Bagiku Indonesia adalah hasil perkawinan budaya, semua peradaban besar bercampur menjadi satu. Entah mana dari sel sperma dan mana dari sel ovarium, semuanya menjadi satu membentuk Indonesia. Secara sederhana tanpa banyak analisis, Indonesia merupakan campur aduk budaya terutama dari pusat kebudayaan besar. Austronesia sebagai base culture, kemudian datanglah kebudayaan India dan Tiongkok dalam bentuk agama dan kebudayaan. Selanjutnya menyusul Persia dan Arab yang membawa aroma keislaman dan terakhir datang dari bangsa barat baik dari Belanda, Inggris, Spanyol dan Portugis.
Hasil perkawinan ini cukup mudah ditemukan pada kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia, baik yang hidup di ujung barat sampai ke timur. Hasil kawin ini bisa dilihat dari agama, budaya, bahasa dan lain sebagainya. Nah sekarang saya ingin memaparkan pengaruh budaya Tionghoa ke dalam budaya Indonesia. Ini bukan sembarang analisa, melainkan diambil dari buku yang baru saja saya baca. Buku ini berjudul Wayang Cina Jawa - Sei Djin Koei Tjeng Tang yang ditulis oleh Fela Ferdiani. Sebelum beranjak ke inti buku ini mari kita lihat lingkungan sekitar kita, apa sih pengaruh budaya Tionghoa yang masih lekat di kebudayaan Indonésia.
Bangsa Tionghoa salah satu pembangun peradaban besar di sisi timur dunia, karena saking besarnya jelas kita sebagai tetangga "kecipratan" budayanya. Sedikit banyak semua kecipratan, berkah bagi kehidupan manusia yang saling berinteraksi. Ditelisik banyak sekali pengaruh kebudayaan Tionghoa dalam ragam bahasa dan kuliner, entah kenapa urusan kuliner menjadi penyumbang terbesar. Jangan dipikir banyak kenapa urusan perut menjadi hal utama. Diplomasi paling enak di dunia ini jelas dengan jalur perut, kalau belum kenyang pasti marah-marah. Bangsa Tionghoa datang bukan tanpa 'oleh-oleh' mereka membawa sejumlah warisan berupa makanan. Mereka juga pintar bagaimana meramu makanan asal menjadi nikmat dengan bumbu yang tersedia di negeri ini. Setelah makanan, istilah-istilah kehidupan dapur pun turut disumbangkan.
Setelah urusan perut dan mulut, kini kita berjalan kembali melihat hasil perkawinan campur ini. Untuk urusan ini memang sedikit sekali yang menonjol, mungkin saat itu penduduk lokal lebih cocok ke urusan bibir dan perutnya. Sementara urusan pagelaran dan yang lainnya kurang diminati, walaupun kurang diminati ada beberapa budaya masuk dan berkawin dengan sempurna seperti wayang potèhi, baju koko, dan pertunjukan barong sai. Nah udah mlipir ke urusan budaya dan disebut juga wayang potèhi, maka sekarang bukan lagi bas-basi dengan pendahuluan yang ngalor-ngidul lagi. Tancap aja dan gas tepat pada sasaran yakni Wayang Cina Jawa - Seu Djin Koei Tjeng Tang.
Gan Thwan Sing merupakan tokoh kunci dari terciptanya wayang cina jawa, wayang jenis ini diciptakan pada tahun 1925 pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono I. Bentukan wayang cina jawa bukan dari kayu seperti wayang golek atau potèhi, melainkan dari bahan kulit seperti layaknya wayang kulit jawa. Jalan cerita dari jenis wayang ini mengisahkan legenda dari tanah leluhur mereka, Tiongkok. Legenda Tiongkok klasik tersebut adalah Sie Jin Kwi Ceng Tang dan Sie Jin Kwi Ceng See. Pertunjukan wayang ini bukan menggunakan bahasa Tionghoa, melainkan menggunakan bahasa Jawa dan berkonsep pagelaran wayang kulit purwa. Wayang cina jawa juga disebut sebagai wayang thithi.
Usut punya usut ternyata pencipta wayang jawa cina ini mempunyai ketertarikan pada dunia pewayangan sejak kecil, sehingga pada tahun 1925 terciptalah 'hasil kawin budaya', namun sayang wayang cina jawa tidak berkembang dengan baik setelah kematiannya pada tahun 1966. Surutnya perkembangan wayang cina jawa bukan saja karena minat yang kurang, melainkan tidak ada regenerasi.
Wayang cina jawa ternyata mempunyai banyak karakter, setiap jalan cerita mempunyai sejumlah karakternya sendiri. Untuk cerita legenda Sie Djien Koei Tjeng Tang terdiri dari 283 karakter, sementara untuk legenda Sei Djien Koei Tjeng See terdiri dari 345 karakter. Jadi termasuk banyak sekali ya, kalau dimasukkan peti wayang kira-kira berapa peti ya?!.
Menelisik lebih dalam lagi dalam ikonografi wayang cina jawa. Pada awalnya diduga ikonogrfi wayang cina jawa dipengaruhi oleh wayang potèhi, namun dugaan itu salah karena wayang tersebut mempunyai ciri campuran dari wayang cina dan jawa. Di sini tampak ada pengaruh wayang Piyinxi dan wayang Purwa. Ikonografi wayang cina jawa dapat dibedakan dalam beberapa hal seperti kepala, baju, aksesoris pakaian seperti pembawa bendera atau alat perang.
Keseluruhan buku ini mempunyai 94 halaman berwarna, selaian warna dan gambar yang menarik. Buku ini juga menggunakan bahasa yang mudah dipahami, juga tidak banyak paragraf. Bisa jadi dalam 30 menit saja anda sudah menguasai materi dari buku ini. Walaupun berjumlah tidak lebih dari 100 halaman, buku ini membuat intisari yang pas sehingga memuat segalanya. Buku ini diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, Mei 2020.
Ada hal menarik dari wayang ini salah satunya tokoh dewa yang mempunyai gambaran bermahkota khas jawa dan berpakaian khas jawa. Wayang tanpa musik adalah hal yang aneh, ibarat kesunyian yang membingungkan. Iringan musik untuk pertunjukan wayang cina jawa dengan menggunakan gamelan jawa, adapun irama yang digunakan seperti patet nem, patet sanga, dan patet manyura. Waktu pertunjukan wayang cina jawa sekitar enam sampai tujuh jam, pada saat gara-gara yang biasanya dikeluarkan semar dan punakawan. Sementara pada jenis wayang ini ditiadakan dan diganti dengan istirahat selama 10 menit.
Tanpa terasa saya memberikan seluruh isi dari buku tipis ini, semoga para pendengar bisa menikmati dan menambah pengetahuan tentang 'perkawinan' yang mulia ini.
Cikuya lutisan sore hari, 25 September 2022
Waluyo Ibn Dischman
Komentar