Tak ada lagi guyonan kuli Kulawirta untuk abdinya Nuripin, kini kehidupan kembali pada rumah masing-masing bersama keluarga dan istrinya. Tidak ada lagi gairah birahi dari setiap wanita di jalanan, tayuban tak digerakkan oleh Jayengraga maupun Kulawirya. Begitupun Nuripin hidup tenang tanpa kutukan dan gurauan dari Kulawirya. Pada jilid 11 ini akan menceritakan bagaimana perpolitikan yang ada, kisah hukum mati Syekh Amongraga ini layakanya cerita Al Hallaj, Socrates dan Syekh Siti Jenar.
Hukuman mati yang berdasar dari rasa ancaman kekuasaan, di sini Syekh Amongraga dihukum mati persis seperti Socrates, dan Syeh Siti Jenar, mereka berdua mempunyai banyak santri sehingga menimbulkan kerisauan politik dari penguasa.
Terdiri dari lima bagian cerita, Serat Centhini 11 merupakan salah satu yang mempunyai sub-cerita yang banyak. Sub-cerita mengisahkan tentang Syekh Amongraga dan selebihnya tentang pengembaraan kembali dari keluarga besar Wanamarta. Inilah puncak dari sebuah pencarian Kemanunggalan Jati.
Tiba saatnya 'hukuman' itu dilaksanakan atas perintah Sultan Mataram, Ki Tumenggung Wiraguna pun melaksanakan dengan membuat bronjong. Tanpa perlawanan Syekh Amograga masuk bronjong dan dilarung ke laut selatan. Kesedihan terkucur deras dari mata pengikut Syekh Amograga, tak terkecuali abdi yang sejak kecil merawatnya. Kesedihan mendalam tertanam di sanubari Ki Jamal Jamil hingga akhirnya pergi ke Wanamarta untuk mengabarkan hukuman mati Syekh Amongraga.
Kehidupan Ni Tambangraras berubah total setelah kabar meninggalnya Syekh Amongraga, kini janda tanpa anak itu mulai bersolek, hidup seperti wanita normal lainnya. Kecintaan terhadap Syekh Amongraga masih tergenggam erat, bahkan banyak yang melamar tetap ditolaknya. Hingga ada seorang yang bernama Sarwojajat ingin melamarnya, tatao ditolak. Merasa ada yang kurang Ni Tambangraras mengungkapkan keinginannya untuk berkelana kepada Centhini, sang abdi sejati. Centhini menyetujui dan ikut serta, Ni Tambangraras memulai pengembaraannya dengan nama baru yang ia berikan pada dirinya sendiri. Ni Rubiyah Selabrangta.
Hutan, ladang, gunung dan desa terlewati hingga singgah pada kampung nan permai, kampung tersebut sangat asri, mempunyai masjid dengan arsitektur menawan, ukirannya indah sekali. Tak dinanya masjid yang dikunjungi adalah milik adik iparnya Ki Mangunkarsa atau Jayengsari. Di sinilah pertemuan agung dan kejadian mengenaskan terjadi. Setelah saling mengenal Ki Mangunkarsa memerintahkan abdinya untuk memberi tahu pada Syekh Agungrimang (Cebolang) untuk diteruskan kepada istrinya Rancakapti. Saat diberitahukan tentang kematian kakaknya Rancakapti pingsan dan meninggal, begitu juga Ki Mangunkarsa menyusul adiknya. Bertambah sedih lagi Ni Selabrangta atau Ni Tembangraras tersenyum dan menutup mata untuk bertemu dengan suaminya.
Kehidupan "kedua" muncul karena maunah dari Syekh Amongraga yang sejatinya hanya mati raga saja. Pertemuan agung ini sangat menyayat hati, tangis bahagia terpancar sempurna. Begitupun dengan Centhini yang akhirnya menikah dengan Santri Monthel (Santri Buras), pernikahan itu diwalikan oleh Syekh Amongraga, sementara yang menjadi penghulu Syekh Anggungrimang (Cebolang). Setelah dinikahkan Centhini dan Santri Mothel diberikan padepokan di Jurangjangkung.
=========================================================
Tangis tiada henti selalu bercucuran dari mata Ibunda Niken Tambangraras, air matanya pertanda tidak rela ditinggal oleh anak perempuan satu-satunya. Kegelisahan ini membuat Ki Bayi merasa sangat pedih, dititahakan kedua anaknya untuk mencari Ni Tembangraras. Kini pengembaraan anaknya direstui oleh kedua orangtuanya, segala persiapan sudah direncanakan dengan baik. Dalam perjalanan kedua anak Ki Bayi menginap di setiap tempat yang dirasa pas, perjalanan kali ini memang berbeda, Jayengraga yang sebelumnya masih bermain dengan birahi kini bisa menahannya. Perjalanan ini juga tidak melibatkan abdi Nuripin maupun pamannya, Kulawirya.
Kehendak Shang Hyang Sukma memang lebih utama, dalam perjalanan mereka melakukan tirakat dan menemui orang-orang berilmu. Saat berada di rumah Ki Modang datanglah kabar adanya Santri Monthèl yang akan pergi ke Wanamarta untuk sebuah kabar gembira. Di sisi lain kesedihan istri Jayengraga dan Jayengresmi tak terbendung hingga akhirnya mereka melakukan pengembaraan.
=========================================================
Kabar bahagia dari Santri Mothel menggema di seluruh Wanamarta dan berangkatlah Ki Bayi dan istrinya untuk pertemuan agung di Wanataka. Pengembaraan ini tidak mulus seperti yang semua orang inginkan, melainkan mendapatkan rintangan seperti pada umumnya. Walaupun Ki Bayi mempunyai maunah, cobaan tetaplah ada. Mulai dari tersesat, cuaca yang tidak mendukung dan lain sebaginya. Pengembaraan ini ternyata mendapatkan hal yang membahagiakan seperti bertemu dengan teman lamanya semasih muda. Diketahui bahwa Ki Bayi muda adalah seorang bencolèng.
Pertemuan besar ini memang susah dijelaskan terlebih untuk akal pikiran ataupun bagi orang awam. Hanya orang tertentu yang mendapatkan ilmu makrifat saja yang bisa. Beberapa kali Niken Tambangraras dan Syekh Amongraga berjumpa bercengkrama dengan mertuanya. Hingga beberapa hari Ki Bayi berada di Wanataka, sementara dua anaknya enggan pulang demi bertirakat menggapai kesempurnaan.
Jilid ini diakhiri dengan kepulangan Centhini dan Santri Mothel ke Wanataka, perpisahan ini ditangisi banyak kerabat Wanamarta. Tak sedikit oleh-oleh sebagai kenang-kenangan untuk Centhini yang yelah setia pada Niken Tambangraras.
Judul: Serat Centhini 11: Akhir Perjalanan Syekh Amongraga - Awal Menuju Penitisan Trah Mataram
Penutur Ulang: Agus Wahyudi
Penyelaras: Tri Admojo
Cetakan: Pertama, 2015
Dimensi: x+422 hlm, 15x23 cm
Penerbit: Cakrawala Yogyakarta
ISBN: (10): 979-383-291-6 & (13):978-979-383-291-3
Komentar