Bisunya Raja Pati
Panyol tak pernah tahu apa pikiran masyarakat desanya, terlalu berlebihan jika memikirkan mereka satu persatu. Tekadnya hanya menguburkan jenazah yang masih ditutup jarik batik motif parang.
“Yu, mayit mau dikuburna nang endi?” Suaranya lirih kepada wanita duduk di depan mayit. Lama tak ada jawaban, hening tanpa satu vokal huruf pun yang keluar dari mulut wanita itu. Panyol terdiam kembali tanpa memberikan kata-kata, dia takut melukai hatinya.
Awan berjalan cepat ke arah barat daya hingga bertumpuk-tumpuk menjadi sebuah gumpalan hitam, suasana kampung semakin bisu bagai hutan tanpa kera. Aura mistik selalu muncul saat anak manusia meninggalkan jasadnya, hingga burung koak mencuri tahu siapa yang meninggal. Suara parau koak adalah misteri tersendiri bagi masyarakat kampung Kubangpari, bukan hanya suaranya arah terbangnya pun menjadi tanda. Ya sebuah tanda kematian.
Kematian Dan Tangisan |
Kampung masih membisu dan enggan menggerakan apapun, hanya Panyol saja yang mampu bergerak kesana kemari demi seonggok mayat. Dalam setiap geraknya ia mampu menahan ucapan-ucapan yang tidak perlu, ia hanya ingin menjaga perasaan setiap insan. Lima belas pintu sudah diketuk dengan jawaban yang sama “Ngapurani, aku ra bisa” tak ada sama sekali jawaban yang berbeda. Beruntung dua perangkat desa menyediakan diri untuk mengurus semua pemulasaraan.
Suara lirih kembali terucap dengan getaran bibir yang penuh kehati-hatian “Yu nyuwun see, Kang Mukri arep dikubur nang endi? Aku wis duwe batir sing mbantuni”. Kembali tak ada jawaban hanya tangis yang menjadi, dua orang perangkat desa menenangkannya. Raung tangisan kembali mereda di tengah kesenduan pada keluarga Mukri. Wanita tua itu mencoba menggerakan bibirnya untuk sebuah kalimat, hanya terlalu berat untuk sebuah kata dan kembali menangis.
Sebuah keputusan diambil dari kesepakatan anak-anaknya dan tiga orang yang membantu keluarga Mukri. Saran Panyol cukup ampuh untuk mematahkan dua sisi keras dari sebuah pendapat yang berbeda. Baginya jalan tengah adalah jalan utama untuk meredam semua kepentingan termasuk dalam hal ini. Tidak ada pembakaran mayat dan tidak ada ritual apapun, semua berjalan sangat sederhana. Hanya landasan kemanusiaan yang tertancam sebagai pedoman keharmonisan sebuah tatanan sosial.
Tubuh kaku itu hanya dibersihkan dan diganti baju dengan sedikit wewangian. Tubuhnya yang kurus kering tak lebih dari bobot satu karung padi cukup mudah untuk digendong bergantian oleh anaknya dan Panyol, sementara dua orang perangkat desa menggali kuburan. Prosesi penguburan itu seakan jarum detik yang berjalan cepat daripada jarum menit dan jam.
“Yu, siki Kang Mukri wis dikuburna aja nangis bae, sakabeh wong ngerteni, sakabeh wong arep ninggal” Panyol menenangkan janda Mukri yang masih tersedu-sedu. Panyol paham apa yang dirasakan padanya, terlebih Mukri adalah seorang Hindu Jawa tunggal di kampung ini. Anaknya pun tak kuasa dengan prosesi ini, dengan tidak adanya fasilitas pembakaran mayat begitu pula ketiadaan tokoh agama Hindu Jawa yang memberikan jalan spiritual seakan menjadi sebuah prosesi yang hampa.
Hanya gerak kemanusiaan yang bisa mendamaikan Mukri dalam tidurnya yang lelap. Panyol berdoa dalam setiap geraknya untuk Mukri.
Komentar