Jiwa saya memang sejak SMA sudah menyukai hal yang berhubungan dengan zaman kolonial, terlebih lagi tentang pergundikan. Dalam pergundikan ada rasa sensual, pemahaman berkebudayaan dan agama, rasa cinta dan juga berbagai aspek lainnya. Dari pergundikan inilah melahirkan bukan saja seorang manusia ras campur, tapi juga kebudayaan dan pemahaman yang baru. Buku yang saya beli daring pada tanggal 8 Maret 2021 dikarang oleh Reggie Baay, seorang turunan hasil pergundikan antara tuan Belanda dan gundik pribumi (Jawa). Beliau mempunyai keinginan besar dalam mengorek tentang apa yang ada dalam aliran darahnya yang tersirat. Darah pribumi yang tertutupi oleh superioritas Barat menjadi mutiara hitam yang susah dicari, berkat kegigihan dan naluri untuk menyelusuri jejak "darahnya" beliau mengerjakan buku yang fenomenal ini.
Buku ini lumayan tebal dengan jumlah halaman 313 ditambah dengan halaman-halaman yang tidak termasuk nomor. Diawali dengan kata Reggie yang sangat menyentuh pada moyangnya yang papa:
"Untuk Moeinah, yang tidak pernah bisa menceritakan kisah hidupnya kepada saya".
Barisan kalimat yang sangat menyentuh hati bagi seorang manusia ras campuran turunan gundik. Karena superioritas, budaya dan situasi saat itu membuat Moeinah tak pernah bisa menceritakan kisah hidupnya yang 'hina' kepada anak cucunya yang berkulit putih dan berkedudukan di atas kehormatannya.
Reggie menyusun buku ini begitu apik mulai dari sebab musabab pergundikan, situasi politik rasial saat itu, hingga pada cerita nyata dari para gundik dan tuannya dengan berbagai versi cerita mulai dari sedih hingga bahagia. Bagiku buku ini adalah buku yang sangat lengkap untuk mengorek tentang pergundikan di Hindia Belanda. Buku tentang pergundikan di Hindia Belanda sangat langka, hanya beberapa cerita berbentuk roman atau novel yang memuat tentang kisah pergundikan seperti Nyai Dasima yang tersohor.
Rumitnya pergundikan di Hindia Belanda diawali dengan adanya kebutuhan seks dari orang-orang Belanda yang bermukim di Hindia-Belanda, saat itu perempuan Eropa (Belanda) sangat sedikit sehingga memungkinkan para lelaki Eropa untuk menyalurkan birahinya pada orang pribumi. Pada kamp-kamp militer mereka memulai pergundikan hingga muncul penyakit gonore dan sifilis. Pergundikan ini berlanjut ke masyarakat sipil dan perusahaan-perushaan. Dari fenomena ini nikah muncul berbagai masalah yang berbenturan dengan norma-norma dan hukum yang legal saat itu. Para nyai (gundik) paling menderita baik psikis dan tubuhnya, namun tidak semua nyai merasakan pedihnya menjadi gundik. Ada juga nyai yang merasakan kenikmatan jiwa raga oleh karena harta dan cinta tulus dari sang tuan. Namun lagi-lagi mereka mendapatkan masalah yang kurang enak berhubung dengan norma dan aturan.
Penderitaan bukan saja pada gundik-gundik pribumi, melainkan juga pada anaknya. Penderitaan psikis adalah masalah utama pada mereka dengan warna kulit yang berbeda, wajah ataupun mata yang berbeda menjadikan mereka hal yang pelik untuk menjalani hidup. Reggie menceritakan bukan saja perempuan pribumi yang menjadi gundik, melainkan juga para perempuan Tionghoa yang tinggal di Hindia-Belanda saat itu.
Beberapa cerita para nyai tersedia di sini mulai dari Nyai Dasima, Nyai Djalma, Nyai Moeinah, Minah dan lain sebagainya. Dari tokoh-tokoh tersebut mengandung banyak cerita mulai dari yang selalu dirundung kemalangan, kecintaan yang tulus, kesetiaan dan pengkhianatan. Semua tersaji dengan menarik termasuk dengan adanya foto sebagai bukti nyata dari riwayat nyai (pergundikan).
Hingga pada akhirnya Perang Dunia II meletus dan pergundikan mulai hilang dari tanah Hindia-Belanda hingga akhirnya kemerdekaan Indonesia. Para nyai kembali pada kehidupan yang merdeka, adapula yang ikut dengan ketulusan cintanya bersama sang tuan ke negeri Eropa. Bagi seorang yang mempunyai turunan dari pergundikan adalah hal yang sangat merindukan terlebih jika jalur ibu (nyai) yang hilang oleh karena hukum dan norma yang menyebabkan mereka bungkam.
Judul Buku: Nyai dan Pergundikan di Hindia-Belanda
Penulis: Reggie Baay
Penyunting: Dahlia Isnaeni dan Rahmat Edi Susanto
Penerjemah: Siti Hertini Adiwoso
Cetakan: Kedua, April 2017
Penerbit: Komunitas Bambu
Dimensi: xx + 316 hlm; 14x21 cm
ISBN: 979-3731-78-8
Komentar