Hutan Wakakak menyimpan sejuta kehidupan makhluk hidup, hewan liar beranak pinak dari generasi ke generasi. Hijaunya dedaunan membuat kelimpahan bahan makanan, setiap hewan mempunyai mangsanya sendiri. Termasuk si itik, musang dan burung elang.
Dalam perjalanan iringan itik terlihat santai dan membuat perut musang terasa keroncongan, rasa lapar menikam setiap sudut dalam lambung dan usus. Begitupun sang elang melihat kedua jenis hewan itu. Sorotan mata tajam dan semakin liar seiring perut yang mulai kosong.
Seketika musang mencegat itik dengan kasarnya akan memangsa anak-anak itik.
Itik: "Tolong kasihinlah hamba tuan, hamba hanya ingin hidup dan bahagia bersama anak-anak hamba".
Musang: "Tidak ada kasihan di sini, apa guna kamu memelas! Semua tiada guna!"
Itik: "Tolonglah hamba, lihatlah anak-anakku baru berumur tujuh hari. Janganlah mangsa anak-anakku, aku sangat mencintainya. Apakah tuan tidak mempunyai rasa kasihan pada anak-anak? Dimana hati nurani tuan?"
Musang: "Aku sendiri mencintai anak-anakku dan mereka sedang lapar sekarang".
Itik: "Tuan dimana nurani tuan sekarang?"
Musang: "Apa hal soal nurani?"
Itik: "Cinta kasih adalah bentuk suatu rasa dari nurani yang datang langsung dari Tuhan. Apa tuan tidak malu pada Tuhan, padahal tuan sendiri dikenal dengan ahli ibadah".
Musang: "Hai itik perutku dan anak-anakku tidaklah bisa diisi dengan sayuran dan kau perlu tahu bahwa Tuhan menciptakan mahluknya untuk sesuatu yang tidak dapat dimengerti. Apa kamu tahu maksud semua ini?!"
Keak...keak...keak.... Burung elang terbang membentuk lingkaran di atas mereka dengan mata tajam untuk seonggok daging.
Cerita ini saya persembahkan untuk orang yang perlu disemangati hingga akhirnya nanti. 21:49 - Pamarican 1 Agustus 2020.
Komentar