Kemewahan Panggung Festival |
Hiburan bukanlah semata untuk kalangan atas maupun yang mempunyai uang saja. Semua kalangan, semua umur dan semua manusia berhak mendapatkan sebuah hiburan baik dari seni suara, gambar dan berbagai jenis hiburan lainnya. Indonesia dengan puluhan suku budaya tentunya mempunyai segunung hiburan yang tercipta. Labok salah satunya yang memberikan konstribusi hiburan yang sangat mengesankan bagi semua orang yang menyaksikan.
Akhir bulan Agustus 2018 Lakbok telah menyelenggarakan festival budaya yang tak kalah menarik. Adapun judul pesta ini "Layang Lakbok Art And Culture Festival" judul yang cukup legeng dengan mengusung bahasa campuran Inggris dan Indonesia. Selegeg namanya festival budaya ini juga tak kalah legeg dengan festival budaya lainnya di Indonesia. Festival ini tentunya tercipta bukan begitu saja, melainkan dari berbagai inspirasi kekayaan budaya lokal terutama kehidupan petani di Lakbok. Lakbok sendiri merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Ciamis yang terletak persis wilayah irigasi sungai besar Citanduy. Geografis Lakbok yang pada umumnya tanah datar dan mempunyai lahan pesawahan yang luas, maka tidak salah jika seseorang menyebut Lakbok sebagai lumbung padi Kabupaten Ciamis.
Promosi festival sudah didengungkan ke semua masyarakat sekitar Lakbok dan juga melalui media sosial seperti Facebook dan Instagram sekitar setahun sebelumnya. Berbagai acara penunjang juga diadakan sebagai pembuka dan sebagai pemancing animo masyarakat untuk berkonstribusi maupun turut hadir dalam festival yang akan diadakan.
Deretan Lampu Dan Berjejalnya Pengunjung |
Aku termasuk orang yang beruntung karena menjadi saksi mata untuk festival budaya ini, walaupun hanya menonton satu sesi festival saja. Festival Layangan Lakbok mempunyai dua rangkaian acara yakni hari pertama di-isi dengan pertunjukan kebudayaan-kebudayaan dan hari kedua acara yang lebih menonjolkan seni musik. Acara pada hari kedua berjudulkan Lakbok World Music Festival, judul yang mentereng.
Tendy Nugraha boleh dikata pucuk hijau budayawan untuk Kabupaten Ciamis, dia merupakan seorang yang supel dan tentunya mempunyai kepiwaian yang jempolan untuk hal budaya khsusunya musik Sunda. Saya sendiri mendapatkan undangan khusus untuk melihat festival ini jauh-jauh hari oleh Tendy, hingga akhirnya menghadiri festival meriah ini.
Jumat sore setelah kunjungan ke Baregbeg, Ciamis. Putaran gas sepeda motor mendekati seperempat penuh, laju semakin cepat. Beruntung jalanan cukup sepi hingga laju kendaraan terkontrol dengan baik. Rasa lelah perjalanan satu jam dari Baregbeg tak cukup mematahkan niatku untuk menyaksikan festival yang sudah diwawar-wawarkan ke generasi muda di Instagram. Foto tata panggung dan berbagai hiasan festival tampak menarik kuat untuk dihadiri.
Tendy Sedang Bernyanyi |
Semoga tidak bosan! Seperti biasanya mengajak Rylo dan Imam untuk hadir di acara itu. Saya sendiri berboncengan dengan Rylo, sementara Imam dengan Dimas. Rumah kami dengan lokasi festival memang lumayan jauh 36 Km menurut perhitungan Google Maps, sekitar satu jam perjalanan dengan menggunakan sepeda motor maupun mobil. Malam itu begitu cerah dan dingin khas kemarau yang menusuk tulang, bulan benderang menemani perjalanan kami.
Lokasi yang super jauh membuat kami merasa muak dan jenuh terlebih saat memasuki jalan yang rusak di ruas Jalan Pengairan perbatasan Langensari, Kota Banjar dan Lakbok, Kabupaten Ciamis. Jalan berlubang cukup dalam membuat laju ke posisi 30-40 Km/Jam saja. Penerangan jalan yang minim mempengaruhi otak untuk selalu waspada dalam berkendara.
Sempat kebingunggan juga saat mencari lokasi festival, beberapa kali kirim pesan ke Tendy belum juga terbalas. Rylo yang sebelumnya sudah pernah ke tempat tersebut lupa karena gelapnya malam. Bersyukur alamat ketemu di sebuah keterangan postingan foto di akun Instagram milik Tendy. Google Maps dikerahkan untuk menunjukan jalan yang benar!.
Sorotan senter raksasa terlihat di langit yang cerah saat itu, suara keras beralunkan instrumen terpancar keras ke segala penjuru dari mulut besar toa. Orang hilir mudik ke lokasi festival. Hamburan cahaya menari dan menunjukan terangnya energi listrik malam itu. Di titik itulah cahaya lebih terang daripada sudut-sudut desa yang gelap. Beberapa pemuda bercakap dalam bahasa Jawa yang saya pahami dan sebagian lagi berbahasa Sunda. Suatu harmoni yang indah di sebuah garis pemisah adminstrasi dan budaya.
Karcis Parkir Yang Mahal |
Foto iklan raksasa terpampang sebagai tanda sebuah acara, foto yang apik dan menarik itu diikat di bambu pinggir jalan raya. Lokasi festival tidak terlalu jauh jaraknya hanya sekitar 300-500 meter saja dari jalan raya. Keramaian mulai terasa di bibir jalan kecil hingga ke lokasi festival. Berderet mobil dan sepeda motor terparkir di pekarangan rumah warga setempat. Kertas kecil putih bertuliskan harga dan kelegalan pemungutan uang untuk parkir Rp 5000 untuk sepeda motor dan Rp 10.000 untuk tanggal 24 - 26 Agustus 2018. Harga yang cukup mahal untuk sebuah parkir yang tidak sampai 24 jam, terlebih lokasi di pelosok kampung. Tapi apa daya sudah dilegalkan dengan kesepakatan dari panitia dan pemerintahan.
Jujur saja agak heran dengan tarif tinggi parkir di pelosok kampung terlebih lagi festival hanya bersifat lokal padahal pesta rakyat yang seharusnya murah. Bersyukur sekali festival ini tidak memungut biaya masuk untuk pengunjung. Aku jadi berpikir apakah tarif parkir sebesar itu termasuk karcis masuk festival. Entahlah. Kadang saya khawatir animo masyarakat turun karena karcis parkir yang terlalu tinggi, terlebih lokasi di pelosok kampung yang belum tentu masyarakat mempunyai kemampuan untuk membayar parkir sebesar itu. Saya yakin masyarakat mempunyai uang sebesar itu dan mampu membayar parkir mahal hanya mungkin mereka akan berpikir dua kali atau tiga kali.
Awal masuk terdapat dekorasi menarik dari rangkaian jerami bertuliskan kalimat gombal khas anak muda. Beberapa deretan lampu yang mengantung di kiri kanan jalan sebagai tanda sambutan istimewa untuk para pengunjung. Lokasi festival sendiri berada di tengah sawah, bongol-bongol padi dibabat rata untuk kenyamanan pengunjung. Di ujung terdapat deretan gubug dari jerami yang diperuntukan para pedagang makanan, koleksi benda budaya dan souvenir. Ujung sisi lain terdapat gubug yang terbuat dari kayu jati membentuk gubug untuk rumah lesung padi dan lumbung padi. Panggung festival berada cukup jauh dari kedua lokasi tersebut.
Gubug Makanan Dan Souvenir |
Tata panggung luar biasa apik. Konsep natural muncul tanpa atap dan berhiaskan lajur-lajur batang bambu. Hiasan lampu sorot warna-warni menambah kemewahan acara. Sorot laser besar tembus ke awan bergerak kiri ke kanan, utara selatan dan barat ke timur. Lampu itu seakan melambaikan jemarinya untuk memikat para tamu.
Musik janeng merayu telingaku untuk segera mendekat dan meresapi nilai-nilai luhur dalam setiap baitnya. Irama klasik yang harmoni dengan semesta, sungguh indah dan menyentuh hati. Hitungan menit bait-bait mulai berhenti bersamaan dengan menjauhnya jemari seniman dari alat musiknya. Usai.
Urutan acara beranjak sesuai dengan kesepakatan yang telah di susun di atas kertas. Peresmian Festival Layangan Lakbok dibuka dengan menerbangkan layangan berhiaskan lampu-lampu ke udara malam. Indah bak bintang berkedip. Sesungguhnya saya cukup bingung karena judul festival "Layang" yang berarti layang-layang, tidak muncul menjadi "topik utama" atau persembahan utama sebuah acara. Malah yang lebih menonjol acara kesenian seperti Janeng, Kuda Lumping dan yang lainnya yang lebih terlihat. Sementara layang-layang tidak terlalu nampak. Mungkin karena lokasi yang agak jauh dari panggung utama atau kurang kordinasi. Entahlah yang saya lihat acara panggung lebih menjadi hidangan utama daripada layang-layangnya. Mungkin juga mata saya yang salah melihat.
Peserta Festival Akan Menerbangkan Layangan |
Obrolan kecil tercipta saat saya bertemu dengan Tendy dan sejumlah kawan seniman yang lainnya. Kekaguman ku dilontarkan sebagi pujian terhadap suksesnya acara yang sangat berkelas. Ya bagiku panggung festival ini sangat berkelas sekali terlebih tata lampu dan tata lokasi yang sangat keren.
Bulan bergerak seakan cepat hingga berpindah tempat agak jauh dari semula saya lihat selepas sembahyang isya. Seruputan susu hangat terasa nikmat saat tetes terakhir mengalir di tenggorokan yang mulai kedinginan. Hentakan pecut dan caplok-caplok atraksi kuda lumping semakin keras dan semakin menggila sebagai pertanda klimaksnya persembahan. Berkali-kali angin meniup pipi hingga terasa beku dan kering. Malam mulai mengganti angka baru dalam sistem kalender dan kami pulang kandang.
Komentar