Tulisan ini pernah dibacakan penuh di bulan puasa hingga setelah lebaran tahun 2019 di Radio Taiwan International seksi bahasa Indonesia.
Perkenalan kembali saya Indra Sukmana pendengar lama yang telah lama tidak mendengarkan RTISI sejak 2010 sampai awal 2019. Semoga pintu RTISI selalu terbuka untuk semua pendengarnya. Saya tertarik sekali untuk berbagi cerita di acara kak Maria, saya juga sempat iri dengan pendengar lainnya seperti Liana Safitri, Waluyo Ibn Dischman dan Rudi Hartono yang sering kirim ulasan buku. Mereka membuatku tergugah untuk menulis apa saja.
Perkenalan kembali saya Indra Sukmana pendengar lama yang telah lama tidak mendengarkan RTISI sejak 2010 sampai awal 2019. Semoga pintu RTISI selalu terbuka untuk semua pendengarnya. Saya tertarik sekali untuk berbagi cerita di acara kak Maria, saya juga sempat iri dengan pendengar lainnya seperti Liana Safitri, Waluyo Ibn Dischman dan Rudi Hartono yang sering kirim ulasan buku. Mereka membuatku tergugah untuk menulis apa saja.
Berbeda dengan yang lainnya, di sini saya ingin berbagi pengalaman saya saat merasa “hampa” dalam kehidupan. Kehampaan itu saya isi dengan perjalanan ke timur Indonesia dengan jalur darat. Cerita pengalaman ini saya akan bagikan dalam beberapa subjudul berdasarkan pulau yang disinggahi.
Singkat cerita saya adalah seorang karyawan swasta di perusahaan besar di Jakarta. Dengan gaji lumayan dan kehidupan yang mudah di Jakarta ternyata membuat batinku selalu bertanya-tanya, selain itu juga saya merasa ada sudut hampa di kehidupanku. Berbagai kegiatan keagamaan ternyata belum cukup menjawab semua pertanyaan yang ada. Yang ada dalam pikiranku saat itu adalah membebaskan diri, seperti burung liar yang bisa terbang sesuai kehedaknya. Hingga akhirnya melepas jabatan dan meninggalkan dunia yang serba “mudah” di Jakarta.
Tidak ada yang mencurigai gerak-gerikku saat pulang kampung dan memutuskan lepas dari pekerjaan. Dua minggu dialokasikan untuk bermesra dengan keluarga hingga tiba waktunya untuk pergi mencari “jawaban-jawaban” untuk mengisi kehampaan. Dua tiket kereta api sudah dibeli, semuanya kelas ekonomi. Banyak yang bilang bahwa kelas ekonomi adalah kelas dimana orang bisa “merakyat” bisa berinteraksi dengan penumpang lain tanpa canggung, bisa merasakan apa yang disebut keterbatasan. Benar saja saat perjalanan dengan menggunakan KA Pasundan menuju Surabaya Gubeng, tak ada satupun orang yang menolak untuk diajak bicara. Hampir semua beramah-tamah dengan penumpang lainnya.
Sepanjang Surabaya Dan Bali
Awal perjalanan yang sedikit canggung dengan berbagai rasa, utamanya rasa takut dan khawatir. Kadang aku merasa tidak percaya apa yang saya lakukan saat itu, seakan sebuah lelucon tapi ini nyata. Pertengkaran hebat di otak soal masa depan, nasib perjalanan dan tetek-mbengek lainnya menjadi benang kusut dengan sejuta simpul. Beruntung penumpang lain mengajak berbicara sepanjang perjalanan hingga si benang kusut kembali membuka simpulnya satu persatu.
Kereta berpintu kuning menurunkan kecepatan hingga 2 Km per-jam sebuah tanda memasuki stasiun. Dan benar saja di luar jendela terlihat tulisan terang dengan warna neon “Surabaya Gubeng +5M”. Betapa cepatnya roda menggelinding hingga akhirnya sampai pada stasiun tujuan. Kala itu pukul 10 malam, kereta datang sedikit terlambat dua menit. Suasana stasiun Surabaya Gubeng terasa ramai sekali dengan para penumpang yang duduk menunggu kereta di peron dan ada juga yang keluar masuk kereta.
Jarak waktu antara kereta lanjutan cukup panjang sekitar enam jam. Sesuai jadwal kereta Probowangi berangkat dari stasiun Surabaya Gubeng tepat pada jam 4:25 pagi. Saya tidak memilih untuk tidur di hotel ataupun penginapan terdekat, tapi tidur di bangku tunggu depan stasiun. Inilah pembelajaran awal untuk diriku yang ingin mengetahui kehidupan. Nyamuk tidak hanya sepuluh kali menusuk pori-pori kulitku yang lusuh oleh perjalanan, sekali dua kali aku tepuk hingga akhirnya lelap dalam tidur.
Beruntung alarm dari handphone membangunkanku lebih awal dari jadwal keberangkatan kereta. Saat mata membuka dari pulasnya tidur, ternyata antrean di mesin pencetakan tiket sudah ramai. Sebelum berdiri ikut mengantre aku bertemu ibu-ibu paruh baya, berlogat khas Surabaya. Ramah dan sangat tegas bagiku, aku tahu dia hanya sekedar basa-basi layaknya manusia Indonesia lainnya. Sekali jabat tangan langsung ingat namanya, Wulan. Bu Wulan ini ternyata masih saja berada di sekitarku, maklum saja dia satu kereta denganku. Saat saya membantu mencetakkan tiket untuk para lansia dan orang-orang yang belum paham caranya, bu Wulan datang meminta bantuan untuk dicetakkan tiket miliknya.
Dari sederetan interaksi sosial sederhana itu saya mulai akrab dengan bu Wulan. Terlebih gerbong kereta yang sama, bangku yang bersebelahan, tujuan kota yang sama yakni Denpasar - Bali. Aku bisa disebut orang yang beruntung karena berkenalan dengan bu Wulan, berkat dia perjalanan sepanjang Surabaya hingga Denpasar menjadi lancar tanpa kekhawatiran yang berlebihan. Ketegasan bu Wulan sepertinya mengalahkan semua orang yang berada di bis Damri jurusan Banyuwangi-Denpasar, harga trayek dibayar dengan harga wajar. Hanya saya dan bu Wulan yang membayar dengan harga wajar, penumpang lainnya membayar lebih akibat ulah kernet yang rakus.
Layaknya ibu sendiri, bu Wulan mengajarkan beberapa trik untuk terhindar dari penipu, pencopet ataupun calo. Terminal Mengwi adalah terminal yang dirancang untuk bis-bis besar yang akan menuju Denpasar, namun lokasinya cukup jauh dari Denpasar. Bu Wulan yang sudah lama tinggal di Bali protes saat diturunkan di terminal Mengwi, dia tahu bahwa Damri turun di kawasan Matahari Depstore Denpasar. Protes yang bertubi-tubi hingga melumpuhkan supir dan kernet. Hanya sekitar lima orang saja yang di dalam bis, umumnya orang Denpasar asli. Yang lainnya diturunkan paksa di terminal Mengwi.
Sanur adalah tempat tinggalku saat berada di Bali, pemilihan tempat dan kosan juga disarankan oleh bu Wulan. Ya semua berkat bu Wulan, orang tua kedua bagiku. Di Bali aku tak hanya plesiran ke tempat-tempat yang penuh turis, di sini saya mencari apa itu “aku”. Sambutan-sambutan hangat dari orang Bali sangat mendalam hingga aku jatuh cinta, bukan hanya pada alam dan budayanya saja tapi pada adat dan spiritual-nya. Di sini saya belajar sedikit spiritual pada orang-orang Bali sekitar kosan, saat saya dibawa untuk menyaksikan ngaben pertama kalinya. Aku sempat terpukul, menangis dan sedikit menyakitkan, tapi rasa itu tidak ada untuk temanku Budhiarta. Dia menjelaskan bahwa setiap kematian adalah kehidupan baru jadi tidak boleh ditangisi berlebihan. Dari sini saya merasa wawasanku terlalu dangkal, bisa jadi lebih dalam kubangan air di jalan raya daripada wawasanku. Aku malu.
Bu Wulan mengenalkan-ku pada keluarga Bu Haji, rumahnya hanya sepuluh langkah dari depan pintu kosanku. Bu Haji adalah seorang janda yang menjadi kepala rumah tangga dan seorang pengusaha sate. Warung satenya cukup terkenal di Sanur, semua karyawannya adalah anak-anaknya sendiri. Aku di sini diperkenalkan untuk membawa nuansa baru kepada anak-anaknya terutama Rega. Entah kenapa bu Wulan memerintahkanku untuk hal yang cukup pelik, perlu diketahui bahwa Rega adalah seorang pecandu narkoba sejak SMP. Aku tidak punya pengalaman dalam pengobatan ataupun terapi kepada pecandu narkoba, aku hanya berinteraksi normal seperti orang lainnya.
Selama tinggal di rumah bu Haji saya membantu usahanya dengan menusuk daging ayam ke gagang sate pada pagi hari dan malamnya aku ikut bantu-bantu jualan. Siang hari hanya keliling kota dan tempat menarik di Bali dengan Rega. Berhubung saya membawa kamera dan Rega juga tertarik dengan fotografi akhirnya saya mengajarkan teknik sederhana fotografi. Bersyukur pada Tuhan ternyata dari fotografi Rega kembali mendapatkan kehidupan normalnya, saya sendiri tahun 2017 lalu diundang gratis tiket dan yang lainnya oleh bu Haji untuk berkunjung kembali Dan bersyukur itu terjadi. Dari Rega juga saya belajar bagaimana hidup saat hilang arah dan bertahan demi dirinya sendiri.
Bali memberikan sejuta warna kehidupan: mulai dari Bu Magdalena (Samaran) yang rela menjadi kuli bangunan dan hidup bersama dengan pria yang bukan suaminya; Bu Nyoman (Samaran) yang bercerita susahnya menjadi janda di Bali hingga akhirnya menikah dengan seorang Australia dan bertemunya kelompok marginal di tepi Bali. Rasanya belum cukup membuatku paham tentang kehidupan. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk pergi ke Lombok, sesuai dengan rencana sebelumnya.
Ada tangis haru saat ibu kos, bu Wulan dan bu Magdalena melepasku ke halte bus. Mungkin saja ikatan singkat yang mendalam membuat kami menangis. Susah sekali dihilangkan kebaikan-kebaikan mereka.
Lombok Dan Gili Trawangan
Babak kedua perjalanan ke timur membuatku deg-degan kembali, akankah ada orang baik di sekitarku atau kemalangan yang akan datang. Hanya doa-doa kecil yang bisa memadamkan kegelisahan itu. Di ujung Bali sedikit renungan untuk sebuah tanda tanya dan aku mulai sedikit menjawabnya, entah salah atau benar.
Tiga kapal jenis ferry tersandar, tergerak ke kiri dan ke kanan susuai dengan ombak laut. Angin yang cukup kencang sedikit membuat risau akan keselamatan di laut. Tiga orang calo tiket kapal wara-wiri menghampiri, dengan standard kesopanan Indonesia saya selalu mengucapkan terima kasih sebagai tanda penolakan yang halus. Satu demi satu calo menghilang dan terlihat kembali mengerubuti calon penumpang yang baru turun dari bis ataupun kendaraan travel.
Tiket di pelabuhan Padang Bai sudah dalam bentuk digital, berupa kartu elektrik. Aku berjalan sedikit cepat untuk mengejar kapal ferry yang sudah siap berangkat berlayar. Namun ibu berbadan gempal menyarankanku untuk naik ferry yang cukup besar daripada ferry yang siap berlayar. Saran itu saya terima berhubung pengalaman perjalanan laut yang kurang. Dia memperkenalkan diri sebagai Ivon, seorang karyawan perusahaan Newmount Indonesia.
Bagiku dia seperti tangan kecil Tuhan yang menjulur untuk menjagaku dan benar saja kebaikannya membuatku untuk selalu bersyukur atas kehadirat Tuhan. Di perjalanan seperti biasanya obrolan santai mengalir begitu saja dengan bu Ivon, saya malu sekali dengan kebaikan dari bu Ivon dia memberiku nasi kotak berserta minumannya. Padahal saya sendiri mempunyai uang untuk membelinya. Dia mengancam kalau tidak diterima, tidak akan berteman kembali.
Bu Ivon merasa sebagai saudara senasib denganku, dia pernah sepertiku juga. Berkeliling pulau demi sebuah jawaban kehidupan. Dalam ceritanya dia mendapatkan banyak kemudahan dan kesusahan dalam perjalanan tapi kepuasan batin membuatnya terus bertahan. Aku tidak bisa menolak kembali saat dijejali uang untuk ongkos taxi, dia juga meminta maaf tidak bisa memberikan penginapan. Aku menangis haru dengan apa yang dilakukannya.
Sopir taxi membawaku ke wilayah Cakranegara di Mataram. Satu penginapan besar dan lumayan murah dipilihnya sebagai rekomendasi terbaik untukku. Aku manut saja. Uang bu Ivon saya keluarkan, ternyata lebih banyak. Dengan niat yang sama seperti niat bu Ivon, saya memberikan kelebihan uang itu untuk keluarga supir taxi.
Udara pagi Lombok terasa berbeda dengan Bali, delman khas Lombok lalu-lalang mengisi kepadatan jalanan Kota Mataram. Perjalanan demi perjalanan, bahu semakin kencang dan terkadang sedikit lecet karena beban yang berlebihan. Akhirnya beberapa barang dikirim melalui jasa pos ke alamat rumah di Jawa. Harmonis-nya Lombok membawa saya ke dunia lain di mana perpaduan Islam dan Hindu berjalan dengan harmonis. Sodetan air di pinggir jalan membuatku terpukau karena betapa beningnya air di sana, ikan warna-warni hidup di dalamnya. Aku sempat iri dengan kondisi alam yang indah ini.
Jam penginapan sudah habis sesuai waktu yang diberikan dari jam 10 malam hingga jam satu siang. Rencana di Lombok cukup banyak terutama pendakian Rinjani, tapi apa daya Rinjani sakit batuk beberapa hari dan mengakibatkan jalur pendakian ditutup. Opsi lainnya adalah pantai Senggigi dan Gili Trawangan, melihat jarak antara Cakranegara dan pantai Senggigi tidak terlalu jauh maka Saya memilih untuk pergi ke sana. Butuh Naik dua kali angkot untuk sampai ke bibir pantai Senggigi yang indah.
Deburan ombak dan angin dingin dari selat Lombok membuat saya terlelap tidur di bawah pohon kelapa. Betapa damainya Pantai Senggigi, saking nikmatnya di pantai hingga lupa pindah tempat. Beberapa tukang souvenir mendekatiku untuk menawarkan barang dan juga ngobrol-ngobrol untuk mengisi waktunya. Wisatawan lokal maupun internasional sangat sedikit waktu itu, mungkin bukan waktu liburan jadi tampak sepi.
Adalah Harun (Samaran), seorang penjual pernak-pernik mutiara di pantai Senggigi. Obrolan santai dengannya membawa saya tidur di rumahnya. Ada pelajaran menarik dari kehidupannya yang malang, dia adalah orang tua tunggal dari empat anaknya hasil dari dua pernikahan yang gagal karena KDRT. Bagiku dialah manusia kuat! Empat orang anak ditanggungnya dengan usaha pernak-pernik mutiara. Aku kagum akan tekadnya pada kehidupan yang lebih baik dan masa depan cerah untuk ke-empat anaknya. Selain ke-empat anaknya dia juga mempunyai anak angkat dari keluarga bibinya yang telah membuangnya karena alasan tertentu.
Pelajaran berharga lainnya dari rumah gubug di perbukitan Senggigi adalah cara membuat pernak-pernik mutiara dan cara membedakan mutiara air laut atau air tawar. Mas Harun bagi saya bukanlah orang biasa, dia membiasakan diri berbicara bahasa Inggris dengan anak-anaknya. Dia selalu menerima turis asing yang ingin menginap di rumahnya, tak jarang orang bule hilir mudik ke rumahnya hanya untuk sekedar istirahat di teras rumahnya. Rumah mas Harun sangat sederhana hanya terdiri tiga petak, termasuk dapur. Semua kamar di isi oleh anak perempuannya. Sementara dia dan anak lelakinya tidur di rumah pohon yang dibuatnya. Biasanya para turis asing tidur di beranda rumah yang cukup luas. Saya sendiri tidur di beranda itu dengan alas tikar.
Pagi hari saya diajak anaknya untuk mandi, ternyata mandinya di aliran sungai yang jernih. Aku sedikit malu saat mandi di sungai, terlebih saat harus membuka celana. Tapi ini adalah suatu kehidupan yang mesti dijalani, dan aku mulai melepaskan rasa canggung dan malu.
Selanjutnya saya diantar mas Harun ke halte angkot yang menuju Gili Trawangan. Di sinilah aku berpisah dengan manusia baik itu, aku bersyukur hingga sekarang masih menjalin persaudaraan dengannya.
Kehidupanku mulai terjawab beberapa nomor, aku sedikit puas tapi rasanya masih kurang. Nomor-nomor pertanyaan selanjutnya segera dijawab di Gili Trawangan. Pulau ini bagi saya pulau pesta, sepanjang bibir pantai terdapat restaurant dan juga pub. Musik menggelgar di mana-mana, hanya di pulau ini minuman keras dijual bebas, berbeda dengan di pulau utama Lombok.
Hijaunya air laut membuat ingin belama-lama untuk snorkeling ataupun berenang seperti biasanya. Saat snorkeling saya bertemu dengan pasangan sesama jenis, satu lelaki muda Indonesia dan satu lagi lelaki tua Perancis. Di sela kegiatan itu dia bercerita banyak tentang apa yang terjadi pada masa lalunya dan masa sekarang yang menurutnya lebih baik, karena mempunyai pasangan idaman. Dari mereka juga aku belajar bagaimana hidup dalam pandangan ataupun hal yang berbeda dengan yang lainnya.
Setelah snorkeling aku mencari makanan yang cocok di Lombok, tapi sayang belum juga ketemu. Semua makanan terlalu pedas bagi lidahku, dua hari berlalu masalah perut hal yang menjengkelkan. Rencana malam pertama di Gili Trawangan dengan meninap di masjid, marbot masjid sudah menyediakan tempat khusus untukku. Tapi aku menundanya hingga magrib menjelang, saya ingin keliling pulau lebih dahulu.
Sore hari yang tenang langkah kaki menuju timur berbelok ke utara, ke barat dan selatan membentuk bulatan sedikit lonjong. Pada ujung sisi timur saya bertemu dua orang pemuda yang tampak seperti orang Malaysia, obrolan santai berjalan dengan basa-basi pengalaman di Malaysia. Dugaanku salah ternyata pemuda itu orang Bukittinggi Sumatera Barat. Aku sedikit malu! Tapi tak apa lah…. Wajar Malaysia dengan Sumatera Barat mempunyai kemiripan. Dua pemuda itu memperkenalkan diri sebagai Ciko dan Yoyon. Mereka sengaja ke Gili Trawangan untuk sekedar liburan sebagai penghapus rasa penat dalam berdagang di toko yang dimilikinya.
Singkat cerita dia mengajakku untuk sharing room tanpa biaya, aku menyetujuinya. Saya hanya patungan kamera dan makanan kecil saja. Yoyon ternyata mempunyai segudang pengalaman luar biasa, dia bangkit dari keterpurukan dunia hingga menjadi pengusaha sukses. Tato wajah ayahnya tergambar di lengan kanan-nya, dia percaya dengan melihat wajah almarhum ayahnya dia mendapatkan kekuatan moral yang luar biasa. Dari pertemuan di Gili Trawangan aku dan mereka sampai sekarang masih menjalin persaudaraan, bahkan mas Yoyon pernah berkunjung ke rumahku di akhir 2017.
Tantangan muncul saat pulang dari Gili Trawangan dimana saya ditipu harga oleh kernet angkutan umum, harga yang dibayar olehku lebih dari dua kali lipat harga normal, dengan paksaan yang luar biasa hingga orang-orang melihat ke arahku. Aku mengeluarkan biaya besar yang dimintanya. Tidak terduga memang mendapatkan masalah seperti ini.
Jam 11 siang terdamapar di terminal Mataram, aku bingung mau kemana lagi. Tiga jam sudah di terminal tanpa kegiatan apapun, bersyukur tidak ada orang jahat yang memaksaku untuk mengeluarkan barang berharga. Handphone berbunyi cukup keras tanda pesan baru masuk. Ternyata pesan singkat itu datang dari mas Fahru, seorang teman dari temanku di Jakarta. Dia menanyakan keradaanku dan menayakan kapan sampai di Bima - Sumbawa. Dari pesan singkat itulah saya memutuskan untuk pindah pulau ke sebelah timur. Semua agenda di Lombok hancur karena trauma dipaksa bayar mahal oleh kernet.
Bima - Sumbawa
Ini adalah perjalanan terlama ku dengan menggunakan bis, sekitar 13 jam. Berangkat dari terminal Mataram, Lombok jam satu siang dan sampai di terminal Dara Kota Bima jam 2 pagi dini hari. Perjalanan ini menghabiskan uang sekitar 300 ribu, perjalanan panjang memang dari Lombok hingga ke ujung timur pulau Sumbawa. Di perjalanan bis saya hanya tidur, jarang orang membuka obrolan basa-basi. Ada orang tua yang mengajakku berbicara tapi saya saya tidak bisa menjawabnya karena tidak bisa bahasanya.
Waktu terindah saat penyebrangan dari pelabuhan Kayangan - Lombok menuju pelabuhan Pototano - Sumbawa. Langit begitu indah, dari kuning ke-emasan hingga merah gelap. Burung laut kesana kemari menghiasi kesyahduan alam. Aku hanya bisa menikmati di dek kapal ferry bersama penumpang lainnya. Ada satu pemuda mendekatiku dan bertanya-tanya kenapa bawaanya banyak sekali seperti mau naik gunung. Saya menjawabnya santai hingga akhirnya dia tertarik dengan perjalanan-ku. Martin nama pemuda itu, dia menghedaki saya untuk menginap seminggu di rumahnya. Dia menawarkan segudang pengalaman tradisional di kampung halamannya, seperti naik kuda, ke savanna luas, dan banyak lagi. Dengan sangat menyesal saya menolaknya demi mas Fahru yang sedang menunggu.
Sampai di terminal Dara Kota Bima saya langsung mencari penginapan. Saya tidak berani untuk tidur di terminal berhubung cerita teman-teman yang cukup menyeramkan. Akhirnya saya naik ojek untuk mencari penginapan murah. Penginapan pertama tidak cocok karena sangat tidak layak dihuni terlebih lagi yang tunggu preman-preman semua. Selemparan batu ada penginapan lagi tapi semuanya waria, aku bingung. Akses internet hanya 3G dan super lelet, butuh waktu untuk buka satu halaman website. Akhirnya nemu penginapan namun harganya sedikit mahal dengan fasilitas layaknya hotel. Aku ambil keputusan mahal itu demi keselamatan. Harga naik ojek terasa mahal sekali Rp 50.000 untuk sekali jalan yang entah berapa kilometer. Aku baru sadar ditipu setelah seminggu tinggal di Bima ternyata tukang ojek itu hanya keliling komplek pertokoan saja saat itu.
Berkali-kali mas Fahru miskol tapi dering handphone tidak membangkitkan badanku yang sudah lelah. Jam tujuh pagi aku baru bangun dengan kesegaran yang sempurna. Saat itu juga saya telpon beliau. Selang sepuluh menit mas Fahru datang. Walaupun pertama kenal rasanya dia dan aku sudah kenal lama.
Mas Fahru adalah seorang budayawan Bima, mempunyai rumah baca dan pernah belajar di Malang - Jawa Timur. Saya diberi pilihan fasilitas, mau tinggal bersama keluarga mas Fahru, mau tinggal di rumah kosong dekat istana kesultanan bima atau tinggal di rumah mas Fahru. Aku memilih tinggal di rumah kosong dekat istana kesultanan Bima.
Seminggu lebih menempati rumah kosong dengan segala fasilitas itu tanpa kegiatan yang berarti, hanya wisata dan wisata. Aku juga berkunjung ke rumah teman dari sanggar kesenian. Semua seakan reuni persahabatan. Berbagai jamuan keluar untuk tamu istimewa dari jawa, aku tersipu malu saat mengambil jamuan.
Sebagai budayawan, mas Fahru menjejaliku berbagai macam kebudayaan Bima, tempat-tempat menarik di sekitar Bima. Berkat dia aku berkunjung ke Pulau Ular, saya sempat mau pingsan saat memasuki pulau kecil penuh ular itu. Sesi memegang ular laut menjadi hal mengerikan selama hidup-ku.
Kesempatan mengabdi pada negri gagal! Karena tidak bertemu langsung dengan Pak Joss. Pak Joss (Samaran) adalah mantan preman yang sudah kembali ke kehidupan baru dengan membangun sejumlah sekolah gratis kepada masyarakat di pedalaman Sumbawa. Tawaran untuk mengajar di sana sering diajukan hanya saja Pak Joss tidak ada di tempat. Mas Fahru akhirnya melewati rumah dan sekolahnya yang sederhana sekali. Aku sedikit kecewa, tapi ini jalan Tuhan.
Satu tempat bernama Donggo, dimana umat katholik dan muslim bersatu dengan harmonis sejak ratusan tahun lalu. Bukan hanya dua agama besar itu saja melainkan penganut agama tradisional juga hidup damai di sana. Kampung itu terlihat masih menggengam erat tradisinya, rumah-rumah masih beratapkan rumbia dengan arsitektur khas Bima. Kuda-kuda Sumbawa bertebaran mencari rumput dan orang tua menenun di bawah kolong rumah ditemani anjing kesayangan. Aku merasa di dunia lain yang indah.
Ketua adat yang sangat kenal dengan mas Fahru menceritakan bagaimana keharmonisan itu terjalin dan bagaimana sistem adat menjadi urat nadi masyarakat di sana. Di sini saja juga jelajah kuliner tradisional seperti mina sarua, kalebo dan lauk pauk khas lainnya. Yang paling berkesan adalah meminum soffi. Aku tidak tahu soffi itu apa, yang saya tahu hanyalah sebuah minuman tradisional khas Sumbawa dan Flores. Saat aku minum dua tenggak! Ah…. Aroma khas alkohol menyeruak di rongga mulut dan membakar kerongkonganku! Oh Tuhan aku meminumnya! Lima belas menit berlalu badan terasa terbakar, hangat. Aku hanya tertawa saja, nikmati saja sebagai hadiah dari Tuhan.
Berbagai kitab tua peninggalan kesultanan Bima dibaca oleh mas Fahru sebagai pesan moral yang ingin disematkan padaku. Hampir keseluruhan bernafaskan spiritual yang agung. Aku merasa diciprati air suci dari sang Maha Agung. Dari mas Fahru juga saya mendapatkan ilmu bagaimana menjadi seorang manusia yang asih dan menjadi orang yang perhatian pada budaya. Entah kenapa saat memasuki hutan dekat kecamatan Sape saya merasa di alam Parahyangan. Aku teringat rumah dan penghuninya.
Dua minggu berlalu begitu cepat dan terasa berat untuk ditinggalkan. Aku terdiam memikirkan perjalanan selanjutnya, Flores atau Timor? Aku memilih Flores yang lebih dekat.
Labuan Bajo - Flores
Rintangan dari bocornya ban motor, hingga mogok motor mengantarkanku ke pelabuhan Sape di ujung timur Sumbawa. Rasanya motor itu tak mampu menahan tangis melepasku, tapi itu mungkin perasaanku saja. Beruntung aku tidak ketinggalan kapal ferry yang menuju Labuan Bajo.
Setiap menit aku terpukau dengan segala keindahan alam di laut sekitar Sumbawa dan Flores, birunya laut entah berapa dalam. Sesekali ku lihat lumba-lumba mengiringi laju kapal. Kapal ferry itu tampak begitu lambat melaju, tapi nyatanya melaju dengan konstan dengan pertimbangan kekuatan angin dan juga besarnya ombak.
Sekitar lima orang wisatawan asing yang berada di kapal, saya sempat berkenalan dengan satu pasangan yang berasal dari Spanyol dan Venezuela. Dia meminta nomorku untuk menjadi tour guide online saat di Jakarta dan kota lainnya di Jawa. Dan benar saja tiga minggu kemudian mereka menelponku untuk mendapatkan petunjuk tempat wisata menarik, harga murah dan yang lainnya.
Telpon datang dari temanku di Jawa, tentu saja saya menggunakan bahasa jawa untuk menjawabnya. Usai menjawab telpon, bapak-bapak disebelahku menyapa dengan bahasaku. Aku sempat kaget dan merasa gembira, dari percakapan kecil itu kami menjadi dekat. Dia menawarkan menginap di rumahnya dan saya terima dengan senang hati.
Pak Alex, pengusaha baja ringan asal Semarang. Berpenampilan kece bagai Willy Dozan bintang laga Indonesia. Memang sedikit banyak wajahnya seperti itu. Selepas bersandar di pelabuhan Labuan Bajo saya naik mobil pick up di belakang dengan barang-barang bangunan yang dibelinya. Rumahnya tak jauh dari pelabuhan, sekitar sepuluh menit dengan mobil.
Pak Alex ternyata tidak sendirian di rumah, dia bersama anak bungsunya yang masih kelas dua SMA, Andre namanya. Aku tidur bersama karyawan Pak Alex yang berasal dari Jember. Di rumah pak Alex saya tidak berdiam saja, melainkan sebagai pengganti istri Pak Alex yang sedang berlibur ke rumah orang tuannya di Bima. Keseharianku selama dua minggu hanya memasak makanan dan pekerjaan rumah lainnya. Kegiatan wisata hanya pada siang sampai sore hari saja.
Uang sisa kembalian dari Bima ternyata ada yang kurang berarti terutama untuk uang nominal Rp 100, 200, 500, 1000. Pada umumnya masyarakat di sini menggunakan uang 5000 rupiah untuk nilai terkecilnya. Pernah aku lupa bahwa standard di sini adalah Rp 5000. Aku membeli roti khas Flores yang harganya seribu rupiah perbijinya. Saya hanya membeli dua biji saja, uangku yang nominalnya Rp 10.000 dikembalikan. Pedagang itu memberikan gratis kepadaku! Aku membeli dua biji karena takut lidah menolak dan akhirnya roti terbengkalai. Saat beradu argumen untuk menolak pemberian itu aku baru ingat bahwa standard terkecilnya adalah Rp 5000. Akhirnya aku membeli lima biji.
Waktu berlalu, aku merasa sakit. Bukan sakit badan tapi sakit batin, aku mengalami homesickness teringat orang tua dan yang lainnya. Keputusanku untuk melanjutkan ke pulau Sumba dan Timor batal karena sakit parah ini. Apa mungkin juga karena jawaban-jawaban kehidupan sebagian sudah terjawab. Aku termenung lama di atas bukit yang menghadap laut.
Tiga hari sebelum keberangkatan aku membuka aplikasi tiket penerbangan dan akhirnya perjalanan ke timur berakhir di Labuan Bajo. Segala pengalaman kehidupan sudah menjawab beberapa nomor. Aku berterima kasih kepada semua orang yang mengasihiku selama di perjalanan dan maafkan untuk semua saudara-ku di Jawa yang kesal karena panggilan telpon dan pesan singkat tidak pernah di jawab.
Aku percaya teman pendengar lainnya mempunyai pengalaman yang berharga lainnya, saya harap ada yang bercerita kembali tentang kehidupan. Sampai jumpa lagi...
Komentar