Berbagai julukan tertanam pada Yogyakarta, nama yang tidak asing lagi pada insan pariwisata. Semua orang paham siapa dia Yogyakarta. Namanya memang terlalu banyak seperti memori kita yang terlanjur banyak saat mengunjunginya. Beberapa nama Yogyakarta membuat bingung pada setiap tamunya ada yang menulis Ngayogyakarta, Yugjo, Djokja, Djokjakarta, Jogja dan masih banyak lagi sebutan dan nama lain dari Yogyakarta Hadiningrat. Semua orang setuju jika Yogyakarta dijuluki sebagai kota budaya, bahkan PBB pun mengakuinya. Dengan kekentalan budaya membuat psra tamunya mempunyai kenangan indah oada kota ini, setiap sudut yerasa indah seperti syair lagu milik Kla Project.
Berapa kali ke Jogja mas? Secara hitungan saya tidak terlalu banyak untuk menjadi tamu Jogja, seingat saya pertama kali ke Jogja saat studi tur SMP tahun 2006 selanjutnya kali kedua pergi sendiri pada tahun 2007. Apa yang membuat selalu kangen dengan sudut-dudut Jogja? Hal ini tidak perlu diobral kepada siapapun yang belum pernah ke Jogja pastinya tidak akan memahami, maka bagi orang yang pernah ke Jogja pasti sudah menemukan jawabanya.
PerjalananBerawal dari rencana yang tak kunjung terceklist, membuat kangen ini terasa membelenggu dan membucah seperti Majnun pada Laila. Mben dino teringat Jogja terlebih pada unggahan teman-teman media sosial yang memamerkan sudut Jogja. Rasanya semakin ingin kembali. Pandemi tak usai-usai hingga beberapa tahun, hingga akhirnya tahun 2022 mereda seperti diperintah untuk mengerem sejenak oleh pengelola semesta. Berbagai aturan tersedia dan dilongggarkan seperti sabuk yang membelit perut buncit, lega. Kini bagi yang sudah vaksin tambahan alias vaksin booster bisa melanglang buwana dengan berbagai jenis moda transportasi termasuk kereta api. Bersyukur saya sendiri sudah vaksin tambahan yang kedua alias suntik ke-4. Alhasil semua lolos.
Berbagi warna kertas berharga dari merah hingga merah bata terkumpul, bahkan besi bundar berlogo angklung pun turut andil dalam pengumpulan dana ini. Hingga genap pada nominal yang diinginkan, syukur alhamdulillah semuanya bisa dibawa untuk merindu dengan Jogja. Aplikasi KAI access terunduh dengan sempurna, kini giliran mencari tanggal dan waktu keberangkatan yang tepat. Tabungan hari dinas masih ada empat haru dari rekan kerja, namun cukup dua hari saja yang diambil. Jangan terlalu lama nanti miskin kembali!.
Usai kesibukan kerja, tepat tengah hari aku pulang untuk persiapan keberangkatan ke stasiun Banjar. Dengan ditemani sepupu aku berangkat, jelas keberangkatan ini disertai kalimah-kalimah suci dengan harapan selamat sampai tujuan dan pulang kembali dengan kebahagiaan hakiki. Ancaman langit tak menggetarkan hati, lama-lama terancam nyata. Rintik hujan turun selepas turun dari motor, beruntung saat itu sudah di depan stasiun Banjar.
Menunggu sekitar sejam adalah waktu yang pas, daripada ketinggalan dan uang terbakar percuma. Satu kereta sudah berhenti dan meninggalkan stasiun Banjar, pertanda kereta yang akan aku naiki akam segera datang. KA Pasundan namanya kereta ekonomi non-PSO alias kereta ekonomi tanpa subsidi relasi Kiaracondong - Surabaya Gubeng, untuk ke stasiun Lempuyangan Yogyakarta membutuhkan waktu empat jam saja. Cukup cepat ya.
Berada di tengah-tengah gerbong membuatku cukup nyaman, bisa leluasa mau ke toilet sebelah depan atau belakang, atau saat hendak turun ataupun masuk kereta semuanya serba pilihan. Tidak seperti memilih tempat duduk di pinggir yang hanya satu pilihan saja, bisa juga milih ke yang lebih jauh. Tapi yo piye. Selama di perjalanan sepertinya mode bisu diaktifkan antara tetangga depan dan saya hanya saling berbalas senyum, tanpa satu kalimat ataupun mukodimah seperti penumpang lainnya. Total mode senyap dari stasiun Banjar sampai ke Lempuyangan, mulut terasa kering karena tidak pernah berucap. Sekalinya berucap takut masalah pribadi diumbar seluruh gerbong, gaswat ya.
Layanan restoran dalam kereta tidak pernah digubris, beberapa kali menawarkan aku tetap diam dan tak peduli. Sakjané aku wis gowo jajan, meh hemat. Terbesit untuk mecicipi kembali cokelat hangat dari Reska, pupus dengan lambaian minuman yang dibeli dari Indomaret. Berhemat katanya.
Menjelang stasiun Wates - Kulon Progo rasa rindu membucah seakan ingin memeluk saudara lama yang telah lama hilang. Oh Yogyakarta! Sat set sat set miskol dan kirim pesan ke teman agar segera di jemput di stasiun Lempuyangan.
Museum
Nawaitu-nya ke Jogja salah satunya mencari ilmu, entah ilmu apa yang didapatkan yang pasti nawaitu. Salah satu keistimewaan Jogja diantaranya banyak museum, selain tempat ruang pamer museum juga menyajikan aneka keilmuan. Nah kunjungan museum jadi hal utama pada plesiran kali ini. Beberapa museum yang telah dibidik adalah Sonobudoyo, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Affandi, Pakualaman dan beberapa tempat bersejarah.
Kunjungan pertama tentu saja yang paling dekat yakni Museum Sonobudoyo dekat alun-alun utara. Untuk masuk ke museum ini sangatlah murah hanya 3000 rupiah saja, namun sehari setelah kunjunganku harga tiket naik menjadi 10.000 berhubung ada gedung baru. Ilmu apa yang didapatkan? Jelas di Sonobudoyo saya menemukan banyak ilmu diantaranya kehidupan manusia Jawa dari zaman purba sampai zaman modern saat ini. Di sana juga ada pagelaran gratis yakni AMEX yang menyajikan tentang keislaman di Jawa dan Nusantara.
Lepas Sonobudoyo kini melangkah ke selatan ke sebuah pameran berbayar 15.000. Pameran ini berlokasi di depan keraton, awal mengira bahwa pameran tersebut masih satu tiket dengan keraton, namun dugaan itu salah. Pameran ini bertemakan Sumakala satu dasawarsa temaram Yogyakarta. Mengusung dimana keraton Yogyakarta dalam keadaan 'temaram' dimana perpolitikan sedang kacau. Benda bersejarah yang ditampilkan berupa kendaraan dinas baik berupa mobil, kereta kencana dan sepeda. Naskah-naskah kuno pun turut andil menjadi bahan pamer, beberapa lukisan perjalanan yang menceritakan temaram Yogyakarta ditampilkan dengan lukisan besar.
Sayang sekali pameran ini tidak menampilkan music live, untung saja ada beberapa mbah-mbah sedang asyik membatik di halaman depan. Bagiku menjadi atraksi wisata yang khas dan menarik bagi wisatawan. Dari pameran kini jalan ke selatan lagi hingga ujung dan menemukan loket masuk ke Keraton Yogyakarta dengan harga 8000, betapa kurang beruntungnya masuk ke keraton selepas duhur. Kenapa kurang beruntung? Karena pagelaran tari tradisional sudah usai, bagi yang akan ke keraton diharapkan datang sekitar jam 10:00 WIB pada sekitar jam tersebut akan ada pagelaran tari dari abdi dalem keraton.
Sendirian. Tantangan yang kadang menyenangkan dan membosankan, semuanya ditanggung sendiri. Kali ini aku mendompleng ke rombongan pelajar yang sedang studi tur, dengan mendompleng isi dari penjelasan abdi dalam terserap sempurna tanpa harus memberikan tips.
Begitu banyak nawaetu goleki elmu orang desa yang sedang diberikan penyuluhan pertanian pun aku ikuti dengan seksama. Dari penyuluhan pertanian tersebut ternyata membawa ilmu yang super bermanfaat bagi aku yang anak petani. Apa ilmunya? Pertama ilmu yang saya dapatkan bahwa menanam padi dengan varietas seragam akan mengurangi hama yang menyerang, kedua penanaman tepat waktu dan seragam juga akan mengurangi penyerangan hama, pupuk organik akan lebih bermanfaat daripada pupuk kimia yang akan memiskinkan hara dalam tanah.
Cara pembunuhan walang sangit adalah hadiah istimewa bagiku, tanpa disadari pengetahuan ini menyambung beberapa saat sebelum ke Jogjakarta. Dimana saat mandi menemukan walang sangit yang mati berjamur, nah dari penyuluhan inilah saya paham bahwa walang sangit bisa mati dengan damai oleh jamur. Semprotan dengan agen jamur inilah yang bisa mematikan walang sangit, walaupun tidak langsung mati semprotan agen jamur lebih aman pada lingkungan dan makhluk lainnya.
Interaksi Keluarga
Kebaikan keluarga mas Dedi takan terlupakan sampai kapanpun. Saya bersyukur pada Tuhan telah memberikan teman sekaligus saudara Dedi Susilo ini. Diantara nawaetu golek ilmu, juga nawaetu silaturahmi kadang merasa terpanggil jika mas Dedi mengatakan bahwa si mbah tanya kapan saya ke Jogja. Dari alasan inilah saya ke Jogja. Terakhir ke rumah mas Dedi yakni awal adanya Covid-19 pada Februari 2020 saat mengantarkan sepupu ujian CPNS di Universitas Negeri Yogyakarta.
Kehangatan keluarga ini bertambah dengan tumbuh dewasanya Saka, anak dari mas Dedi. Kali ini dia sedang ulang tahun, wah saya mau kado apa ya?
Membantu persiapan ulang tahun, bungkus nasi kuning menjadi kegiatan dan berbaur dengan tetangga dan keluarga besar mas Dedi. Saya juga bisa main ke rumah mertuanya yang berlokasi di kecamatan Kretek di selatan dekat Parangtritis. Begitu lembutnya orang sana, berbagai falsafah hidup aku serap dengan amat hati-hati.
Kembali
Terlampau mepet dengan jadwal nonton wayang wong di museum Sonobudoyo hingga hampir ketinggalan kereta. Memang ada beberapa faktor yang membuat saya hampir ketinggalan kereta diantaranya hujan dan aplikasi gojek tidak fungsi karena hujan deras. Jasa pak satpam museum Sonobudoyo tak akan terlupakan dia membantu saya untuk mendapatkan gojek, juga membantu saya menawar harga. Sekali lagi terima kasih banyak pak.
Becak motor berhenti di pintu depan stasiun Lempuyangan bertepatan kereta Kahuripan datang dari arah Solo. Degup jantung bertalu bak instrumen perang, lari tanpa mencetak karcis. Aplikasi KAI access menjadi 'dewa' penolong, sekali tunjuk langsung bisa masuk. Rencana membawa oleh-oleh pun buyar dikejar waktu yang mepet. Tak lebih dari dua menit kereta langsung berjalan ke barat menuju stasiun akhir Kiaracondong di Jawa Barat.
Tidak seperti saat keberangkatan Kahuripan terisi sesak oleh para wisatawan yang hendak pulang dari Yogyakarta ataupun daerah lainnya. Pada umumnya mereka berbahasa Sunda yang berarti mereka perantauan Pasundan atau juga para wisatawan dari Pasundan, layaknya saya sendiri. Bangku 90° terisi penuh baik yang di depanku atau di sampingku. Kereta berjalan dengan riuh obrolan penumpangnya, selepas jam 22:00 semua terdiam dengan gelapnya mata yang lelah. Kereta Kahuripan sampai dengan selamat di stasiun Banjar pada jam 02:22 WIB dan sampai jumpa lagi Yogyakarta.
Komentar