akan merasa nyaman melihat jilid buku tersebut. Penerbit Pustaka Jaya memang jarang gagal untuk menaklukan mata para pembaca. Dengan 298 halaman T Bachtiar bercerita bagaimana sebuah tempat diberi nama dan bagaimana proses pengawetan kata berlangsung begitu lama. Buku ini memang lebih fokus pada nama-nama tempat di wilayah Jawa Barat, namun beberapa daerah pun disebut seperti Jawa Tengah dan Banten. Terlebih Banten sebagai bagian tak terpisahkan dari Jawa Barat karena keterhubungan sejarah dan budaya yang masih seragam, Sunda.
Buku yang dicetak pada Agustus 2025 ini menyingkap pentingnya sebuah nama. Kadang kita kalah rasa setiap menjawab alamat rumah sendiri yang terkesan kampungan atau bahkan rasa terlalu rendah. Ada rasa superior pada sebagian orang yang menganggumi bahasa Inggris ataupun bahasa lainnya yang kesannya lebih modern atau internasional; seperti Green Meadow Estate, Emerald Estate ataupun nama keminggris lainnya. Dengan bangganya si pengagum keminggris itu menyebut tempat tinggalnya, tapi alangkah celaka bagi budayanya yang dibunuh mampus oleh pengembang perumahan dan dirinya sendiri. Pemberian nama keminggris tanpa dasar budaya pada sebuah tempat adalah kecelakaan memilukan, kenapa? perubahan nama dengan kata-kata keminggris akan merusak ingatan kolektif masyarakat pada sebuah tempat.
Pemberian nama tempat di Indonesia khusunya di Jawa Barat umumnya berdasarkan ronabumi, tumbuhan, hewan, bahkan pada sebuah peristiwa dan juga pada nama seseorang. Leluhur kita memberikan nama tempat tidak serampangan begitu saja, melainkan berdasarkan apa yang dilihat sekitarnya. Dengan memberikan sebuah nama pada sebuah tempat jelas kata tersebut 'terawetkan' dalam ratusan bahkan ribuan tahun lamanya. Sebelum membaca buku ini saya sendiri tidak pernah berpikir bagaimana sebuah kata bisa diawetkan ataupun dibekukan dalam kurun waktu yang panjang. Dengan penamaan sebuah kata menjadi awet hingga kurun waktu yang lama, sebagai contoh: Bandung dari asal kata bendung. Dengan sejarahnya wilayah Bandung adalah sebuah danau yang terbentuk aliran sungai Citarum purba yang terbendung oleh materialletusan gunung Sunda yang terjadi pada 105.000 tahun lalu. Toponim Bandung sendiri tercatat dalam peta yang ditulis pada tahun 1726.
Berikut beberapa contoh toponim yang diambil berdasarakan:
1. Ronabumi
daerah ronabumi cekung: legok, sukajadi dll
daerah lereng: Ancol, Lebak, dan Cilebak.
2. Hewan atau tempat hewan
Cimaung = tempat minum harimau; Pamoyanan = tempat berjemur harimau; Cijulang = Julang/burung rangkong; Palutungan = tempat lutung. Cirangkong = burung rangkong.
3. Bebatuan alam
Batukaras = batu-batu kars; Cicadas = air dari batu cadas
4. Peristiwa
Panulisan = tempat menulis/data saat vaksinasi cacar zaman kolonial; Pangalengan = tempat pengalengan susu sapi.
5. Suara
Citorek = torek/budeg/tidak mendengar. Cigenter = suara gemuruh. Kalideres = suara derasnya air mengalir.
6. Tumbuhan
Bantargebang = pohon gebang Corypha utan; Gambir = pohon gambir Uncaria guianensis; Cikawung = pohon nira.
Begitulah para leluhur memerikan nama, ada juga pemberian nama berdasarkan gedung/ bangunan terkenal di daerah tersebut semisal Pondokgede, Gedonggede, Warungjengkol, Pabrikes.
Mengabadikan toponim adalah menjaga dan merawat kebudayaan dan juga warisan budaya tak benda. Menjaga kebudayaan pada toponim sangat jelas bahwa setiap nama tempat mempunyai sejarah kebudayaannya tersendiri yang bawa bahasa masing-masing. Perubahan toponim secara serampangan akan merusak identitas bangsa sendiri. Banyak kasus nasionalsime berawal dari toponim, contoh kasus yang terjadi di sekarang adalah Ambalat, Indonesia memberi nama blok Ambalat pada lautan di sekitar pulau Nunukan, namun Malaysia menolak toponim tersebut. Malaysia menginginkan Laut Sulawesi sebagai toponim wilayah tersebut. Jelas ini pengecohan politik. Hal ini terjadi juga pada kasus saling klaim pulau oleh Jepang dan Korea. Korea Selatan memberikan toponim Pulau Dokdo, sementara Jepang menyebutnya Takeshima. Dari contoh kasus tersebut sekarang kita tahu dan merasa betapa pentingnya menjaga toponim yang sudah diberikan oleh leluhur. Mengganti toponim secara serampangan adalah kecelakaan budaya.
Apalah arti sebuah nama?
kalimat di atas menjadi patah dan tampak sepele, namun bisa ditanggapi serius dengan ilmu toponimi. Sudahkah anda sekalian arti dan sejarah kota tempat tinggal saat ini?
Judul: Toponimi - Asal-usul Nama Tempat di Jawa barat
Penulis: T Bachtiar
Dimensi: ix + 298 hlm
Cetakan: Pertama 2025
Penerbit: Pustaka Jaya
ISBN: 978-623-221-979-3
Komentar