Langsung ke konten utama

Corat Coret Di Toilet - Eka Kurniawan

Jenang dan Filosofinya

Artikel ini pernah disiarkan oleh Radio Taiwan Internasional seksi Bahasa Indonesia pada tanggal 12 & 19 September 2022. 

Manusia selalu berdampingan dengan makanan, entah itu dalam keadaan suka maupun duka. Dan bahkan sampai pada sebuah kematian makanan selalu disajikan. Beberapa filsuf sering menyebut kaliamat hidup untuk makan, melainkan makan untuk hidup. Berbagai simbol disematkan pada sebuah hidangan makanan, baik pada simbol nasionalisme, keagamaan, dan tentu saja simbol budaya. Hingga pada suatu kesimpulan manusia takkan lepas dari makanan.


Berangkat dari cerita Jurnal Maria tentang makanan tradisional pengingat masa kecil, saya sebagai pendengar tertarik untuk mengangkat makanan tradisional dari budayaku sendiri. Makanan ini membuat banyak orang minder untuk membuatnya, sebab apa? Ya makanan ini dibuat dengan penuh ketelitian dan kesabaran. Layaknya seorang Jawa yang katanya penuh kesabaran, ketelatenan dan ketelitian. Begitulah makanan ini dibuat sebagai hadiah bangsa Jawa untuk dunia dan anak cucunya. Makanan tersebut bernama jenang, makanan yang masuk dalam katagori kudapan manis. Makanan manis ini biasanya tersaji pada acara-acara besar seperti pesta khitanan (sunatan) dan acara perkawinan. Bahkan bukan acara besar juga, kadang-kadang ada yang membuatnya sebagai oleh-oleh untuk sanak keluarga tercinta baik di kota maupun di luar pulau.


Sebelum berbicara soal resep, izinkan saya untuk mengungkap beberapa tradisi dan filosofi dari pembuatan mahakarya kuliner Jawa ini. Semoga teman-teman pendengar lainnya sudi untuk belajar budaya, kepercayaan dan kuliner Jawa di acara ini. Dengan saling kenal diharapkan persatuan Indonesia semakin kuat, kualitas toleransi antar suku-suku semakin bagus. 


Jenang berasal dari budaya kuliner suku Jawa, beberapa orang percaya bahwa jenang tercipta pada zaman kerajaan dahulu termasuk zaman Walisongo. Banyak sekali kemiripan dari bentuk, rasa dan pembuatan dari jenang dengan dodol dari Jawa Barat, galamai dari Sumatera Barat dan dodol bulan dari kebudayaan Tionghoa. Dari kemiripan inilah saya pikir ada keterikatan antar budaya yang sudah terjalin begitu lama. Terlebih posisi Indonesia sendiri berada pada jalur rempah-rempah, hilir mudik saudagar baik dari India, Tiongkok, Eropa, Arab Persia berinteraksi langsung dengan penduduk lokal sehingga membentuk keharmonisan dalam sebuah kuliner.


Jenang hadir untuk segala yang istimewa, seperti rasanya yang manis sehingga menghadirkan suasana gembira bagi para penikmatnya. Umumnya jenang dibuat oleh orang Jawa pada suatu acara yang istimewa seperti hajatan, baik hajatan pernikahan ataupun sunatan. Ada juga yang membuat bukan untuk hal seremonial, melainkan untuk oleh-oleh istimewa kerabat yang berada di luar kota ataupun luar pulau Jawa. Baik untuk seremonial atau oleh-oleh istimewa jenang dibungkus dan iris kecil-kecil dibungkus dengan kelopak jagung kering, daun pisang ataupun plastik. Untuk oleh-oleh satu keluarga biasanya bungkusnya dibuat besar, kira-kira seukuran lengan berbentuk gelondongan dibungkus dengan daun pisang.


Jenang adalah jenang dengan jati dirinya yang manis. Oleh kemajuan zaman inovasi pada kuliner pun ikut berkembang dengan jalannya yang harmonis. Begitupun dengan jenang, sajian jenang dikreasikan dengan berbagai rasa tambahan seperti rasa susu, jenang dengan taburan wijen, jenang rasa cokelat, jenang rasa durian dan yang lainnya. Dan semua itu tidak merubah jati diri jenang sebagai penganan manis. Saat jenang sudah menjamur orang-orang pun tak habis kreasinya, jenang bisa disajikan dalam bentuk lain. Jadi tidak dibuang begitu saja, melainkan diolah menjadi jenang goreng yang dibalut tepung. Jenang goreng cocok dimakan dengan teh ataupun kopi di pagi atau sore hari. 


Dalam setiap karya orang Jawa menitipkan berbagai filosofi mendalam sebagai bahan ajar untuk anak cucunya kelak di waktu mendatang. Begitu pula dengan pembuatan jenang yang penuh oleh filosofi berarti. Antropolog orientalis yang meneliti bangsa Jawa mengatakan bahwa masyarakat Jawa senang menggunakan perlambang (semiotics) sebagai filosofis hidupnya. Berikut beberapa semiotik yang terdapat dalam rangkaian pembuatan jenang:


  1. Kebersamaan dan kekeluargaan 

membuat jenang tidak bisa hanya satu orang saja, melainkan melibatkan belasan atau puluhan orang. Dari porses pertama yakni menyiapkan memecah kelapa dan memarut kelapa butuh banyak tangan untuk mengolahnya. Begitu juga dalam membuat adoanan dan mengaduk adonan saat dimasak, semua butuh tangan banyak. Tangan yang banyak inilah menciptakan kerumunan orang yang rukun, bersama dalam kebahagiaan, kehormatan manusia yang dijunjung dalam acara istimewa, juga mempererat kebersamaan dan kekeluargaan yang sebelumnya terpisah atau renggang. Sebagai manusia tidak mungkin akan diam saja saat bertemu dengan manusia lainnya yang jumlahnya lebih dari satu, pastinya ada interaksi yang berarti.

  1. Kesabaran, keuletan dan ketelitian

Diperkirakan proses pembuatan jenang memakan waktu 10 jam atau lebih, dimulai dari pemecahan kelapa untuk bahan santan hingga pengadukan di kuali khusus dan terakhir pada pembungkusan. Perhitungan 10 jam ini diacu pada pembuatan jenang saat hajatan, umumnya membuat tiga sampai empat kuali besar. Dari proses 10 jam tersebut tentunya akan melatih kesabaran bagi manusia yang mengerjakannya. Selain kesana, jenang membuat manusia menjadi ulet dan teliti. Dalam pembuatannya tidak boleh lengah, lengah sedikit bisa-bisa jenang akan mengerak dan gosong dibagian bawah. Tiap detik harus diaduk berlawanan atau searah jarum jam, di situ terdapat dua orang yang mengaduk dan satu orang yang merapihkan adonan untuk masuk kembali ke tengah-tengah kuali. Ketelitian selanjutnya pada suhu panas yang keluar dari pembakaran arang, panas yang baik adalah panas yang stabil dari bara arang. Bukan dengan nyala api baik nyala besar maupun kecil, tetap diusahakan arang terbakar dengan bara.

  1. Rasa syukur 

Dengan kebersamaan inilah rasa syukur muncul dengan tulus ikhlas dari lubuk hati terdalam manusia, mereka mensyukuri apa yang sedang dikerjakan bersama-sama dengan tetangga, keluarga dan handai taulan. Setelah bersusah payah membuat jenang biasanya dihidangkan makanan sebagai tambah tenaga naik di awal pembuatan hingga akhir pembuatan, semua rasa syukur termaktub dalam waktu. 


Ada simbolik yang menarik dari pembuatan jenang, simbolik ini berupa telor ayam kampung yang dibungkus dengan daun pisang dan diletakkan dekan bara arang, juga ada bawang merah dan cabe merah besar ditusuk dan diletakkan di dekat kuali. Perlambang ini bagiku sebagai standar persamaan kematangan jenang, seiiring telor ayam kampung matang, maka jenang pun akan matang. Juga sebagai jamu bagi laki-laki yang loyo, dengan adanya telur ayam dekat kuali biasa dijadikan jamu khusus bagi yang loyo. Selanjutnya pada lambang bawang merah dan cabe besar merah ditusuk dekat kuali, itu sebagai perlambang api yang harus hangat. Mirip seperti sifat cabe merah dan bawang yang panas (hangat). Mungkin saja ada semiotik atau perlambang filosofis lainnya, namun cukup tiga saja yang saya sajikan. 


Setelah puas dengan kajian antropologi kuliner, kali ini saya akan mengantarkan anda sekalian pada cara pembuatan jenang. Mohon disimak dengan seksama untuk mendapatkan jenang terbaik. Penulisan resep seperti pada umumnya agar informasi lebih masuk dan dipahami dengan mudah, berbanding terbalik dengan ceramah tiga jam yang hasilnya nol dan kebingungan pada sel-sel otak. Yuk kita siapkan bahan-bahannya. Semua alat dan bahan secara tradisional, bagi yang tidak mempunyai alat dan bahan tradisional bisa disesuaikan dengan bahan dan bahan modern. 


Persiapan

Siapkan empat bonggol pisang dengan ukuran yang sama sebagai tumpuan kuali besar. Kuali besar terbuat dari kuningan, arang untuk pembakaran, pecahkan kelapa tua sedang untuk mendapatkan hasil santan yang segar dan banyak. Kelapa diparut dan dijadikan santan. Sediakan air matang satu ember, garam, tepung ketan, gula kelapa atau aren, tepung beras. Jangan lupa sediakan pengaduk besar dari pelepah pohon kelapa ataupun kayu dibentuk seperti dayung sampan.


Proses

Pembuatan adonan dibuat dari percampuran bahan dari tepung beras, tepung beras ketan, santan dan air. Setelah disatukan diaduk hingga menyatu. Diwajibkan panas dalam suhu yang tetap dari bara arang, bukan nyala api. Aduk adonan yang sedang dimasak searah putaran jarum jam atau sebaliknya, usahakan adonan diaduk sempurna sehingga tidak ada kerak ataupun kegosongan. Jika adonan sudah mulai menguning, maka taburkan gula merah dan bahan tambahan jika ingin menambahkan rasa lainnya seperti durian, susu dan lain-lain. Aduk terus sampai coklat kehitaman sebagai tanda kematangan. 


Akhir

Setelah matang, diamkan dahulu agar jenang dalam kondis bagus. Kondisi bara harus dimatikan, tapi tidak dimatikan total. Biasanya ditutup dengan gedebok pisang, tujuannya untuk mempertahankan panas dengan kualitas rendah (hangat kuku). Setelah dinilai pas untuk dicetak atau dibungkus, maka jenang diambil dan dibentuk dengan bungkus dari daun pisang, plastik atau kelopak jagung. Jika ada bahan tambahan lainnya bisa dimasukkan seperti taburan wijen. 


Resep di atas bagiku mempunyai kekurangan besar terlebih soal gramasi dari bahan-bahan, resep ini hanya sebagai perkenalan saja. Jujurly agak susah menghitung gramasi untuk satu kuali besar ataupun kecil. Keterbatasan ini memang menjadi tantangan besar saya sebagai anak cucu Adam Hawa lajur bagian Jawa, semoga nantinya saya mendapat resep sempurna dari warisan leluhurku. Terima kasih banyak untuk kesempatan yang diberikan kak Maria, sampai jumpa lagi di rasa-rasa menyegarkan lainnya di Jelajah Kuliner. 



Pamarican Mendung Tak berarti Hujan, 09:25 WIB

24 Juli 2022

Waluyo Ibn Dischman 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nama-nama Tai

Sega, beras yang ditanak Apa benar bahasa Jawa itu terlalu 'manut' ke bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris? Tampaknya ada benarnya juga, bahasa Jawa terpengaruh/meminjam banyak kosa kata dari bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Kekurangan kosakata dalam bahasa Jawa memang kebanyakan untuk hal-hal seperti teknologi ataupun hal lainnya. Jangan berkecil hati untuk penutur bahasa Jawa di seluruh dunia! Perlu diingatkan bahasa Jawa mempunyai keunikan tersendiri, misalnya saja untuk belajar bahasa Jawa 'satu paket' atau juga keseluruhan dari bahasa kasar/ngoko, bahasa sedang/madya hingga bahasa halus/kromo, sama saja belajar tiga bahasa!! Bayangkan belajar tiga bahasa, apa gak repot ya?! Itulah keistimewaan bahasa Jawa. Bersyukur! Berbagai keistimewaan bahasa Jawa juga terdapat di istilah-istilah yang sangat detail/spesifik pada suatu beda yang mengalami sebuah perubahan sedikit maupun perubahan besar. Misalnya saja untuk rangkaian nama dari sebuah padi/po...

Mengenal Tanaman Kangkung Bandung (Kangkung Pagar)

Kangkung Bandung, sudah tahu tanaman ini? Menurut buku  biologi tanaman ini berasal dari Amerika Latin (Colombia, Costa Rica). Ciri tanaaman ini tumbuh tidak terlalu tinggi cuma sekitar satu meter sampai dua meter maksimal tumbuhnya. Kangkung Bandung tidak bisa dimakan layaknya kangkung rabut atau kangkung yang ditanam di atas air. Bentuk daun menyerupai kangkung yang bisa dimasak (bentuk hati) begitu juga dengan bentuk bunganya. Bunganya berbentuk terompet berwarna ungu muda terkadang juga ada yang berwarna putih. Batang Kangkung Bandung cukup kuat sehingga memerlukan tenaga cukup untuk memotongnya (tanpa alat).  Tanaman Kangkung Bandung Sebagai Patok Alami Pematang Sawah Fungsi dan manfaat Kangkung Bandung sendiri belum diketahui banyak, beberapa sumber mengatakan tanaman ini bisa dijadikan obat dan dijadikan kertas. Pada umumnya masyarakat desa menjadikan Kangkung Bandung sebagai tanaman untuk ciri (patok) batas antar pemantang sawah. Daya tumbuh tanaman ini cuk...

Menegang dan Mengeras Oleh Nyai Gowok

Ah...sialan! Padahal aku sudah kenal buku ini sejak Jakarta Islamic Book Fair tahun 2014 lalu! Menyesal-menyesal gak beli saat itu, kupikir buku itu akan sehambar novel-novel dijual murah. Ternyata aku salah, kenapa mesti sekarang untuk meneggang dan mengeras bersama Nyai Gowok. Dari cover buku saya sedikit kenal dengan buku tersebut, bang terpampang di Gramedia, Gunung Agung, lapak buku di Blok M dan masih banyak tempat lainnya termasuk di Jakarta Islamic Book Fair. Kala itu aku lebih memilih Juragan Teh milik Hella S Hasse dan beberapa buku agama, yah begitulah segala sesuatu memerlukan waktu yang tepat agar maknyus dengan enak. Judul Nyai Gowok dan segala isinya saya peroleh dari podcast favorit (Kepo Buku) dengan pembawa acara Bang Rame, Steven dan Mas Toto. Dari podcast mereka saya menjadi tahu Nyai Gowok dan isi alur cerita yang membuat beberapa organ aktif menjadi keras dan tegang, ah begitulah Nyi Gowok. Jujur saja ini novel kamasutra pertama yang saya baca, sebelumnya tidak pe...