- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
"Kenapa Saudara bilang bahwa seorang atheis tidak boleh berperasaan takut?"
Seorang pernah menjadi atheis, dan tidak cocok menjadi atheis karena ada rasa tidak nyaman dalam jiwanya. Begitulah kondisi Hasan yang terdidik sebagai anak yang alim, terlahir dan besar dengan agama Islam. Kehidupan Hasan berubah setelah bertemu dengan kawan lama, Rusli. Jiwa keagamaan dan dan pandangan hidupnya geser terlalu jauh saat propaganda keatheisan, sosialis dan komunis digaungkan oleh Rusli. Terlebih kedatangan Kartini sebagai katalisator Hasan terjerambab pada kondisi yang tidak sesuai dengan yang diidamkan sejak kecil. Pertentangan batin selalu muncul saat perubahan-perubahan terjadi dalam dirinya.
Jiwa keislaman luntur berangsur sampai Hasan menikah dengan Kartini, gadis bebas dan modern. Detik yang terkumpul hingga berbuah pada jam dan menggunung menjadi sebuah tahun berlalu seiring masa perkawinan Hasan dan Kartini, pada tahun ke-4 badai datang nan pedih. Api cemburu Hasan terhadap Anwar meluap membakar semuanya, hingga pada titik perceraian.
Pergulatan batin dahsyat Hasan dirasakan saat ayahnya sakit keras, ibunya mengirim telegram agar Hasan pulang kampung. Menjelang kematian ayahanda Hasan mendekat, namun ditolak karena sang ayah tidak mau dipengaruhi keatheisan anaknya.
"Jangan lah engkau dekat-dekat kepadaku.... Jangan lah kau ganggu aku dalam imanku, agar mudah kutempuh perjalanankun ke hadirat-Nya..."
Kalimat tersebutlah yang membuat dirinya merasa bersalah seumur hidup, dan kembali lagi pada keyakinan agamanya. Sungguh pergulatan batin yang dahsyat. Tarik ulur cerita yang menyuguhkan konflik batin pada saat masa-masa terakhir Hasan sebelum tertembak mati oleh keibodan.
Novel Atheis ditulis oleh Achdiat Karta Mihardja, seorang sastrawan kelahiran Cibatu, Garut. Karya roman Atheis dinobatakan sebagai karya sastra terpenting Indonésia setelah Perang Dunia II. Roman ini sangat terkenal dan dicetak sampai ke 39 kali, pada saat pemerintahan Soeharto Balai Pustaka mencetak roman tersebut untuk dibagikan ke seluruh sekolah di Indonesia. Saya sendiri membaca roman Atheis saat SMA (2006), dan kini tahun 2025 kembali membaca lagi. Suatu hal yang menarik ingatan saya ketika pertama menemukan sastra Indonesia yang membuat ketagihan.
Zaman Soeharto juga beberapa nukilan novel masuk ke dalam pelajaran Bahasa Indonesia, termasuk roman ini. Seingat saya nukilan Atheis berada di buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk SMP dengan sampul buku berwarna hijau telor asin. Pada buku pelajaran tersebut nukilan Atheis diambil pada adegan Hasan masuk ke gorong-gorong saat ada operasi udara dari tentara pendudukan Jepang. Drama itu teringat sampai sekarang dimana isi cerita menyajikan ibu-ibu yang komat-kamit membaca Falakbinas dan Alfatihah.
Terbitan kali ini sangat menarik terlebih dari sampul, saat zaman Soeharto Balai Pustaka mencetak roman Atheis dalam baluran jilid bergambar seperti cipratan darah yang merah. Jilid tersebut nampak 'memprovokasi' mata yang memandang, namun pada terbitan tahun 2025 cukup mengundang perhatian. Bergambar tangan seperti dukun yang sedang menjampi di atas asap kemenyan. Uniknya di bawah tangan tersebut gambar masjid, nah gambar masjid tersebut sepertinya Masjid Agung Manonjaya.
Kali ini Balai Pustaka juga memberikan pembatas buku yang bergambar sama persis model gambar masjid yang ada di sampul buku roman ini. Saya sendiri mendapatkan buku ini dengan harga khusus, yakni Rp 82.000 samantara harga aslinya Rp 130.000.
Judul: Atheis
Pengarang: Achdiat Karta Mihardja
Penyelaras: Tim Editor Balai Pustaka
Dimensi: xiv + 298 hlm; 14,8 x 21 cm
Cetakan: ke-39, 2025
Penerbit: Balai Pustaka
ISBN: 978-602-260-119-7
Komentar