Ki Ageng Suryomentaram terlahir menjadi putra mahkota dari Sultan Hamengkubuwana VII, jalan kehidupan dari Ki Ageng Suryomentaram ini tak jauh beda dengan Sidharta Gautama. Dari kehidupan istana, keluar istana dan menemukan fakta kehidupan yang berbeda hingga kegundahan melanda. Dari berbagai pertanyaan kehidupan inilah Ki Ageng Suryomentaram meninggalkan keraton untuk mencari sebuah kehidupan sejati. Persis Sidharta Gautama, pantas kiranya Ki Ageng disebut sebagai Sidharta Gautama dari Jawa.
Berbagai peristiwa kehidupan memberikan pembelajaran sangat berarti untuk Ki Ageng. Dari pelajaran tersebutlah Ki Ageng menyusun kitab berupa petuah untuk kehidupan. Konsep kehidupan yang harmonis atau seimbang, disamping itu Ki Ageng juga mengesampingkam klenik dan lebih memilih logika dalam berbagai ajarannya. Ada cerita saat perang Agresi Militer Belanda para pejuang Indonesia mengharapkan jimat dari Ki Ageng, semua pejuang mendapatkan jimat tersebut. Ki Ageng berwasiat agar tidak membuka jimat tersebut kala melawan Belanda. Al hasil semua pejuang yang memegang jimat berhasil lolos dari maut. Beberapa orang penasaran dengan jimat dari Ki Ageng, suatu waktu dibukalah. Bukan main ternyata hanya tulisan seperti mencemooh "Mati Bukan Urusanku". Beberapa pejuang sempat kecewa, namun apa yang ditulis adalah kenyataan bahwa matinya seseorang bukanlah urusan manusia, melainkan Tuhan semata.
Buku ini mempunyai 12 bab, dalam satu bab mempunyai sub-sub judul yang menarik. Diawali dengan sejarah kehidupan Ki Ageng Suryamentaram, Kaweruh Jiwa, Wejangan Filsafat Rasa hingga Tata pergaulan. Buku ini berisi 226 halaman dengan huruf dan spasi yang lumayan enak dipandang, sehingga memudahkan pembaca untuk menyelesaikannya. Walaupun seperti cukup 3-4 jam, saya sendiri menghabiskan lebih dari 2 hari untuk menyelesaikannya. Bahasa yang digunakan jelas sederhana dan enak. Beberapa kutipan Ki Ageng dalam bahasa Jawa disertakan, seakan-akan untuk menambah jumlah halaman. Namun, tak kenapa bisa menjadi sebuah pengetahuan.
Berbagi contoh kehidupan menurut Ki Ageng ditulis dengan gaya dan kenyataan hidup zaman ini, sehingga pembaca lebih mudah untuk mengimajinasikan atau masuk pada apa yang menjadi gagasan penulis ataupun gagasan dari Ki Ageng sendiri. Sebagai contoh gagasan kehidupan Mulur Mungkret (Memanjang Memendek), konsep ini terjadi pada setiap kehidupan manusia, di mana harapan akan memanjang jika penunjangnya sempurna. Sebaliknya jika penunjang kurang sempurna harapan menjadi mungkret (memendek). Konsep kebahagiaan dijabarakan juga, bahwa kehidupan manusia itu berisi bahagia dan sengsara mempunyai sifat yang tidak kekal. Kali ini bahagia, besok sengsara.
Ada satu halaman yang menceritakan kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa yang kadang menjadi guyonan. Terlebih sifat masyarakat Jawa yang legowo dan banyak bersyukur, halaman 106.
"Seandainya sakitnya tidak kunjung membaik hingga meninggal, tanamkan bahwa berjuta-juta orang mati maka dapat dipastikan perjalananku akan sama dengan berjuta-juta orang yang telah mati tadi. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan sekarang. Misalnya jika terjadi tabrakan, ambillah sikap positifnya, "untunglah anak dan istriku tidak ikut", "beruntung aku tadi berguling sehingga kepalaku terhindar dari roda truk tadi", "beruntung waktu rumahku roboh akibat gempa, keluargaku ada di luar rumah", dan lain sebagainya. Pada hakekatnya yang membuat senang dan susah bukanlah barang yang didapat tetapi rasa keinginan yang tercapai akan tumbuh rasa senang dan rasa keinginan yang tidak tercapai akan menyebabkan rasa sedih."
Penulis: Paramudya Wagindra
Penyelaras: Rika
Cetakan: Pertama, 2022
Dimensi: 14x20 cm, x + 226 halaman.
Penerbit: Java Book - Yogyakarta
ISBN: —
Komentar