Dua tahun telah berlalu, namun keinginan untuk mendapatkan buku Sastrajendra tak pernah memuai. Selalu diingat, diidamkan dan berharap bisa dibeli, syukur-syukur ada yang memberi. Pertama mendengar kata Sastrajendra berawal dari ngaji filsafat di MJS oleh pak Faiz. Dari situlah saya penasaran dengan Sastrajendra, terlebih lagi saya seorang Jawa yang mungkin akan lebih kuat "kutub magnetnya".
Pasar Kenari saat itu masih lengang oleh pembeli, beberapa orang terlihat berjongkok melihat judul-judul buku yang tersusun rapi di rak jualan. Mataku terlalu sibuk dengan ketakziman pasar buku yang terlalu menggoda hasrat!. Daftar judul buku sudah tertulis di notes, keliling satu putaran sudah mendapatkan dua buku, kembali berputar sekali gagal mendapatkan harga yang pas. Pada umumnya harga termasuk murah, hanya saja kantongku yang pengangguran saat itu terlalu kering. Beberapa judul buku batal dibawa pulang ke rumah salah satunya buku Sastrajendra, dulu abang penjual menawarkan sekitar 95 ribu rupiah dan turun menjadi 80 ribu. Karena satu buku 80 ribu rupiah yang bagiku terlalu mahal akhirnya membeli buku yang dibawah harga 50 ribu.
Keberuntungannya datang tahun 2021 dimana sahabat bernama Fahriza Abdul Rohmat di Panjalu Ciamis memberiku buku Sastrajendra dengan percuma! Katanya sebagai kenang-kenangan. Wah saya merasa terberkati dengan hadiah ini. Di sini saya ingin mengucapkan terima kasih banyak atas buku yang diberikan oleh Kang Fahriza Abdul Rohmat.
Dari relasi etnis dan agama membawa gadis lurus yang mengikat dan tersambung oleh Sastrajendra. Banyak yang bilang Sastrajendra merupakan puncak pemikiran filsafat khas Jawa, saya sebagai orang Jawa merasa tergugah untuk mengetahuinya. Apakah Sastrajendra itu benar-benar hebat atau hanya sebuah tulisan biasa, maka dari sinilah saya memulai dari Sastrajendra.
Hom pimpah alai hom
Tulisan ini hasil dari saya membaca dan memahami Sastrajendra karangan Setyo Hajar Dewantoro. Pembacaan dan pemahaman setiap orang berbeda, termasuk saya sendiri yang belum tahu keluhuran filsafat bangsa sendiri. Pengetahuan tentang falsafah Jawa yang sedikit ini semoga bisa mengantarkan saya kepada apa yang diharapkan Sastrajendra.
Sebelum ke ikhtisar buku Sastrajendra, berikut "biodata" lengkap dari Sastrajendra:
Judul Buku : Sastrajendra - Ilmu Kesempurnaan Jiwa
Penulis: Setyo Hajar Dewantoro
Penyunting: Eka Saputra
Cetakan: Pertama Mei 2018
ISBN: 978-602-6799-39-5
Penerbit: Javanica
Demikian biodata dari buku Sastrajendra, untuk harganya tertera di sampul belakang untuk Pulau Jawa Rp 95.000. Buku ini masuk golongan spiritual yang terdiri dari 417 halaman.
Buku karangan Setyo Hajar Dewantoro terbagi menjadi dua bab saja, bab pertama menceritakan dari naskah asli percakapan antara Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi dan bab kedua berupa penjabaran ajaran Sastrajendra menurut penulis sendiri.
Bab Pertama
Awal mulai Sastrajendra dimulai dari cerita pewayangan antara tokoh Dewi Sukesi yang mencari ilmu yang sejati dan Resi Wisrawa seorang guru suci. Nah isi cerita ini berupa dialog antara Dewi Sukesi dan Resi Wisrawa yang isinya ajaran atau ilmu dari Sastrajendra sendiri. Ajaran yang disampaikan Resi Wisrawa sangat mengena pada sanubari Dewi Sukesi yang harus akan ilmu dan spiritual, hingga akhirnya Dewi Sukesi jatuh cinta pada Resi Wisrawa yang sebelumnya menjodohkan anaknya pada muridnya (Dewi Sukesi).
Selanjutnya saya ingin sekali mengikhtisarkan ajaran Sastrajendra yang diajarkan Resi Wisrawa pada percakapannya. Banyak nilai-nilai spiritual yang bisa diambil dan direnungkan untuk menjadi manusia yang terbaik. Kunci terbaik untuk memahami Sastrajendra bagi saya adalah penerimaan terhadap sudut pandang dan juga filsafat, sehingga ilmu Sastrajendra akan terserap dengan baik tanpa pertentangan yang lebih keras lagi. Berikut ikhtisar dari yang didapat pada bab pertama:
1. Menghasratkan kaweruh (ilmu) lebih dahsyat daripada yang lainnya.
2. Pembahasan mengenai jagat alit (microcosmos) dan jagat ageng (macrocosmos). Pembahasan ini merupakan hal yang luar biasa karena cakupan pembahasan yang begitu luas.
3. Sangkan paraning dumadi, jika disandingkan dalam agama Islam berarti inalillahi wa innailaihi rajiun. Yang artinya semua akan kembali kepaqa Tuhan.
4. Sastrajendra juga menengahkan tema ketuhanan, seperti para sufi dalam Islam yang menyatakan bahwa manusia merupakan percikan cahaya illahi atau bayangan ilahi. Di sini manusia merupakan bagian dari Tuhan, karena merupakan percikan ataupun bayangan dari Tuhan sendiri. Dalam dunia Islam disebut wahdatul wujud.
5. Keikhlasan merupakan langkah awal dalam memulai Sastrajendra (ilmu Tuhan). Dewa Ruci sebagai simbol dari orang yang mengerti hati dan dirinta sendiri.
6. Terdapat konsep reinkarnasi juga dalam falsafah Jawa, kelahiran kembali ini memang multitafsir entah kelahiran kembali setelah kematian atau kelahiran kembali saat seseorang sudah mengenali dirinya sendiri.
7. Konsep dualisme (Yin Yang), kehidupan bumi memang terdiri dari dualisme-dualisme yang saling melengkapi. Pada Sastrajendra ini juga ada solusi untuk dualisme sisi negatif atau buruk. Jadi manusia itu punya lakonnya sendiri dan itu merupakan hal nyata dari sebuah kehidupan. Adanya orang baik, karena ada orang jahat/buruk. Tidak mungkin ada orang yang disebut jahat kalau ada irnag baik dan sebaliknya.
8. Konsep kebahagiaan dan kesenangan, kebahagiaan datang dari diri sendiri, sementara kesenangan datang dari hawa nafsu manusia (keinginan).
Sebenarnya masih banyak sekali poin penting dalam ajaran Sastrajendra, karena ini sebuah ikhtisar saya cukupkan sampai nomor delapan saja. Silakan membeli atau meminjam buku Sastrajendra untuk pemahaman yang lebih lanjut.
Bab Kedua
Bagiku bab kedua ini obrolannya menjadi sangat luas mulai dari bicara kosmologi planet-planet hingga hasil olah karsa masyarakat Jawa seperti keris, tumpengan dan yang lainnya. Di sini saya tidak menemukan cara-cara utnuk mencapai Sastrajendra yang sebenarnya. Mungkin penulis ingin menjabarkan bahwa Sastrajendra seperti 'ini'. Untuk bab kedua saya hanya sedikit mendapatkan manfaatnya. Semoga lain waktu penulis menerbitkan kembali bagaimana cara mencapai Sastrajendra menurut laku wong Jawa.
Komentar