Ini adalah jilid terakhir untuk pengembaraan kerabat Wanamarta, jelas pada jilid ini akan banyak sekali hal-hal yang menarik. Terdapat 23 judul cerita, pokok cerita masih sama tentang perjalanan, agama, nafsu birahi, nasehat, budaya, perkawinan dan lain sebagainya. Dilihat dari judul-judulnya tampak menarik dan lebih seru dari jilid sebelumnya.
Baru tersadar di jilid 10 ini, budaya Jawa memang kurang begitu menggunakan kiri dan kanan dalam menunjukkan jalan. Kiri dan kanan tidak ada pada semua buku Serat Centhini yang ada arah mata angin. Persis dengan kehidupan nyata masyarakat Jawa yang selalu menunjuk arah mata angin jika menunjukkan suatu tempat ataupun jalan.
Ki Demang Wiracapa layaknya sahabat lamanya dari Wanamarta, Ki Bayi Panurta mencintai agama dan juga pada kebudayaan. Terbukti dirinya masih mencintai gamelan, Ki Wiracapa sendiri menjelaskan makna falsafah dari gamelan yang semestinya selaras seperti kehidupan beragama dan kehidupan sehari-hari. Bukan hanya gamelan Ki Wiracapa juga menjelaskan tentang wayang dan ilmu rasa sejati. Hajatan penyambutan kerabat Wanamarta sedang dilaksanakan dengan tayuban, semua tampak menikmati hampir seluruh wilayah kademangan berduyun-duyun menonton juga memberikan sumbangan kepada Ki Wiracapa.
Menjelang pagelaran wayang bagor tiba-tiba anak Ki Demang Wiracapa pulang ke rumah dengan keheranan karena ada tratag besar. Adalah Rara Retno Ginubah perawan tua dengan penampilan tomboy, berbicara ngoko kepada siapapun termasuk pada orang tua sendiri. Ia lebih senang berburu dan tinggal di hutan daripada menjadi perempuan biasa. Nyatanya kerabat Wanamarta tercengang akan pengakuan Rara Ginubah, yang lebih tahu tentang Syekh Amongraga berada. Sontak semua kerabat Wanamarta terdiam.
Tak disangka Jayengraga menikah dengan segala drama yang ada, pernikahan dengan Rara Widuri menjadi penghambat perjalanan sehingga ada penundaan. Malam pernikahan selalu didengungkan gamelan dan salawatan, pengantin baru pun ikut berdendang. Hanya saja sang istri lebih birahi, selangkannya selalu basah saat melihat suaminya. Jika dibandingkan sifat birahi Rara Widuri sama seperti dengan Ni Janda Sembada di desa palur, penuh dengan birahi. Kondisi memperhatinkan terjadi oleh paman Jayengraga, Kulawirya. Zakar kebanggannya terkena racun berbisa dari Ni Asem Sore yang menularkan penyakit raja singa. Beruntung Ki Kulawirya mendapatkan wangsit dari mimpi, dalam mimpinya Jamal Jamil memberikan resep mujarab.
"Jayengraga undur diri meskipun ada rasa enggan. Langsung menuju kamar dan masuk ke dalamnya. Begitu melihat suaminya datang, Widuri yang tengah tiduran langsung bangkit dan memeluknya, menangis sambil terus merengek minta disetubuhi. Jayengraga kurang menanggapi hingga membuat Widuri terus meminta, ia lepas semua pakaiannya sampai telanjang bulat. Lalu giliran suaminya yang ia lucuti satu persatu. Jayengraga masih enggan, tak enak hati dengan kelakuan istrinya. Namun birahi Rara Widuri sudah tak bisa ditahan lagi, ia memagut dan menciumi tubuh suaminya yang berlaku dingin. Jayengraga memang kurang berselera, dalam hati ia berkata, Perempuan ini begitu liar, tak punya rasa malu. Tidak mencerminkan diri sebagai seorang putri bangsawan. Benar-benar tak tahu adat."
Kultur di Lembuasta sangat berbeda dengan Wanamarta yang menjunjung tinggi syariat agama. Walaupun seperguruan dengan Ki Bayi Panurta, Ki Demang tidak melaksanakan syariat agama ketat. Dia lebih 'toleran' pada adat yang sudah medarah daging di Lembuasta. Beberapa kultur yang ada seperti minum arak dan juga bermain judi, di ceritakan bahwa taruhan di Lembuasta bisa habis-habisan. Bahkan istri pun bisa jadi barang taruhan. Terlepas dari masyarakat yang masih senang berjudi dan mabuk-mabukan, Ki Demang juga selalu memberikan wejangan keagamaan kepada Kulawirya, Jayengresmi ataupun Jayengraga.
"Jawab Ki Wiracapa, "Keduanya tak ada bedanya dalam makna. Hanya saja penerapannya berbeda. Panarima itu adalah menerima yang arahnya ke atas (Tuhan) sedangkan trima itu adalah menerima yang arahnya ke bawah. Panarima itu artinya menerima semua pemberian dari Gusti Allah. Adapun trima itu adalah menerima pemberian dari orang lain, misalnya diberi sandang dan pangan oleh seseorang lalu ia menyembah-nyembah sambil mengucapkan terima kasih."
Rajasinga tak melunturkan birahi Kulawirya, tiga ronggeng ditungganginya dalam satu malam. Fajar timur menyingsing Kulawirya masih tergiur dengan gundukan bersemak Ni Gendra sang ronggeng primadona. Keribuatan pada malam pengantin akibat kecemburuan Ni Rara Widuri pada Jayengraga membuat pisah ranjang. Birahi Jayengraga tak kalah kuat dengan pamannya sehingga dua ronggeng yang masih tersisa di Lêmbuasta ditungganginya sebagai penganti istri sah.
Dengan segala pertimbangan baik dari Jayengresmi, Jayengraga dan Kulawirya memutuskan untuk kembali ke Wanamarta. Berbagai kejadian membuat sebuah pencarian berada di titik balik yang tiada membawa hasil. Seperti biasanya perjalanan dimulai selepas sembahyang subuh. Ki Demang Wiracapa dan istri melepaskan kedua anak angkatnya hingga bayang-bayang hilang ditelan jarak. Dalam perjalanan pulang Jayengresmi tak begitu saja pulang, namun menyempatkan diri untuk bertirakat di tempat-tempat wingit. Juga berkunjung ke Syekh Ekawardi, di sana mereka mendapatkan wejangan-wejangan tentang hidup dan agama. Tak lupa Syekh Ekawardi memberikan petunjuk untuk tidak mencari Syekh Amongraga dan menyuruh pulang saja ke Wanamarta.
Judul: Serat Centhini 10 - Akhir Pengembaraan Kerabat Wanamarta
Penutur Ulang: Agus Wahyudi
Penyelaras : Tri Admojo
Cetakan: Pertama, 2015
Dimensi: x+354 hlm, 25x23 cm
Penerbit: Cakrawala Yogyakarta
ISBN: (10): 979-383-290-8 & (13): 978-979-383-290-6
Komentar