"Pergi meninggalkan kekecewaan pada Abel dan segala hal yang setiap hari mengingatkanku padanya." Awal sebuah cerita dari buku Seidjah seorang gadis pengajar yang melintasi tapal batas kepicikan kolonial. Seidjah melepaskan dirinya untuk menjadi tuan bagi dirinya sendiri, dan ini merupakan perjalanan panjang hidupnya di Hindia Belanda. Seidjah lahir dan besar di Nijkerk, sebuah kota kecil di Belanda. Lahir dari kalangan menengah dengan kepribadian yang apik. Seidjah mempunyai sifat seperti ayahnya yang gemar membaca, segala sesuatu dibaca bagai camilan dan lauk lezat. Pribadinya yang halus dan pembelar menjadikannya seorang guru dengan afkir yang baik.
Seidjah muda terpesona dengan pemuda soft spoken nan gagah dari daerah Friesland. Begitu terpesonanya hingga mabuk kepayang, dan kecewa berat pada Abel P. Pemuda Friesland yang mengahamili perempuan lain saat menjalin kasih dengan Seidjah. Permulaan inilah muasal Seidjah memutuskan untuk melamar dan bersedia menjadi guru di Hindia Belanda, tepatnya Dinas Pendidikan dan Agama di Batavia.
Perjalanan Seidjah menuju Batavia tak lekang oleh cerita yang dibuatnya saat menelusuri samudra Hindia, namun ada beberapa hal yang bikin saya tidak nyaman. Seidjah berlabuh di Singapura dan menyewa sebuah perahu kecil, di sana melihat kehidupan masyarakat Cina. Anehnya diceritakan Seidjah melihat patung Marlion di muara sungai Singapura, padahal saat latar belakang cerita ini patung tersebut belum dibuat. Merlion sendiri dibuat pada tahun 70-an.
Cerita bergulir pada kehidupan Seidjah mulai dari hidup di Batavia, Ambon, Surabaya, Malang dan berakhir di Kutaraja (Banda Aceh). Novel ini sangat menarik dari judulnya "Melintasi Tapal Batas Kepicikan Kolonial" hanya saja bagiku kurang greget dari segi emosional maupun alur cerita. Jenis novel deskripsi yang sangat minim percakapan, tidak ada tokoh. Jadi seperti cerita monolog sejarah kehidupan si Seidjah dari kecil hingga berpisah dari pelukan tanah Hindia Belanda yang dicintai.
Membaca Seidjah seperti membaca novel Indonesia yang terkenal beberapa tahun belakangan, saya lupa judulnya yang pasti isi novel tersebut seperti isi ensiklopedia budaya, tempat dan lain lain. Begitupun Seidjah yang menarik hati saya untuk membeli novel merah bergambar wanita muda Belanda. Kepicikan Kolonial Belanda hanya disebut sedikit, tanpa bumbu emosional yang kuat. Begitupun romansa kehidupan Seidjah dengan pasangan, tanah air, orang terdekat juga dengan tempat di mana Seidjah ditempatkan. Novel ini termasuk hambar.
Walaupaun hambar Seidjah diterjemahkan dengan halus, bahasa yang mudah dipahami dan tidak banyak typo. Novel yang saya pegang hanya ada satu cacat yakni halaman 345-376 tercetak dua kali. Tidak ada yang dirugikan dan cenderung buku tersebut menjadi lebih tebal dari yang normal karena ada tambahan halaman sebanyak 31 lembar.
Judul: Seidjah - Melintasi Tapal Kepicikan Kolonial
Penulis: Nico Vink
Penerjemah: Frieda Amran, Lea Pamungkas, dan Maya Sutedja-Liem
Dimensi: vii + 396 hlm; 14x21 cm
Cetakan: Pertama, 2020
Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
ISBN: 978-602-433-937-1
Komentar