Tahu bulat digoreng...
Dadakan
Limaratusan
Enak...
Dadakan
Limaratusan
Enak...
Demikian sebait susunan kalimat ajakan dari pengeras suara yang selalu distel oleh penjual tahu bulat. Tahu bulat memang paling enak dimakan saat digoreng dadakan. Walaupun cerita kali ini tidak ada hubungannya dengan tahu bulat tapi ada sedikit hubungannya pada kata "dadakan". Bagi saya yang sering jalan-jalan (sombong) kata dadakan adalah kata yang sangat umum bagi para backpacker ataupun pendaki. Umumnya mereka beranggapan segala yang dadakan terutama plesir dadakan adalah yang nikmat dan biasanya akan mendapatkan cerita lebih seru, dramatis dan bisa menghasilkan novel berjilid-jilid.
Pintu Gerbang Kawasan Wisata Curug Tujuh Cibolang |
Bisa jadi pepatah kuno yang berbunyi "sambil menyelam minum air" cocok untuk perjalanan kali ini. Bagaimana tidak cocok dengan pepatah kuno itu wong saya nemenin tetangga untuk membuat SIM di Polres Ciamis yang jauhnya sekitar 30 Km selepas membuat SIM kami berdua langsung melanjutkan perjalanan ke arah utara dan semakin menjauh dari tempat asal kami. Awalnya sempat bingung mau kemana, maklum saja uang yang dibawa hanya Rp 50.000 tidak lebih jadi agak segan kalau pergi agak jauh misalnya ke Tasikmalaya ataupun ke daerah lainnya. Tak ada tawaran khusus dari Imam (tetangga) sebagai orang yang mengajak saya dalam perjalanan ini, dia pun bingung mau kemana selepas urusan di Polres selesai. Ada sedikit ide yang tersisa di kudapan otak dan ia adalah Curug Cibolang atau disebut juga Curug Tujuh.
Curug Cibolang atau juga Curug Tujuh ini berada di Desa Sindangtaman Kecamatan Panjalu Kabupaten Ciamis. Kalau diukur dengan Google Maps sekitar 2 Jam dari rumahku dan 1 jam keberangkatan dari Kota Ciamis. Sesuai dengan namanya Curug Tujuh mempunyai tujuh buah curug/air terjun yang sangat jernih airnya dan tidak kering saat musim kemarau. Tempat wisata alam ini masih dikelola oleh Perhutani Ciamis bukan oleh pemerintah setempat ataupun oleh Kabupaten. Sedikit informasi bahwa tempat wisata ini merupakan salah satu tempat wisata unggulan di Ciamis. Ya maklum saja selepas Pangandaran mendirikan pemerintahannya sendiri, Ciamis mulai kelimpungan karena tidak mempunyai tempat wisata andalan lagi.
Tempat wisata unggulan Ciamis memang tidak sedikit hanya saja pengunjungnya yang sedikit, maklum saja tempat wisata unggulan Ciamis pada umumnya merupakan wisata relijius, wisata sejarah, wisata budaya dan wisata alam. Kalau dilihat dari sejarah, Ciamis itu sangat kaya sekali akan sejarah peradaban Sunda terutama pada masa kerajaan besar Galuh. Maka dari itu wisata sejarah, budaya dan relijius banyak ditemukan di Ciamis misalnya objek wisata Ciung Wanara, Situ Buled Panjalu, Astana Gede, Kampung Adat Kuta dan yang lainnya.
Alun-alun Surawisesa Dan Masjid Agung Kecamatan Kawali |
Kalau untuk wisata alam di Ciamis lumayan banyak hanya saja belum dikelola dengan baik oleh pemerintah desa/kecamatan dan Kabupaten, jadi wisata alam hanya sebatas "potensi". Mirisnya lagi satu wisata andalan Kabupaten Ciamis (Megawisata Icakan) tutup usia di tahun ini (2018), entah karena alasan apa tempat wisata yang cukup fantastis ini tutup dan dijadikan komplek pesantren. Ya sudah semua persoalan wisata itu milik pemerintahan setempat, saya hanya sebatas rakyat yang hanya bisa berharap.
Kembali ke topik utama ke perjalanan menuju Curug Tujuh. Di perjalanan saya hanya duduk manis sambil memotret beberapa tempat penting untuk konstribusi Google Maps, betapa senangnya saya karena tidak mendapatkan tugas nyetir motor. Terik mentari di awal musim hujan masih sangat menyengat persis dengan sengatan pada musim kemarau. Kulit yang kuning kecoklatan seketika berubah menjadi coklat legit khas Indonesia.
Jarum jam mulai bergerak mendekati angka paling atas, corong-corong itu mulai mengeluarkan suara dan saling bersahutan hingga waktu menghabis dan diakhiri oleh ikomah. Bokong terasa panas karena cukup lama menanggung daging berlemak yang berat. Imam memberhentikan laju roda sepeda motornya dekat taman Surawisesa, taman terbesar di Kota Kecamatan Kawali. Taman Surawisesa ini begitu indah karena ditata dengan apik oleh pemerintah kabupaten, di sebelah barat terdapat Masjid Agung Kecamatan Kawali yang begitu megahnya. Dua sisi utara selatan memiliki satu menara yang menjulang.
Tidak banyak yang kami lakukan di sini hanya sebatas istirahat untuk memompa kembali bokong yang "kempis". Belasan foto tercipta di taman Surawisesa sebagai tanda pernah mengunjugi Kawali. Kami sepakat untuk kembali melanjutkan perjalanan yang diperkirakan hanya sekitar 15 menitan lagi.
Pemandangan Di Desa Sindangtaman |
Kami sempat kehilangan jejak petunjuk arah ke Curug Tujuh, maklum saja petunjuk hanya sampai di awal masuk desa Sindangtaman selebihnya tidak ada sama sekali petunjuk jalan menuju Curug Tujuh. Kali ini akal dan kebutuhan sosial dikeluarkan, saya mendekati beberapa warga lokal yang sedang muat turun ayam pedaging. Bersyukur mereka menunjukan arah yang benar lokasi Curug Tujuh. Terima kasih pak.
Aku cukup tertipu dengan warung-warung sebelum pintu masuk kawasan Curug Tujuh, maklum kunjungan pertama. Imam memarkirkan motornya di deretan warung yang dikira pintu utama Curug Tujuh. Ternyata jarak antara pintu utama/gerbang karcis dengan deretan warung cukup jauh, mungkin 100 meter. Hanya saran saja jika Anda mempunyai uang sedikit tapi ingin ke Curug Tujuh sebaiknya membeli perbekalan makanan dari warung-warung sebelum lokasi wisata ini, paling tidak di warung dekat jalan raya. Warung dekat gerbang tempat wisata untuk kantong yang kembang kempis memang cukup menyesakan karena harganya cukup tinggi. Untuk satu gelas air mineral seharga Rp 1000 dan satu pack Malkist ukuran sedang berharga Rp 10.000. Pemilik warung juga menyediakan jasa parkir, untuk sekali parkir sepeda motor seharga Rp 5000.
Aroma segar khas dari hutan pinus semerbak memenuhi ruang kedua lubang hidung. Saraf-saraf lembut seakan gembira menerima rangsangan bau khas hutan pinus. Bagunan dengan banyak sticker tampak di depan mataku, seketika otak membaca tulisan-tulisan yang memerintahkanku untuk mengambil beberapa lembar uang kecil untuk membayar retribusi wisata. Pada kaca loket tertulis Rp 7500, cukup murah untuk tempat wisata yang masih alami ini. Namun sayang sekali petugas tidak memberikan tanda bukti pembayaran (karcis) seakan-akan masuk tempat wisata dengan ilegal.
Pose Dekat Curug Ke-Tiga |
Awal masuk saya terkesima dengan keindahan alam yang disuguhkan Curug Tujuh, udara segar nan bersih, jalan yang sudah ditata dengan apik dan petunjuk yang tersedia di berberapa titik. Suara tarikan nafas Imam terdengar sedikit berat, bukan keluhan yang dia ucapkan tapi penyesalan karena jarang menanjak gunung. Di pertigaan jalan kami bertemu beberapa orang yang baru pulang dari curug, di pertigaan ini kami sempat bingung karena ada dua jalur menuju komplek curug. Sebelah kanan kelompok curug satu hingga lima dan sebelah kiri kelompok curug enam dan tujuh. Berkat petunjuk pengunjung lain, kami memilih melanjutkan ke kelompok kanan yang mempunyai curug satu hingga lima.
Benar kata pengunjung tadi, lokasi curug cukup dekat hanya sebatas dua kali lempar batu. Suara deras air yang jatuh dari ketinggian menggema memenuhi ruang alam ini serasa dalam konser alam yang indah. Suara tongeret menggema mengalahkan suara burung liar. Imam sempat terkaget oleh suara gerak dari loncatan luwak liar yang pindah dari pohon aren ke pohon lainnya. Di curug yang pertama aku kunjungi masih ada deretan warung namun hanya satu saja yang buka.
Tumpukan batu membentuk bendungan kecil sangat bermanfaat sekali untuk pengunjung yang akan menikmati kejernihan air dari alam. Beberapa orang lokal percaya bahwa air yang terdapat di curug merupakan air keabadian yang menyebabkan seseorang akan awet muda. Sedikit informasi juga bahwa air di curug ini disakralkan oleh sebagian masyarakat lokal, mungkin karena pengaruh sejarah panjang dari masa kerajaan Galuh masa lampau.
Imam Menerjang Medan Berat Melalui Terowongan Akar Pohon Besar |
Rasa penasaran kami untuk mengunjugi semua curug tetap membara dalam hati. Hati kami tidak rela uang karcis Rp 7500 hanya untuk mengunjugi satu atau Dua tempat saja. Kami melanjutkan kembali ke curug selanjutnya, jalan masih nampak jelas dan tidak ada kesulitan medan. Hanya saja beberapa petak ada yang becek.
Di curug ke-empat kami bertemu dengan Dua sejoli yang sedang bercandu cinta, mabuk dalam pelukan. Kami serasa peretas yang tak tahu moral hingga merusak keromantisan yang mereka bagun sejak beberapa jam lalu. Malu kami disimpan rapat dengan sedikit menyingkir dari kedua sejoli itu. Curug ke-empat ini tidak terlalu tinggi dan mempunyai bebatuan yang cukup banyak. Sebelah kanan terdapat runtuhan kayu besar yang seolah menjadi fosil, hampir mirip dengan batu. Waktu semakin lama semakin mengarah ke bawah hingga melewati angka satu, pertanda sore akan dimulai.
Dua sejoli itu ternyata cukup peduli dengan kedatangan kami. Dia mempersilahkan dan memberikan titik yang baik untuk mengambil gambar, mereka juga memberi tahu kami jalur until ke curug ke-lima. Kami tinggalkan dua sejoli itu dengan keheningan yang memabukan keromantisan.
Tongeret semakin cerewet di alam yang sepi, seakan dia penguasa jagat yang se-enaknya berceramah dengan keras-keras. Aku menikmati keunikan tongeret, sesekali mengambil gambar dan sesekali merekam bunyi yang memekakan telinga itu. Jalan mulai terjal dengan ceruk jurang yang lumayan dalam. Tanah setengah basah sempat membuat saya kewalahan untuk menginjaknya. Medan yang cukup berat ini akhirnya dibayar dengan keindahan yang dimiliki curug ke-lima. Tebing batu tegak berdiri dengan curahan dahsyat air yang mengalir di atasnya. Tidak seperti curug sebelumnya, di sini banyak batu namun batu cenderung datar sehingga nyaman untuk di duduki.
Susana Hutan Pinus Di Kawasan Wisata Curug Tujuh |
Gelegar guruh di ujung langit seakan pengusiran alami dari semesta. Kami memutuskan untuk kembali pulang walaupun cuaca masih begitu cerah. Kami hanya khawatir gelegar guruh itu mengeluarkan air matanya ke bumi. Sekembalinya dari curug ke-lima kami mendapati dua sejoli sudah melepas penutup kepala, dengan posisi peluk belakang dan karpet yang terhampar. Padahal sebelumnya tidak ada karpet hehehehe. Ah sudahlah.
Guruh sekan hilang dan terik matahari kembali menembus lebatnya hutan pinus. Di pertigaan jalan itu kami berpikir ulang untuk pulang atau mencoba ke curug selanjutnya. Berkat dorongan yang kuat dan ada dua perempuan yang memakai baju pramuka mau diajak ke sana akhirnya kami ber-empat pergi ke curug ke-enam. Di tengah perjalanan dua perempuan berbaju pramuka itu memutuskan untuk kembali ke curug ke-tiga dengan alasan ditunggu oleh temanya. Saya paham mereka takut denganku yang baru saja dikenalnya, saya juga memaklumi sikap mereka yang waspada akan ancaman orang tak dikenal. Terlebih lagi di dalam hutan yang tidak ada siapa-siapa. Kami berdua melanjutkan perjalanan dan sepuluh menit kemudian sampai di curug ke-enam.
Curug ke-enam mempunyai karakter yang cukup berbeda dari yang lainnya karena mempunyai ceruk mirip kubangan yang bisa digunakan sebagai bak mandi. Di atasnya juga terdapat kemiringan batu mirip seperti prosotan anak-anak. Namun entah kenapa instingku tampak ada yang menyapa. Dengan kerendahan hati kulo nuwun untuk mahluk Tuhan yang lainnya. Tidak lebih dari lima menit kami melanjutkan ke curug yang katanya mempunyai kekuatan magis dan mempunyai kemistisan tersendiri.
Keindahan Curug Ke-Lima |
Awalnya medan masih terlihat jelas dan mudah untuk dilalui tapi semakin ke dalam medan jalan sudah tidak tampak jelas, hanya jejak sampah manusia yang tersisa. Banyak perdu yang menghalangi hingga medan menjadi samar. Jarum kecil semakin turun hingga menyentuh angka tiga. Terjal dan terlalu naik, aroma hutan perawan mulai tercium. Nuraniku semakin menggebu untuk menolak dan memberontak untuk segera memberhentikan langkah. Ku terjemahkan pemberontakan nuraniku dalam bentuk pertanyaan nyata dengan suara ke Imam "Mam rep diterusna apa ra?" Dengan tegas Imam menjawab "Ora, balik bae yuh!". Mungkin saja Imam merasakan hal yang sama dengan apa yang dibicarakan instingku.
Berbalik badan saya kembali di posisi pertama untuk kembali ke arah pulang. Di pertengahan jalan dekat curug ke-enam kami bertemu dengan tiga pemuda dan menayangkan jarak curug. Aku menjawab dengan perkiraan ku dan memberi saran untuk berkunjung di lain waktu untuk curug ke-tujuh.
Tepat jam empat sore kami pulang, namun Imam mempunyai niat baik untuk menyambung persahabatannya dengan sesama guru yang pernah satu tempat kerja dengan dirinya. Aku hanya bisa mengikutinya dan sedikit harapan untuk mendapatkan rejeki dari kunjungan itu dan benar saja kami disuguhi mie instant komplit pake telor. Alhamdulillah. Semoga Tuhan selalu memberkati keluarga bapak.
Sekali Lagi Tampil Eksis |
Temannya Imam merupakan warga lokal Kawali yang sudah tahu tentang seluk-beluk gunung Sawal. Saya sempat merinding dan dibuat mengucap syukur berkali-kali. Dia mengatakan bahwa di Curug Tujuh tidak ada penampakan mahluk Tuhan lainnya hanya saja sering orang hilang karena kabut ataupun hal lainnya. Dia menjelaskan bahwa kabut turun dalam beberapa waktu termasuk jam 15:30 di mana saat itu saya memutuskan untuk balik badan dan kembali pulang. Aku bersyukur sekali lagi karena hal ini. Terima kasih Tuhan kau telah mengaktifkan naluri/instingku untuk keselamatan ku. Terima kasih tuhan.
Usai kantong semar penuh dan merasakan nikmatnya kenyang, pembicaraan semakin langka dan semakin tak terarah hingga kami memutuskan untuk mengucapkan terima kasih dan memalingkan badan untuk kembali pulang.
Komentar