Mulut Terowongan Philip |
Sejarah perkeretaapian Indonesia tidak mungkin akan amnesia dengan jalur Banjar - Cijulang yang mempunyai panjang lintasan sekitar 80 Km dengan berbagai keistimewaan di dalamnya. Semuanya paham bahwa jalur ini mempunyai sejarah yang sama kaya dengan jalur kereta api yang sudah mati (non-aktif) di seluruh Indonesia. Berbicara soal perkeretaapian Indonesia tentu saja semua pembaca berita tahu bahwa akhir-akhir ini gubernur Jawa Barat akan mengaktifkan kembali jalur-jalur mati di wilayah Jawa Barat, termasuk jalur Banjar-Cijulang. Istimewa sekali bukan, semoga terealisasi dengan cepat tanpa korupsi.
Jarak antara rumahku dengan jalur non-aktif Banjar-Cijulang tidaklah terlalu jauh hanya 4,5 Km bisa, bisa ditempuh dengan naik sepeda sekitar 15 menitan. Halte atau stasiun kecil yang dekat dengan rumahku diantaranya Halte Batulawang, Halte Gunung Cupu, dan Cikotok. Bersumber dari saksi sejarah yakni nenek, ibu dan kakak. Menceritakan berbagai cerita unik saat menaiki kereta di jalur Banjar-Cijulang mulai dari ketinggalan kereta, hidung menjadi hitam karena asap pembakaran dan jalan kaki menuju stasiun kecil. Sayang sekali saya hanya bisa menjadi saksi sejarah kelam saat perbaikan jalur dan perompakan besar-besaran saat krisis 1998 saat itu.
Berbagai harapan dengan jalur mati ini telah saya curahkan dari masa kecil hingga sekarang. Terkadang merasa bangga ataupun merasa senang saat menginjak jalur rel dan melihat bekas-bekas lintasan kereta api. Ya semoga saja rencana gubernur baru tercapai dengan cepat dan bersih dari korupsi.
Foto Di Huma dan Bekas Rel Kereta |
Dua minggu lalu, sepupu mengajak olahraga sepeda. Aku sempat kebingunggan untuk menentukan rute yang akan dituju. Rasanya semua arah dan tempat sudah terjamah. Pikiran buntu roda bergulir ke arah utara (Banjar). Tanpa disangka sepupu mengajak untuk mencari/menuju terowongan kereta api. Jujur saja saya sendiri belum pernah tahu lokasinya di mana dan setahu saya kebanyakan terowongan kereta berada di Kabupaten Pangandaran. Penasaran!
Tak mau ambil pusing alat selusur canggih dihidupkan! Akhirnya ketemu dengan artikel-artikel sejarah kereta api jalur Banjar-Cijulang, tentu saja di dalamnya memuat lokasi terowongan yang akan dituju. Dalam artikel tersebut menjelaskan bahwa terowongan berada di desa Binangun dekat (di bawah) makam Cina, orang lokal biasa menyebutnya Sentiong.
Terowongan terpanjang ke-dua di jalur Banjar-Cijulang ini bernama terowongan Philip dengan panjang 281 meter dan mempunyai nama lokal yakni terowongan Binangun atau terowongan Sentiong. Terowongan ini berada di petak stasiun Banjar dan stasiun kecil Batulawang, persisnya di kilometer 3 dan berujung pada Km 3+008. Pada muka terowongan tertulis 1914 yakni tahun penyelesaian terowongan, sementara awal pembuatan dimulai tahun 1913. Demikianlah narasi sejarah singkatnya.
Citra Satellite Google Dengan Pengukur Jarak |
Kembali lagi ke "penjelajahan" ku dengan sepupu di mana kebingunggan itu terurai oleh masyarakat yang saling cerita dan menunjukan arah lokasi terowongan Philip. Dimulai dari seorang ibu paruh baya dengan anaknya yang hendak pergi ke jalan raya, dia menunjukan arah barat dan menjelaskan sedikit tentang jalan masuknya. Gowesan santai terus mengelinding turun dan naik bukit hingga bertemu gundukan tanah yang mirip bantaran sungai sebagai indikasi bekas jalan kereta api.
Huma-huma dan jurang terlintas dengan iringan nyanyian alam. Gemercik air terdengar samar dan bahkan hilang oleh deritan rantai sepeda yang gemertak. Sesekali berhenti untuk mengambil nafas karena banyaknya tanjakan. Di pertengahan huma kami kehilangan jejak karena "gundukan" tanah hilang! Semua tanah di pertigaan jalan setapak tampak rata. Kebingunggan terjadi dan saya sepakat dengan keponakanku untuk nanjak ke atas, di atas tampak ada pemukiman masyarakat dengan harapan masyarakat memberi tahu lokasi terowongan.
Beruntung sekali seorang lelaki dewasa sedang duduk santai di depan rumahnya. Dengan logat Sunda kental dia menjelaskan lokasi muka dan "buntut" dari terowongan. Dia juga menjelaskan dengan penuh semangat akan sejarah terwongan itu. Jalan semakin menanjak menuju puncak bukit, gigi selalu direndahkan bahkan sepeda tidak dinaiki karena energi yang sudah mulai berkurang.
Jalan di atas bukit terjulur lurus seperti belahan rambut yang terjulur lurus di kepala. Melintasi kuburan tionghoa (Sentiong) di sebelah kiri jalan, tampak tiga kuburan baru dengan salib yang masih basah dan karangan bunga yang masih segar. Ah kematian, sesuatu yang pasti. Aku termenung dan sesekali bernyanyi hallelujah hallelujah hallelujah dan terhenti oleh sindiran keponakanku.
Gundukan Tanah Sebagai Bekas Rel Kereta |
Lagi-lagi aku bertanya lokasi terowongan ke seorang tukang kayu yang sedang menggorok kayu. "Tah.. Jang Mun bade ka terowongan mah ka jalan perum anu enggal mun eunte langsung turun to gunung" tuturnya dalam bahasa Sunda yang kira-kira artinya "Nak.. Kalau mau ke terowongan lewat jalan perum baru atau lewat turun gunung langsung". Opsi ke-dua kami ambil dengan penuh resiko karena turun gunung yang belum tahu jalan setapak mana yang benar.
Ada tiga jalan setapak di kanan jalan. Aku bingung dan akhirnya sepupu memilih jalan setapak terakhir yang berdekatan dengan gudang pupuk. Jalan tampaknya diperbaharui, kerikil terhampar dan rapuh saat ditapaki. Ban sepeda pun tak sanggup berdiri, sekali dua kali sepeda aku tunggangi namun kerikil menolak dengan cara menggulingkan ban. Gurauan-gurauan menyeruak dari mulutku yang najis ini, kesopanan terhadap hal mistik seakan sudah dizalimi dengan kata-kata kotor penuh umpatan. Sepupu sekali lagi menginggatkan ku, aku terdiam dengan penyesalan dosa.
Seratus meter ke depan terdapat lapangan baru dengan tanah merah basah. Entah untuk proyek apa, itu bukan urusanku. Aku hanya lewat saja. Di lapangan ini agaknya hati dan sensor mistik mulai menguat, mulut rombengku tak tertahan untuk mengngkapkan "Rylo, krungu swara sepur ra?" Ucapku dalam bahasa Jawa menanyakan suara kereta yang terdengar di telinga. Beruntung sepupuku mendengarkannya jadi bukan aku saja. Penasaran ku bertambah saat di tengah-tengah lapangan dengan suara kereta itu yang sumbernya dari mana. Sepupu memilih melanjutkan perjalanan dan aku setujui.
Muka Terowongan Yang Becek |
"Lo, engko takon aring wong sing nang umah-umah gue" gumamku untuk menenangkan Rylo yang sudah kebingunggan. Dalam mataku melihat beberapa rumah di ujung lapangan, namun Rylo tidak melihatnya. Aku penasaran dan mendekati apa yang aku anggap "rumah-rumah" penduduk itu. Jujur mulut dan kulitku sedikit tegang hingga rambut halus sedikit berdiri. Ternyata di ujung lapangan itu hanya satu bangunan gubug makam saja bukan rumah-rumah penduduk yang terlihat di mataku saat di tengah-tengah lapangan. Ya Tuhan!
Kami berbalik dengan sedikit penasaran dan ketakutan mistik. Kalimat-kalimat suci teruntai untuk mengubur ketakutan mistik yang memakan keberanian di hati. Roda sepeda beratus kali berputar seiring gowesan kaki. Di perempatan jalan Sentiong bertemu dengan seorang pemilik warung dan dia mengarahkan saya untuk masuk ke jalan dekat perum baru.
Perjalanan dilanjutkan hingga ke muka terowongan. Jalan cukup bagus dengan cor-coran dan beberapa meter memasuki huma jalan sedikit becek karena hujan semalam. Saat mendekati terowongan ternyata lapangan baru itu terlihat dari terowongan. Aku sedikit merinding.
Satu Pose Di "Buntut" Terowongan |
Aku bersyukur bisa "bertemu" dengan terowongan yang monumental ini. Rasanya tidak percaya bahwa terdapat terowongan terpanjang ke-dua di jalur Banjar-Cijulang di dekat rumahku. Beberapa foto ku ambil untuk sebuah kenangan manis.
Andrenalinku tertantang untuk menerobos terowongan yang gelap dan hanya tampak titik besar cahaya di tengah-tengah terowongan. Tantangan itu disetujui oleh sepupuku! Wah tantangan ini tampaknya menjadi hal yang paling gila! Aku bersiap baik mental, spiritual maupun fisikku. Ketakutan mistik dan ketakutan hewan khususnya ular, diredam hingga terbungkam dan hanya menyisakan sedikit ketakutan.
Awalnya Rylo yang memandu perjalanan namun beberapa meter sepedanya terselip oleh gumpalan gemburnya tanah. Akhirnya aku yang memandu di depan. Flash kamera handphone dinyalakan, namun tidak terlalu membantu karena tidak banyak memancarkan banyak cahaya. Degup jantung dipacu oleh ketakutan mistik, lagi-lagi doa kepada Tuhan untuk perlindungan. Kadang aku merasa malu karena berdoa saat "butuh" saja, tapi doa-doa keselamatan selalu diucapkan oleh mulut hatiku.
Perasasti Kecil Di Mulut Terowongan |
Berkali-kali aura dan insting mistik muncul saat melihat ruangan pelindung di dalam terowongan. Ruang pelindung yakni ceruk kurang lebih 1-2 meter untuk petugas melindungi diri jika ada kereta api saat berjalan di terowongan. Ceruk pelindung itu seakan menunjukan kemistisan pada mataku yang sedikit membaca aura-aura mistik. Lagi-lagi bulu halus berdiri terlalu kencang dan degup jantung terus terpacu.
Di pertengahan terowongan flash kamera handphone mati. Aku ketakutan! Aku berteriak "Lo....lo...lo.... Mati!" Aku berhenti dan menyalakannya kembali. Dan aku mulai menggowes kembali dengan kecepatan yang cukup cepat. "Ang....ang...entheni!" Teriak Rylo yang tak terima ditinggal di belakang. Dua puluh meter di "buntut" terowongan cahaya mulai terpancar menyakitkan mata yang sudah terbiasa oleh kegelapan. Cahaya itu semakin kuat karena ban sepeda membawaku mendekati sumber cahaya.
Degup jantung seakan turun berangsur dan otak berkali-kali bersorak hore-hore dengan lancang. Kakiku tetap bekerja untuk memutarkan pedal sepeda. Kegelapan itu akhirnya hilang dihapus oleh cahaya kuat dari matahari. Alhamdulillah akhirnya semua berlalu dan inilah pencapaian yang gila!!!
Aku masih belum percaya dan hati masih terikat oleh aura-aura mistik yang menyelimuti otak dan terowongan itu. Otaku masih berimajinasi bagaimana kolonial Belanda menyiksa para penduduk lokal untuk membuat terowongan ini, imajinasi akan arwah gentayangan juga masih berkemelut di otak. Di sisi lain Rylo tampak bersorak tak menyangka! Seakan-akan dia mendapatkan keberkatan Tuhan yang tiada tara.
Hingga sepuluh menit kami masih di "buntut" terowongan Philip. Menghirup udara segar bekas hujan semalam dan menenangkan diri, sembari menentukan rute perjalanan selanjutnya. Sepuluh menit kemudian kami memutuskan untuk pulang ke rumah.
Rute perjalanan pulang hari ini agak spesial karena menyelusuri pemantang sawah. Rasanya surga sekali. Terima kasih Tuhan.
Komentar