Inilah akhir dari serat tertebal di Nusantara, jilid 12 sebagai penutup dari semua jilid yang ada. Menutup dalam sebuah kasempurnan jati pada diri Shang Hyang Widi. Dalam penutup terjadi banyak pertukaran ilmu tentang kesempurnaan, satu sisi yang belum sempurna dimasukkan kesempurnaan dari sisi lain. Simbol wayang selalu menjadi gambaran seperti apa itu manusia dan zat ilahiah. Ajaran dalam Serat Centhini jilid 12 ini seperti dalam torikoh naksyabandiyah dan yang lainnya.
Keluar dari isi jilid 12, Serat Centhini lahir pada tahun dimana masyarakat Jawa saat itu masih banyak yang menganut agama Hindu Buddha, jelas hal ini mempengaruhi isi ceritanya. Banyak kata yang menyebutkan nama Tuhan dengan Shang Hyang Widi, Manon, Wenang dan yang lainnya. Diceritakan juga kehidupan beragama saat itu sangat bertoleransi antara pemeluk Buddha dan Islam saling melengkapi dan menghargai.
Kehidupan sukmawi Syekh Amongraga dan Niken Tambangraras tidaklah mulus, ada juga rintangannya. Maunah Syekh Amongraga membuat pulau Besi menjadi tempat berguru, mendapatkan emas, berlian, permata terkenal seantero Nuswantara. Beberapa pemuka agama pun ada yang iri, salahsatunya Datuk Ragarunting dari pulau dekat Bengkulu. Dirinya memanglah seorang guru, namun masih saja dihinggapi nafsu duniawi dan birahi. Saat itu Datuk Ragarunting menguji Syekh Amongraga dengan meminta Niken Tambangraras untuk menjadi istrinya, beruntung jawaban Niken Tambangraras bisa menangkalnya. Terlepas dari keserakahan Datuk Ragarunting, ada seorang guru dan juga santri di pulau Sumatera yang ingin berguru pada Syekh Amongraga, Ki Rangasmara namanya. Dia diizinkan berguru pada Syekh Amongraga dalam wujud halus.
Lima tahun sudah kedua anak Ki Bayi tinggal di Wanataka hingga benih buah-buhan telah mekar, berbuah hingga dipetik warga. Interaksi dengan Wanamarta pun tak pernah terdengar, hingga akhirnya semesta memanggil untuk sebuah pertemuan kembali. Saat perjalanan kunjungan ke Wanamarta mereka menyempatkan diri untuk singgah ke kediaman Syekh Malangkarsa di Ardipala.
Perjalanan menuju Wanamarta selalu diiringi oleh jamuan-jamuan istimewa dari sahabat Ki Bayi, selain berbagi ilmu juga terdapat berbagai ujian yang datang terutama di dalam hutan yang angker. Banyak manusia jadi-jadian alias siluman menggoda mereka. Salah satu yang terkena ulah siluman di hutan angker itu adalah Ni Pelangi , dua mendapatkan ganjaran berupa pemerkosaan oleh genderwo. Ni Pelangi menjerit kesakitan, mata melotot dan mengejan karena tak kuat dimasuki penis besar milik genderwo. Kejadian ini memang bukan tanpa sebab, awalnya Ni Pelangi ini memang ganjen dan selalu menggoda Jayengraga. Kegagahan Jayengraga membuat birahi Ni Pelangi naik ke ubun-ubun walaupun di perjalanan ditemani oleh sang suami. Banyak usaha yang dilakukan Ni Pelangi untuk mendapatkan Jayengraga.
Ni Pelangi sengaja menabrak, menempel dan menjatuhkan nadannya ke Jayengraga hingga tangannya mampu meraih penis Jayengraga yang besar. Puas hati Ni Pelangi, adapun Jayengraga merasa risih juga birahinya terpancing. Beruntung naluri ilahiahnya masuh terjaga sehingga masih suci. Jayengraga pun teringat masa mudahnya saat menemu beberapa perempuan yang pernah dijahilinya, juga teringat akan masa dimana dirinya pernah bersenggama dengan dua ronggeng lelaki.
"Sementara itu Jayengraga menoleh pada dua penembang tersebut sambil tersenyum, ada kegetiran di raut wajahnya, terbayang dulu saat ia masih gila dalam perbuatan maksiat. Terkenang masa-masa jayanya sebagai lelaki penakluk yang dengan mudah mampu menggiring para wanita yang diinginkannya ke ranjang untuk ia hisap sari kenikmatannya. Teringat pula bagaimana gilanya dulu saat dirinya bermain tari ronggeng bersama Surat dan Senu, dua remaja kemayu yang akhirnya ia ajak bermain asmara menyimpang di atas ranjang. Andai saja keadaan masih sama seperti dulu maka pastilah Anggungrimang dan Piturun sudah bersamanya di atas ranjang membungkuk-bungkuk lalu ia gendong dengan kikikan suara cabul".
Pertemuan agung ini laksana musyawarah besar yang saling bertukar ilmu baik dari Ki Bayi, sahabat-sahabat lama Ki Bayi, Kulawirya, Syekh Mangunarsa dan semuanya. Mereka bertukar pengetahuan saling melengkapi, begitu juga tentang kisah-kisah lawas mereka saat menjadi santri dahulu. Saat mereka bercerita soal seseorang sahabat Ki Bayi, Kulawirya juga menceritakan pertemuan dengan seseorang tersebut saat melakukan pencarian Syekh Amograga. Seperti sebuah kilas balik yang bermakna.
Pertemuan agung ini nampak hambar, jelas saja Ki Bayi selalu menyerahkan segalanya pada Syekh Mangunarsa (Adik Syekh Amongraga). Ki Bayi memilihnya berhubung watak dan paras yang identik dengan kakaknya. Walaupun ada Syekh Mangunarsa, Ki Bayi tetap saja mendamba kehadiran Syekh Amongraga dan Niken Tambangraras. Hingga akhirnya penyatuan doa dengan jalan torikot dan lelaku prihatin membuat Syekh Amongraga yang hidup di alam suksma hadir. Kehadirannya disambut dengan tangis bahagia dengan harapan banyak ilmu yang terbagi bagi siapapun yang menyaksikan dan hadir di majelis itu. Namun sayang dalam penjelmaan di alam kasar Syekh Amongraga dan Niken Tambangraras tidak lama, hanya sampai subuh hari saja.
Setelah pertemuan dan perpisahan agung tersebut, cerita berakhir. Namun ada segmen lain, perjalanan sukmawi Syekh Amongraga yang saat itu bertemu dengan Jatiswara. Sosok santri yang mencari ilmu kesempurnaan, cerita singkat ini gambaran kecil dari perjalanan Jayengraga dan Jayengresmi. Paham pada ilmu, namun masih kadang mencicipi gairah birahi. Digambarkan bahwa Jatiswara adalah saudara kandung dari murid Syekh Amongraga yang sudah masuk alam sasmita, dia adalah Ki Rangasmara.
"Jatiswara hanya bisa berpasrah diri, dirinya sendiri. Ia bercakap dengan batinnya sendiri, Sebenarnya apa yang ada di dalam gua ini? Sebenarnya ada berapa lapis gua di sini? Sebelum memasuki, ingin rasanya memasuki gua ini. Tapi setelah masuk dan sampai pada lapis kesembilan malah menemukan kebuntuan dan kegelapan. Batinnya menjawab, Sebenarnya gua ini adalah ragamu sendiri. Diri selalu ingin menuruti nafsu badani. Kalau sudah dituruti maka ia akan minta dituruti lagi dan lagi. Semakin dituruti maka semakin minta lagi, sampai pada puncaknya akan menemukan kegelapan dan kebuntuan".
Judul: Serat Centhini 12: Dua Sejoli Hidup Bahagia di Alam Kesempurnaan
Penutur Ulang: Agus Wahyudi
Penyelaras: Tri Admojo
Cetakan: Pertama, 2015
Dimensi: x+410 hlm, 15x23 cm
Penerbit: Cakrawala Yogyakarta
ISBN: (10): 979-383-292-4 & (13): 978-979-383-292-0
Komentar