Salam,
Wah saya sangat senang
sekali ada tema tentang gunung dan pendakian di Jurnal Maria pada awal Februari
2021 ini, berhubung saya seorang pecinta gunung dengan senang hati saya ingin
berbagi cerita di sini. Baiklah saya mulai ceritanya ya, semoga terhibur dan
ada manfaatnya.
Tahun 2016, masih
bekerja di rumah sakit di Jakarta. Saya mempunyai teman yang bisa dibilang
pecinta alam, Iyung, namanya. Dia mengajak saya untuk mencoba mendaki gunung,
dia menilai bahwa liburanku selalu di-isi dengan pantai dan pantai saja. Banyak
penjelasan yang menantang dan masuk akal tentang sebuah pendakian gunung, dari
penjelasannya saya tertarik untuk mencoba.
Berhubung saya tidak
memiliki peralatan pendakian akhirnya mengocek saku lumayan dalam untuk membeli
peralatan pendakian. Saat itu total belanja peralatan mulai dari tas keril,
kaos kaki, trackker, kantung tidur (sleeping
bag), dan yang lainnya. Semua perlatan yang telah terbeli sekitar 2-3 juta
rupiah, cukup membuatku puasa seminggu. Selain masalah peralatan yang mesti
dibeli, saya juga disarankan untuk latihan mental dan fisik paling tidak
seminggu sebelum mendaki harus melatih diri. Berhubung saya setiap hari gowes
dan olahraga lainnya jadi tidak banyak latihan, hanya mental saja yang harus
dipersiapkan matang,
Sayang sekali Iyung
tidak ikut pendakian karena alasan lainnya. Tekad sudah bulat akhirnya saya
lebih berani dari yang ku kira, bergabung dengan orang-orang baru yang
sebelumnya tidak pernah bertemu sama sekali. Sebelum pendakian kami mengadakan
pertemuan sekali di Monas untuk membicarakan masalah ongkos, logistic dan yang
lainnya. Saat itu ada sekitar 20 oang calon pendaki yang bergabung. Menjelang
hari “H” calon pedaki mundur karena banyak halangan dan kepentingan lainnya,
hingga menyisakan 10 orang saja.
Gunung Semeru adalah
gunung yang akan didaki oleh kami. Gunung tertinggi di pulau Jawa dengan
ketinggian 3676 Mdpl. Saat itu saya tidak tahu gunung Semeru adalah gunung
tertinggi di Jawa, terlebih lagi soal kesulitan dari gunung tersebut.
Pengetahuan tentang pendakian dan gunung termasuk katagori NOL BESAR. Lagi-lagi
karena rasa penasaran dan semangat, saya tidak banyak berpikir soal track,
ketinggian dan yang lainnya. Sing penting
melu!.
Perjalanan pendakian ke
gunung Semeru dimulai dari Stasiun Senen – Jakarta dengan estimasi kegiatan
menghabiskan empat hari: dua hari untuk perjalanan, dua hari untuk pendakian.
Awal pendakian kita berbelanja di pasar Tumpang - Malang untuk keperluan
logistic dan beranjut istirahat di homestay.
Saya masih ingat sebelum pendakian di Basecamp
Ranu Pane semua calon pendaki diberi arahan tentang pendakian termasuk tatacara
survival dan cara berjalan di pasir vulkanik menjelang puncak.
Pukul lima sore dengan
diiringi hujan deras kami dilepas oleh ranger Taman Nasional Bromo Semeru
Tengger, suatu hal yang paling gila! Ujian mental pertama dimana meninggalkan
pemukiman warga dan masuk ke belantara hutan disertai hujan. Seperti
menggadaikan nyawa! Jiwaku masih bersemangat walaupun berkurang 20%. Semakin
masuk ke hutan mata menyerap cahaya begitu sedikit dan gelap, senter
dikeluarkan. Berbekal cahaya senter kami berjalan seperti bebek beurutan satu
per satu membaris, tanah merah basah dan air yang masuk ke kaos kaki mengigit
kulit yang semakin lama ba’al (kebas).
Hujan masih tetap pada
intensitas yang sama, sesekali berkurang namun masih saja mengeluarkan derai
air dari langit yang jauh di atas sana.
Pada langit yang menangis aku mengadu dengan berkali-kali komat-kamit
kalimat-kalimat suci, seakan-akan memelas pada Tuhan akan sebuah keselamatan.
Suara gemuruh seperti sebuah pesawat terdengar, asing sekali suara gemuruh
dengan gema. Kupikir itu adalah nyanyian para hantu penghuni Semeru, namun itu
adalah anggapan salah setelah temanku menjelaskan bahwa sumber suara itu adalah
sebuah badai. Aku kembali ciut, teringat akan nyawa yang sedari dulu hanya
terjatah satu kali saja. Kami masih saja berjalan walau sudah lebih dari empat
jam berjalan, sesekali berhenti. Berhenti bukan untuk istirahat melainkan untuk
mengantre naik tebing. Satu persatu kami naik dengan batuan tali tambang, kilau
tanah dan batu terlihat lebih terang karena pantulan air hujan.
Kami merasa paling
kompak daripada pendaki lain, bagaimana tidak setiap ada jurang, lubang,
ranting yang ada di atas kepala harus diberitahu agar tidak ada yang terluka
atau terjerembab. Anehnya mentalku naik saat menjadi pemimpin rombongan, aku
didaulat berjalan di depan. Padahal delapan orang lainnya adalah pendaki
berpengalaman Sekarang saya menjadi kapten rombongan bebek. Pukul 00:30 kami
sampai di Ranu Kumbolo, suatu danau suci yang berada di ketinggian 2000 Mdpl,
sebuah hadiah yang pantas didapatkan setelah usaha pengadaian nyawa. Boleh
dikata Ranu Kumbolo adalah titik tengah pendakian, dimana para pendaki biasanya
mendirikan tenda untuk menginap. Aku tidak tahu seberapa sedih langit menangis,
ya terlalu lama menangis sampai tanganku keriput menahan dinginnya suhu. Saya
tidak berani untuk melepas sarung tangan barang dua menit, terlalu menyakitkan.
Di ketinggian 2000 Mdpl angin semakin kencang terlebih Ranu Kumbolo adalah
sebuah ceruk tempat jalan angin. Setiap ada angin terdengar sekali gemuruhnya,
seperti suara angin yang masuk ke jerigen tempat ibu-ibu membeli minyak.
Termometer menunjukan 3 derjat celcius, kami masih bergulat menderikan dua
tenda. Sebelumnya kami merencanakan membuat tiga tenda, namun apa daya satu
tenda basah karena tidak ditutupi plastik.
Dari sepuluh orang
pendaki terdapat dua perempuan, saya masuk dan tidur dengan dua perempuan
tersebut. Dan inilah pertama kali aku bugil di depan perempuan, walaupun mereka
membelekangi saya agar tidak melihat bagian lain dari anatomi tubuhku. Aku
berani karena aku ingin hidup! Kondisi baju basah memaksakan semua pendaki
untuk ganti baju, dan ini merupakan kunci keberlangsungan manusia dari ancaman
kematian yang diakibatkan dari hipotermi. Biasa jadi karena terlalu lelah,
tidur di Ranu Kumbolo terasa lebih cepat dan sangat nyaman, tidak ada ayam
berkokok membangunkanku. Melainkan riuh pendaki lainnya yang mempersiapkan
memasak makanan.
Pukul 10:00 kami
berangkat kembali memalui Oro-oro Ombo, sebuah savanna indah berwarna ungu,
indah seperti padang lavender. Sebelum ke Oro-oro Ombo kami harus berusaha
keras untuk mendaki Tanjakan Cinta, sebuah tanjakan yang fenomenal bagi para
pendaki. Tanjakan ini sangat panjang dengan kemiringan yang lumayan curam, ada
mitos yang berlaku di sini “Barang siapa
menanjaki Tanjakan Cinta tanpa melihat ke belakang maka cintanya abadi” dan aku berhasil tanpa melihat ke belakang!
Tapi cinta abadi untuk siapa? Aku jomblo.
Pukul Empat sore kami
sampai di Kalimati, sebuah tempat di mana batas aman untuk para pendaki membuat
tenda. Kalimati merupakan titik pertama aman jika terjadi letusan, pendaki
masih biasa menyelamatkan diri dari wedus
gembel. Sumber air juga tersedia di sini, walaupun lumayan jauh, paling
tidak butuh 10-15 menit. Kalimati ini seperti lapangan dengan rumput khas
pegunungan, pinggirnya ditumbuhi cemara. Beberapa cemara dibelit kain putih
sebagai tanda suci, sacral dan agung. Ada kejadian yang boleh dipercaya atau
tidak, saat hendak buang air kecil kami berjalan seperti jauh sekali, padahal
kakus itu hanya selempar batu atau 20 tenda dari tenda kami. Karena merasa
janggal, kami tidak jadi ke kakus, dan buang air kecil di belakang tenda.
Pukul 00:30 kami bangun
dan siap berangkat menuju puncak!!! Tenda ditinggal bersama beberapa harta
bawaan lainnya. Arni, satu teman kita tidak ingin melanjutkan samapai ke
puncak. Dia merasa ada hal lain yang mengharuskan dia tetap tinggal di tenda,
walaapun kondisi dia sehat. Kami tinggalkanArni sendiri, dan menitipkan ke
tetangga tenda. Jujur ini seperti yang tidak bertanggung jawab atas nyawa orang
lain, walaupun Arni dalam keadaan sehat.
Pendakian menuju puncak
adalah momen yang mengandung “bawang”, betapa tidak air mata keluar melihat keindahan
alam dan perjuangan pegadaian nyawa. Pasir vulkanik yang terinjak begitu kasar
dan masuk ke sepatu menekan kulit yang tipis dan terasa nyeri. Satu langkah/injakan
biasa mundur tiga injakan. Teknik mendaki di pasir vulkanik yang tanpa pohon
harus zigzag agar pasir tidak memadat ke dalam dan kita biasa cepat sampai ke
puncak. Di zona non-vegetasi komat-kamit semakin banyak terlebih dengan terpaan
angin yang kencang, kemiringian yang curam dan glindingan batu dari pendaki
yang mengugurkannya. Saat ada glindingan batu semua berteriak menginggatkan, di
area non-vegetasi tidak boleh ngantuk dan harus konsentrasi, di sinilah banyak
maut menawari roh untuk keluar dari tubuh.
Pukul 03:30 saya
menjadi pendaki pertama Indonesia yang sampai puncak bersama lima bule
Perancis. Aku pikir ditinggal teman-teman, ternyata sebaliknya. Angin begitu
kencang, mau tidak mau aku mesti berpelukan erat dengan kelima bule itu.
Sepuluh menit kemudian ada teriakan yang memanggil namaku, ternyata Mas Lukman
dan Mbak Esti. Aku bersyukur bertemu kembali dengan mereka dengan keadaan
sehat.
Begitulah cerita dari
saya.
Pendakian gunung memang
tidak sembarangan karena taruhan nyawa, jika ada jatah nyawa tiga kali seperti
sebuah game pastinya banyak orang
akan mecoba hal-hal ekstreme. Pendakian bukan hanya soal keberanian semata.
Banyak teknik dan persiapan yang matang. Apa saja persiapan yang mesti ada pada
pendaki: peralatan pedakian, mental, jasmani, teknik naik gunung, memasak,
logistic, pengetahuan kesehatan dan kedaruratan. Adapun sisi indah dari
pendakian: melihat pemandangan indah, melihat karakter seseorang, mengolah
emosi dan mental, belajar survival hidup, dan banyak lagi.
Terima kasih atas
kesempatan yang diberikan kak Maria.
Jaga malam menjelang
Imlek, 10 Februari 2021.
Komentar