Meriahnya Helatan Akbar Layang-layang Pangandaran 2019 |
Pangandaran adalah salah satu Kabupaten termuda di Jawa Barat dengan segudang tempat wisata yang menarik. Mulai dari pantai, kampung wisata, sungai, dan budayanya semua tersedia dalam daftar menu wisata di kabupaten ini. Pesona Pangandaran memang sudah terbangun di mata percinta plesiran sejak dahulu kala, bahkan sejak zaman kolonial.
Menurut sejarah Pangandaran sudah menjadi cagar alam, berikut kutipan dari Wikipedia Indonesia "Pada tahun 1922 penjajahan Belanda oleh Y. Everen (Residen Priangan) Pananjung dijadikan taman baru, pada saat melepaskan seekor banteng jantan, tiga ekor sapi betina dan beberapa ekor rusa. Karena memiliki keanekaragaman satwa dan jenis – jenis tanaman langka, agar kelangsungan habitatnya dapat terjaga maka pada tahun 1934 Pananjung dijadikan suaka Alam dan suaka margasatwa dengan luas 530 Ha. Pada tahun 1961 setelah ditemukannya Bunga Raflesia padma status berubah menjadi cagar alam. Dengan meningkatnya hubungan masyarakat akan tempat rekreasi maka pada tahun 1978 sebagian kawasan tersebut seluas 37, 70 Ha dijadikan Taman Wisata. Pada tahun 1990 dikukuhkan pula kawasan perairan di sekitarnya sebagai cagar alam laut (470,0 Ha) sehingga luas kawasan pelestarian alam seluruhnya menjadi 1000,0 Ha".
Jadi tidak diragukan lagi Pangandaran sebagai pusat kharisma alam dari tatar Parahyangan. Kini beberapa potensi wisata mulai digali terlebih sejak eksisnya Green Canyon atau Cukang Taneuh, Grand Santirah, Citumang dan beberapa sungai lainnya yang dijadikan sebagai tempat olahraga air. Sejak 'meninggalkan' Ciamis sebagai indukan-nya, Pangandaran seakan tumbuh pesat dari indukan-nya. Jalan-jalan mulai dibangun dengan kualitas baik, fasilitas umum diperbarui, fasilitas pariwisata semakin baik terlebih saat ini pedagang yang biasanya membangun warung di bibir pantai sudah ditertibkan.
Pantai Barat Pangandaran Dilihat Dari Jembatan Sungai Pananjung |
Kini 'kekuatan' utama Pangandaran berasal dari pariwisata-nya tak ayal berbagai pagelaran budaya, ataupun pesta-pesta pariwisata diadakan untuk menarik para pelancong dari berbagai macam wilayah Nusantara maupun mancanegara. Salah satu ajang pesta pariwisata yang diadakan pemerintah Kabupaten Pangandaran diantara Pangandaran Kite Festival atau Pesta Layang-layang Pangandaran yang diadakan tahunan setiap bulan Juli. Acara tahunan ini memang sudah sejak lama diadakan, saya sendiri sudah dua kali mengikuti pesta ini.
Tahun ini Pesta Layang-layang Pangandaran dihadiri oleh lebih dari 10 negara diantaranya Perancis, Singapura, Macau, Hongkong, India, China, Arab Saudi, Polandia, Spanyol, Portugal, Myanmar, Malaysia, Vietnam dan sebagainya. Dari wilayah Indonesia juga nampak perwakilan dari Cilacap, Bandung Bekasi, Jakarta dan kota-kota lainnya. Lokasi pagelaran ini berada di Pantai Timur Pangandaran tepatnya di Lapangan Katapang Doyong.
Bagaimana Untuk Mencapai Lokasi?
Untuk mencapai lokasi perhelatan akbar ini cukup-lah mudah terlebih hampir semua akses transportasi tersedia:
1. Jakarta
Bis: Terminal Kampung Rambutan atau Terminal Kalideres (Bis Budiman, Gapuraning Rahayu, Merdeka) - Turun di terminal Pangandaran - Gunakan ojek untuk mencapai Lapangan Katapang Doyong yang berjarak 1,6 Km.
Bis: Terminal Kampung Rambutan atau Terminal Kalideres (Bis Budiman, Gapuraning Rahayu, Merdeka) - Turun di terminal Pangandaran - Gunakan ojek untuk mencapai Lapangan Katapang Doyong yang berjarak 1,6 Km.
Kereta:
Stasiun Pasar Senen (KA Serayu) - Stasiun Banjar - Naik Bis Budiman ukuran seperempat - Terminal Pangandaran - Ojek ke Lapangan Katapang Doyong.
Stasiun Gambir (KA Pangandaran) - Stasiun Banjar - Naik Bis Budiman ukuran seperempat atau akomodasi langsung dari KAI - Terminal Pangandaran - Ojek ke Lapangan Katapang Doyong.
Pesawat: Bandara Halim Perdana Kusuma (Susi Air) - Bandara Nusawiru - Bis atau Kendaraan Charter - Lapangan Katapang Doyong.
Di Tengah Perhelatan Layang-layang |
2.Bandung
Bis: Terminal Cicaheum (Bis Budiman) - Terminal Pangandaran - Ojek ke Lapangan Katapang Doyong.
Bis: Terminal Cicaheum (Bis Budiman) - Terminal Pangandaran - Ojek ke Lapangan Katapang Doyong.
Pesawat : Bandara Husain Sastranegara (Susi Air) - Bandara Nusawiru - Bis atau Kendaraan Charter - Lapangan Katapang Doyong.
Kereta :
Stasiun Bandung (KA Pangandaran) - Stasiun Banjar - Bis atau Kendaraan akomodasi langsung dari KAI.
Stasiun Kiaracondong (KA Serayu) - Stasiun Banjar - Bis atau Kendaraan akomodasi langsung dari KAI.
Saat anda datang ke Pangandaran bukan hanya melihat acara ini saja tapi anda juga dapat menikmati sejumlah pemandangan istimewa dari Pangandaran mulai dari belasan pantai indah, sungai-sungai asri, aneka budaya dan kuliner dan tentu saja wisata edukasi di Museum Nyamuk Indonesia.
Bagaimana Cerita-ku?
Syahdan sebuah hasrat untuk berbasah ria di sungai Citumang, Iman mengajak saya untuk ke sana. Berbagai percakapan melalui aplikasi WhatsApp mengalir tak ada batasan kouta, sejumlah foto dan video dari aktifitas body rafting di beberapa sungai di Pangandaran saya sajikan untuk menarik hasrat Iman. Sayang! Pukulan biaya masuk dan sewa membuatnya mengkerut tak punya nyali untuk masuk ke dalam hangatnya Citumang.
Kharisma Pantai Pasir Putih Barat Pangandaran |
Sekali masuk dengan paket makan atau tanpa paket makan sekitar 100.000-130.00 rupiah perorangnya! Sontak hasrat Iman menciut begitu saja bak seorang impoten. Wajar dia baru keluar SMA, uang subsidi sudah distop, pekerjaan belum dapat dan kuliah juga belum dimulai. Walaupun tidak terlalu besar namun bagi saya dan Iman cukup membuat diri puasa hingga beberapa minggu. Percakapan di WhatsApp hilang begitu saja tanpa wassalam, namun percakapan timbul kembali setelah saya kembali membujuk untuk menghadiri helatan akbar tahunan yakni Pangandaran Kite Festival 2019.
Iman begitu saja setuju dengan rencanaku. Jelang beberapa hari sebelum keberangkatan dia sudah memberi isyarat sebelum pergi ke Pangandaran mau mampir dulu ke rumahku. Dan benar saja, dia datang bersama temanya. Pembicaraan berlangsung hanya beberapa menit saja dan isi pembicaraan hanya berkisar rencana untuk hari besok.
Sebelumnya saya sudah punya rencana juga dengan Imam untuk hadir kembali di acara akbar itu, setahun lalu saya dan Imam hadir. Kali ini saya ingin kembali hadir untuk melihat koleksi-koleksi layangan yang istimewa. Oh ya Iman dan Iman itu berbeda ya! Ini bukan typo tapi memang dua orang berbeda. Imam sendiri teman kecil sekaligus tetangga, sementara Iman adalah teman baru yang kenal saat mendaki gunung Ciremai pada coblosan persiden sekitar tiga bulan lalu.
Pangandaran Menuju Ujung Senja |
Imam sudah sepakat untuk pergi pagi sekitar jam tujuh pagi, dia menolak untuk pergi malam hari saat malam minggu. Maklum saja dia seorang guru yang sedang mempersiapkan silabus untuk tahun ajaran baru. Sementara Iman tidak ada kesepakatan kuat karena berangkat atau tidak berangkatnya saya tidak mempengaruhingya untuk pergi ke Pangandaran. Sambil menyelam minum bir itulah kata pepatah modern untuk Iman yang mempunyai double tujuan ke Pangandaran; pertama jemput ayahnya dan ke-dua menikmati helatan akbar layang-layang.
Aku dengan dana kurang dari 40.000 rupiah berani untuk melancong ke kabupaten sebelah dengan sejumlah subsidi bahan bakar dari Imam dan bensin full yang sudah di-isi oleh uang ibuku. Tentu saja saya cukup berani walaupun dengan uang sedikit itu berhubung ada dua penjamin yang bisa diandalkan. Lagi-lagi di sini saya berperan sebagai 'pemandu wisata' untuk mereka berdua. Tapi tak mengapa karena jaminan perut sebagian sudah dipegang mereka berdua.
Tepat jam lima pagi pesan WhatsApp masuk dari Imam untuk segera berangkat, dia mengingkari kesepakatan dengan memajukan satu setengah jam dari kesepakatan. Tentu saja saya girang dengan pengingkaran ini, ya lumayan lah uang masuk gerbang pos karcis bisa-bisa tidak ditarik berhubung masih pagi. Xrideku meluncur mulus di badan cantik nan hitam legam, volume kendaraan saat itu cukup lengang.
Sekali sampai lima kali telpon tertolak dan tidak dijawab baik melalui aplikasi WhatsApp maupun telepon konvesional. Semua itu terasa mengerikan bak ancaman kegagalan acara, aku tancap gas saja menuju pesantren dimana Iman berada. Sampai di sana dua santri memanggilnya, tak kurang dua detik saya memarahinya karena tak menjawab telephone! Sesuatu yang durjana bagiku saat ada kesepakatan kontak menghilang atau susah dihubungi.
Pokoknya Yang Moto Jariku |
Iman dengan motor Legenda-nya melaju tanpa penumpang lain, sementara saya bersama Imam. Ratusan kendaraan tersalib begitu saja dengan kewaspadaan berlalu lintas. Volume kendaraan mulai penuh saat menusuri turunan di kawasan Emplak, rupanya kemacetan yang mempunyai panjang 100 meter ini karena ada pengerjaan jembatan baru. Bersyukur kemacetan tidak 'menaga' hingga berkilo-kilo.
Benar saja di pagi penuh kabut putih petugas karcis belum ada di tempat, dengan begitu angka-angka dalam dompet masih terjaga aman. Tanpa babibu kami langsung pergi ke lapangan yang dimaksud, dimana helatan berskala internasional digelar. Sudah kepastian saat sampai lokasi kami hanya disuguhi kerumunan orang yang sedang mempersiapkan acara, pedagang yang mulai menggelar lapak, dan sejumlah orang wara-wiri dengan segala tujuan-nya.
Berhubung masih dalam masa persiapan kami mengalihkan rencana dengan berenang dan menikmati pelukan ombak yang aduhai di Pantai Barat Pangandaran. Tarikan gas xride tak sampai sepuluh menit kami sudah berada di kerumunan orang yang sedang menikmati keaduhaian Pantai Barat Pangandaran. Saya yang terbiasa dengan nuansa damai sontak syok dengan suasana kali ini! Ku pikir ini adalah Padang Masyar yang dijanjikan itu, tapi inilah fakta dari Pangandaran hari ini.
Nelayan Sebelum Senja |
Tak ada bikini terpasang di tubuh seorang wanita, terlihat kolor-kolor yang berjendolan dan gobal-gabel berkeliaran dengan telanjang dada wara-wiri di bibir pantai. Aku tertegun, sedikit stress dengan keadaan seperti hari ini. Berjalan menghindari kerumunan tsunami wisatawan kami beralih ke Cagar Alam Pangandaran yang tepat di sisi selatan, tapi apalah daya hari ini memang pamungkas dari segala jenis liburan! Kepala dengan wajah sedemikian rupa memenuhi segala sisi Pantai Pasir Putih Pangandaran, tak ada ruang cukup luas untuk menampung mereka.
Tertegun cukup lama dengan meluruhkan otot kaki yang mulai mengeras, otak terus berputar sesuai arah jarum jam! Aha eureka!!! Ketemu juga idenya... Akhirnya kami memilih masuk ke dalam hutan konservasi dan menjauh dari tsunami wisatawan. Jalan setapak masih tampak jelas dan kadang tertutup oleh pepohonan yang tumbang. Gerak biawak terdengar dari kejauhan, omelan-omelan monyet ekor panjang sesekali terdengar dengan amarahnya. Semua terasa damai.
Sang Biawak Yang Melongo Melihat Si Otong |
Entah berapa kilometers kami menyusuri dalamnya hutan, hewan liar terlihat dengan mata bugil salah satunya sepasang kijang, biawak, monyet ekor panjang, lutung dan sejumlah burung. Ada satu kejadian yang bikin jantung meletus, ceritanya saya hendak kencing saat itu aku mencari tempat yang lumayan terbuka dan menghindari pohon besar. Saat air seni sudah dipucuku batang aduhai betapa kagetnya di depan si otong ada biawak cukup besar! Entah kenapa biawak itu tak bergerak seakan-akan melongo melihat si otong yang tak kalah besarnya dengan dia. Air kencing yang sudah di ujung mendadak masuk kembali ke kandung kemih! Aduh ya mama beruntung sekali tidak dipacuk biawak.
Iman begitu girang melihat nyawaku di ujung bahaya biawak! Aduh cukup lah ujian hari ini. Imam yang sedari tadi memisahkan diri untuk sekedar investasi emas glondongan di sungai kecil dalam hutan terpisah dari segala kisah yang ada. Dia datang selepas investasi emas glondongan sudah terapung dalam damainya sungai kecil. Kaki berjalan kembali menuju Pantai Pasir Putih Timur Pangandaran, di tengah perjalan kami melihat kabut putih ala-ala drama fotografi atau ala-ala suasana drama kolosal dan benar saja kabut putih itu berasal dari aktifitas shooting film laga Jokotingkir.
Harapan memang sekadar harapan bukan realitas yang menjadi sebuah kepastian. Harapan kedamaian di Pantai Pasir Putih Timur Pangandaran hilang sudah dengan grudukan wisatawan yang membanjiri lokasi itu, aduh mama! Hanya beberapa foto tersimpan dalam memori kecil kamera. Tidak banyak waktu yang dibuang di pantai penuh orang itu, kini kami kembali ke tujuan utama yakni helatan akbar layang-layang di Lapangan Katapang Doyong yang masih terlihat jelas dari Pantai Pasir Putih Timur Pangandaran.
Yoni Tanpa Lingga Bukti Sejarah Kerajaan Pananjung |
Sengatan matahari begitu panas hingga kulit menjadi cokelat kemerah-merahan, kulit Imam dan Iman menjadi eksotik tanpa make up mahal belaka. Jaket tebal menjadi terapi mematikan buat tubuhku, sekali buka jaket satu gelas keringat keluar dari kulit. Serasa Padang Masyar yang panas sekali bagi pendosa laten sepertiku, tapi aku tak sekali-kali memikirkan hal itu di masa depan karena aku yakin untuk hal-hal indah di suatu akhir waktu.
Angin dingin dari tenggara bertiup tak sekedar tiupan bibir saat di hadapan lilin dan kue ulang tahun atau sekedar kipasan si juragan sate madura. Angin tenggara begitu kuat meniup hingga layangan sebesar anak gajah bisa terbang tinggi hingga merusak kumpalan awan. Deratan bendera-bendera negara perserta berkibar sempurna pada tiang putih yang telah tersedia, layang-layang empat dimensi, tiga dimensi hingga dua dimensi berlayar dalam arus angin tenggara.
Layangan naga sudah melajurkan ekornya sampai menyentuh kepulan awan, sementara bulatan besar memutar bak mainan hamster begitu cepat, di sisi lain layangan kecil eksis dengan tenangnya melayang di antara layang-layang raksasa. Bagiku helatan kali ini memang lebih ramai daripada sebelumnya, meledaknya wisatawan cukup membuat pedagang menjadi gendut oleh lembaran rupiah. Bayangkan saja kupat tahu yang biasanya harga Rp 5000 menjadi Rp 10.000, sementara itu pedagang ikan terus menjaja hingga akhirnya ikan terjual habis dengan harga seragam nan memuaskan.
Layangan Naga |
Bulan Juli menurut kalender nelayan adalah musim panen ikan! Nelayan di beberapa titik pantai Pangandaran terlihat menarik jala-nya, sekali tarikan ratusan ikan terperangkap dan berganti menjadi rupiah yang tebal. Untuk pedagang semua sepakat dengan harga tunggal dimana untuk satu kilograms tongkol dijual dengan harga Rp 30.000-35.000 fantastis bukan! Tapi itulah rezeki mereka.
Berhubung kupat tahu tidak memberikan kepuasan yang sangat dalam kami membeli satu kilograms tongkol dengan skema pembayaran dari tradisi kami yakni patu-ngan ya patungan alias stengan atau urunan. Seorang patungan cukup 10.000 rupiah saja! Untuk lokasi bakar-bakar ikan saya sebagai pemandu memilih di kawasan Pamugaran tepatnya di dekat Kampung Turis yang terkenal akan gadis seksinya. Berhubung kami tidak membawa nasi ataupun bahan pokok lainnya, saya dan Iman pergi ke pasar untuk membeli nasi tanpa lauk, kerupuk dan kecap manis. Total uang yang dikeluarkan cukup kecil yakni Rp 16.000 dengan asumsi harga Rp 12.000 untuk nasi berserta bumbu sate, Rp 4000 untuk kecap dan satu renteng kerupuk. Jadi kalau ditotal maka patungan sebesar Rp 15.000 lebih tiga ratus rupiah.
Untuk chef tak diragukan lagi ada Iman dan Imam, mereka berdua sudah bisa dianggap professor dalam bidang ini. Aku hanya mempersiapkan bumbu, tempat makan dan sejumlah bidikan kamera untuk sebuah bukti saat ajang pamer dengan yang lainnya. Kontol Tongkol ✓ bakar sudah tersaji sempurna, batang tongkol dibelah, dilumeri saus kacang dari bumbu otentik jawa, kecap manis hasil rempah-rempah Nusantara tertabur dalam setiap serat daging yang mengeluarkan asap halus. Gurihnya kerupuk menambah setiap jengkal kenikmatan, bulir nasi menjadi dadah yang sangat menagih kuluman lidah dan bibir. Semua tampak sempurna bagi mulut, lidah dan perut!
Plesiran Tanpa Foto = Hoax Biadab |
Usai sudah kenikmatan dari ujung lidah hingga food coma, rasa kantuk menjelma seiring angin tenggara yang semakin lembut membelai halus kulit. Kami manuver rencana dengan istirahat di kontrakan milik ayah dari Iman. Beruntung ayah Iman bisa dihubungi hingga kami merasakan food coma dengan damai di sudut kamar. Satu setengah jam dalam food coma bagai mendapatkan energi dahsyat, badan terasa segar dan nyaman. Imam yang semalam tanpa tidur mendapatkan energi yang cukup membantu kebugaran badan-nya.
Rencana selanjutnya adalah mengunjungi penutupan perhelatan layang-layang dan menikmati detik-detik matahari tenggelam dalam samudra luas. Sayang kami tidak cukup mengejar waktu saat penutupan helatan itu. Bergulir susur pantai dengan membawa kamera sekali dua jepret muka-muka semangat dari nelayan terekam begitu indah. Dari pantai timur bergeser ke barat untuk melepas daki-daki hitam pada kulit kami yang sudah menebal, sekali prosot kolor melorot hingga tersisa celana dalam.
Berlari mengejar matahari yang hendak tercebur samudra, namun apalah daya ombak mengejar dengan amarah-amarahnya. Tamparan keras ombak membuat kami bergairah untuk selalu mengejar matahari itu. Deburan ombak sekali-kali menampar dada hingga badan tumbang dalam gelapnya air laut. Aku takut hilang dalam samudra dan kembali hanya sampah nama yang melekat diantara sanubari teman-teman, saudara ataupun tetangga.
Iman dan Imam, Si Anak Pantai |
Hingga berujung pada sebuah adegan matahari termakan samudra, kami masih setia dengan duduk santai di bibir pantai. Mega mulai memerah dengan pesona melankolis, camar berterbangan entah kemana. Sementara toa berteriak keras untuk yang beragama Islam saja. Aku duduk dan berharap untuk sejumlah kenikmatan.
Kembali dengan diantarkan suara keras dari toa, kami berpisah karena perbedaan format acara. Saya dan Imam pulang lebih dahulu daripada Iman yang harus menunggu ayahnya yang belum pulang. Aduhai mama! Ternyata macet lebih dari Lima Kilometer aduh aduh ...
Komentar