Langsung ke konten utama

Corat Coret Di Toilet - Eka Kurniawan

Berkunjung Ke Makam Pahlawan Soediro Wirjo Soehardjo - Sang Pahlawan Pamarican Banjar

Komplek Pemakaman Keluarga Besar Herman Sarens

Jumat siang selepas sembahyang jumat. Hari terasa suntuk dengan mendungnya langit di semua belahan arah. Waktu ku tak ingin sia-sia dengan segala penghamburan. Hobi dengan tujuan sehat berupa main sepeda jarak jauh dengan pengumpulan foto untuk Google Maps dan mencari jejak sejarah kota. Aku terbiasa sendiri, mungkin dengan "sendiri" merasa lebih bebas dengan apa yang akan diperbuat.

Siang itu sepeda tersedia dan semua persiapan semua persiapan sudah matang. Berawal dari rasa penasaran akan makam Raja Banjar dan makam keluarga Kartasasmita. Makam yang berada di jalan lintas Banjar - Manonjaya begitu mengusik otak-ku untuk lebih mengetahui siapa yang dikuburkan dengan plang besar yang cukup mewah. 

Rupanya pencarian jejak sejarah tak direstui oleh Sang Tunggal, hanya foto-foto saja yang didapat. Semoga lain waktu bisa mendapatkan sumber terpercaya untuk jejak sejarah ini. Begitu mesaranya saya dengan Sang Tunggal jejak-jejak sejarah yang dulu dicari kini dijawabnya, terutama jejak makam sang pahlawan yang gugur di Pamarican. 

Plang Pinggir Jalan 

Sebenarnya saya sudah curiga dengan plang besar yang bertuliskan "Makam Keluarga Besar Herman Sarens" di sekitaran PT Albasia Parahyangan, kecurigaan itu bukan lain tentang hubungan kuat dengan sang pahlawan yang gugur di Pamarican. Saya ceritakan sedikit tentang pahlawan yang dimakamkan di komplek pekuburan keluarga agar Anda sekalian lebih paham tentang beliau. 

Pahlawan yang gugur di Pamarican itu bernama Raden Soediro Wirjo Soehardjo, seorang pempinan logistik militer yang gugur ditembak dan dibacok oleh tentara Belanda dalam agresi militer. Cerita kepahlawanan beliau bisa dibaca kembali di link-link yang sudah saya sematkan di atas. Di sini saya tentunya tidak akan menceritakan bagaimana heroiknya beliau dalam melawan penjajah, melainkan akan menceritakan pengalaman saya dalam berkunjung ke kawasan pemakaman-nya. Artikel ini juga sebagai revisi dari artikel sebelumnya yang menduga bahwa beliau dimakamkan di komplek makam pahlawan depan Kantor Kecamatan Pamarican. Mari Simak cerita dariku.

Sekambalinya dari keliling kota, saya putuskan untuk mengambil jalan yang berbeda dari jalan saat berangkat. Jalur Banjar-Pangandaran saya pilih. Roda sepeda bergulir dengan kecepatan rendah seiring berkurangnya energi dalam tubuh. Rasa capek terasa sekali saat jalan naik ataupun tertimpa hembusan angin besar di sore itu. Roda berputar terus hingga ada sebuah plang besar yang bertuliskan Makam Keluarga Besar Herman Sarens di sebelah kiri jalan. Plang berwarna hijau itu cukup mudah dilihat orang-orang ataupun pengendara yang lewat. Plang itu berisikan informasi singkat tentang makam keluarga dengan jarak sekitar 500 meter dari jalan raya.

Pintu Gerbang Pemakaman

Ketertarikanku muncul dan terasa seperti menemukan sebuah ide untuk menyelesaikan jejak sejarah makam pahlawan yang gugur di Pamarican itu. Lokasi pemakaman cukup jauh dari jalan raya, seperti yang ditulis di plang sekitar 500 meteran. Dalam hitungan Google Maps 522 Meter dari jalan raya, cukup jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki. Tentunya dengan ukuran orang Indonesia yang sedikit malas untuk berjalan kaki.

Sebelum memasuki kawasan pemakaman keluarga, ada satu pemakaman umum untuk umat Islam di situ. Nama pemakaman-nya TPU Kebon Jati. Jangan keliru antara pemakaman umum dan pemakaman keluarga Herman Sarens. Pemakaman keluarga Herman Sarens masih sekitar 200 meteran dari TPU Kebon Jati itu. Di awal masuk kawasan pemakaman keluarga ada sebuah gerbang dengan lukisan heroik pahlawan dengan bambu runcing dan bendera merah putih yang berkibar. Awal pertama di gerbang saya membaca   Makam Keluarga Besar Hargayasa di pintu gerbang. Sedikit membingungkan sebenarnya, soalnya di plang dekat jalan raya bertuliskan Makam Keluarga Besar Herman Sarens namun di pintu gerbangnya Hargayasa. Beruntung ada dua pemuda yang sedang memperbaiki sepeda motornya, sehingga bisa menyempatkan untuk bertegur sapa dan mengali beberapa informasi dari mereka. 

Bapak Aan Menunjukan Bangunan Pemakaman

Hari masih disinari cahaya matahari yang begitu terang. Nyaliku masih menyala untuk berkunjung ke makam yang menurut kedua pemuda itu dalam katagori keramat dan angker. Sejujurnya saya  jarang terpengaruh apapun soal mistik dan lainnya, tapi setelah seseorang berkata demikian imajinasi ku melayang hingga keberanian mengkristal bagai buliran padi. Mumpung masih terang saya memberanikan diri.

Menurut kedua pemuda itu dalam komplek pemakaman terdapat tiga buah bagunan yang berisi makam. Dan benar saja saat memasuki kawasan pemakaman tampak bangunan cukup besar dengan cat warna putih. Kaki melangkah dengan kepercayaan, keimanan dan niat bersih. Dari arah pemakaman datang seorang tua menyapaku dengan arahan-arahan yang dipikirnya dalam bahasa Sunda"Jang, teu aya japati nu kadiue" yang berarti "Nak, tidak ada burung dara ke sini". Ya, saya dikira sedang mencari burung dara yang hilang.

Bangunan Pemakaman

Tangan kanan ku persembahan untuk berkenalan dengan dirinya. Orang tua itu menyambutnya dan berkata "Abi Aan". Pak Aan bercerita banyak mengenai sosok Herman Sarens dan juga Soediro Wirjo. Namun tampaknya Pak Aan lebih paham kepada Pak Herman Sarens (anak Soediro), dari penuturannya dia merupakan seorang assisten rumah tangganya ataupun orang yang dipercaya oleh keluarga Herman Sarens. 

Pak Aan memepersilahkan saya untuk melihat ketiga pemakaman tersebut. Langkah kaki kembali bergerak mendekati tujuan. Wewangian khas 'spiritual' masuk dalam sensor hidung dan diproses oleh otak dan keluar dengan segala sudut pandang. Saya berupaya tenang untuk menghadapi pengalaman ini. Bangunan putih itu berbentuk rumah tradisional jawa dengan gambar hewan mitologi khas jawa di sekitar atap, sungguh artistik. 

Makam Herman Sarens

Bangunan pemakaman pertama ini berisikan beberapa kuburan saja. Yang menarik dari makam ini adalah kipas angin yang selalu menyala, hiasan bali, foto-foto sang mayit, bendera Indonesia dan beberapa patah kalimat dalam bahasa Belanda. Untuk komplek pemakaman pertama tidak mengetahui secara jelas tokoh siapa yang dimakamkan. Kamera ku merekam salah satu identitas sang mayit dari batu nisan diantaranya nisan atas nama Shopian Abdul Sjahrir lahir tahun 1974 dan meninggal pada tahun 2012. 

Tidak lama saya di bangunan pemakaman ini, maklumlah yang saya cari adalah makam Soediro Wirjo. Kaki melangkah kembali dengan kekuatan yang cukup kuat untuk menanjak puncak bukit. Di atas bukit terdapat dua buah bangunan pemakaman dengan arsitektur yang sama seperti bagunan pertama yang saya kunjungi. Bagunan itu hampir berhimpitan hanya berjarak satu meter saja dengan bagunan sebelahnya.

Dari dua bangunan pemakaman itu saya pilih yang paling timur. Tepat sekali dengan tujuan saya! Bagunan sebelah barat adalah tempat di mana Soediro Wirjo dimakamkan. Harum dan suasana mistik muncul entah karena sejatinya begitu atau hanya daya khayal yang berlebihan. Wewangian khas tetap bergolak memasuki saraf-saraf kecil di hidung. Imanku menipis begitu saja, degup jantung berirama tak beraturan seperti bedug pada hari raya. Sesekali menghirup udara segar untuk menenangkan diri.

Makam Soediro Wirjo

Kekaguman muncul dan degup jantung pun kembali bergemuruh seperti ombak samudra selatan. Inilah saya datang dengan kekagumanku kepada mu pahlawan Pamarican, Soediro Wirjo. Beberapa ucapan dalam katagori suci terlepas dari mulut untuk dirinya dan semua keluarga yang dimakamkan. 

Bangunan sebelah barat berisikan makam Herman Sarens dengan tatanan megah dengan AC yang selalu menyala dan obat nyamuk yang berasap. Berbagai kalimat dalam bahasa Belanda tertulis di dinding dan juga di batu nisan. Ada satu makam yang juga menarik yakni makam seorang belanda. Makam itu bertuliskan Joseph Keuwinkel yang lahir di Dusseldorf dan meninggal di Bandung. Menarik sekali makam belanda yang berjajar dengan salah satu pahlawan nasional. 

Dan aku tertantang kembali untuk meneroka siapa Joseph Keuwinkel itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nama-nama Tai

Sega, beras yang ditanak Apa benar bahasa Jawa itu terlalu 'manut' ke bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris? Tampaknya ada benarnya juga, bahasa Jawa terpengaruh/meminjam banyak kosa kata dari bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Kekurangan kosakata dalam bahasa Jawa memang kebanyakan untuk hal-hal seperti teknologi ataupun hal lainnya. Jangan berkecil hati untuk penutur bahasa Jawa di seluruh dunia! Perlu diingatkan bahasa Jawa mempunyai keunikan tersendiri, misalnya saja untuk belajar bahasa Jawa 'satu paket' atau juga keseluruhan dari bahasa kasar/ngoko, bahasa sedang/madya hingga bahasa halus/kromo, sama saja belajar tiga bahasa!! Bayangkan belajar tiga bahasa, apa gak repot ya?! Itulah keistimewaan bahasa Jawa. Bersyukur! Berbagai keistimewaan bahasa Jawa juga terdapat di istilah-istilah yang sangat detail/spesifik pada suatu beda yang mengalami sebuah perubahan sedikit maupun perubahan besar. Misalnya saja untuk rangkaian nama dari sebuah padi/po...

Mengenal Tanaman Kangkung Bandung (Kangkung Pagar)

Kangkung Bandung, sudah tahu tanaman ini? Menurut buku  biologi tanaman ini berasal dari Amerika Latin (Colombia, Costa Rica). Ciri tanaaman ini tumbuh tidak terlalu tinggi cuma sekitar satu meter sampai dua meter maksimal tumbuhnya. Kangkung Bandung tidak bisa dimakan layaknya kangkung rabut atau kangkung yang ditanam di atas air. Bentuk daun menyerupai kangkung yang bisa dimasak (bentuk hati) begitu juga dengan bentuk bunganya. Bunganya berbentuk terompet berwarna ungu muda terkadang juga ada yang berwarna putih. Batang Kangkung Bandung cukup kuat sehingga memerlukan tenaga cukup untuk memotongnya (tanpa alat).  Tanaman Kangkung Bandung Sebagai Patok Alami Pematang Sawah Fungsi dan manfaat Kangkung Bandung sendiri belum diketahui banyak, beberapa sumber mengatakan tanaman ini bisa dijadikan obat dan dijadikan kertas. Pada umumnya masyarakat desa menjadikan Kangkung Bandung sebagai tanaman untuk ciri (patok) batas antar pemantang sawah. Daya tumbuh tanaman ini cuk...

Menegang dan Mengeras Oleh Nyai Gowok

Ah...sialan! Padahal aku sudah kenal buku ini sejak Jakarta Islamic Book Fair tahun 2014 lalu! Menyesal-menyesal gak beli saat itu, kupikir buku itu akan sehambar novel-novel dijual murah. Ternyata aku salah, kenapa mesti sekarang untuk meneggang dan mengeras bersama Nyai Gowok. Dari cover buku saya sedikit kenal dengan buku tersebut, bang terpampang di Gramedia, Gunung Agung, lapak buku di Blok M dan masih banyak tempat lainnya termasuk di Jakarta Islamic Book Fair. Kala itu aku lebih memilih Juragan Teh milik Hella S Hasse dan beberapa buku agama, yah begitulah segala sesuatu memerlukan waktu yang tepat agar maknyus dengan enak. Judul Nyai Gowok dan segala isinya saya peroleh dari podcast favorit (Kepo Buku) dengan pembawa acara Bang Rame, Steven dan Mas Toto. Dari podcast mereka saya menjadi tahu Nyai Gowok dan isi alur cerita yang membuat beberapa organ aktif menjadi keras dan tegang, ah begitulah Nyi Gowok. Jujur saja ini novel kamasutra pertama yang saya baca, sebelumnya tidak pe...