Langsung ke konten utama

Corat Coret Di Toilet - Eka Kurniawan

Pertama Pendakian

Artikel ini pernah disiarkan dalam acara Jurnal Maria di Radio Taiwan Internasional seksi bahasa Indonesia pada tanggal 4 dan 11 Maret 2021.

Salam,

 

Wah saya sangat senang sekali ada tema tentang gunung dan pendakian di Jurnal Maria pada awal Februari 2021 ini, berhubung saya seorang pecinta gunung dengan senang hati saya ingin berbagi cerita di sini. Baiklah saya mulai ceritanya ya, semoga terhibur dan ada manfaatnya.

 

Tahun 2016, masih bekerja di rumah sakit di Jakarta. Saya mempunyai teman yang bisa dibilang pecinta alam, Iyung, namanya. Dia mengajak saya untuk mencoba mendaki gunung, dia menilai bahwa liburanku selalu di-isi dengan pantai dan pantai saja. Banyak penjelasan yang menantang dan masuk akal tentang sebuah pendakian gunung, dari penjelasannya saya tertarik untuk mencoba.

 

Berhubung saya tidak memiliki peralatan pendakian akhirnya mengocek saku lumayan dalam untuk membeli peralatan pendakian. Saat itu total belanja peralatan mulai dari tas keril, kaos kaki, trackker, kantung tidur (sleeping bag), dan yang lainnya. Semua perlatan yang telah terbeli sekitar 2-3 juta rupiah, cukup membuatku puasa seminggu. Selain masalah peralatan yang mesti dibeli, saya juga disarankan untuk latihan mental dan fisik paling tidak seminggu sebelum mendaki harus melatih diri. Berhubung saya setiap hari gowes dan olahraga lainnya jadi tidak banyak latihan, hanya mental saja yang harus dipersiapkan matang,

 

Sayang sekali Iyung tidak ikut pendakian karena alasan lainnya. Tekad sudah bulat akhirnya saya lebih berani dari yang ku kira, bergabung dengan orang-orang baru yang sebelumnya tidak pernah bertemu sama sekali. Sebelum pendakian kami mengadakan pertemuan sekali di Monas untuk membicarakan masalah ongkos, logistic dan yang lainnya. Saat itu ada sekitar 20 oang calon pendaki yang bergabung. Menjelang hari “H” calon pedaki mundur karena banyak halangan dan kepentingan lainnya, hingga menyisakan 10 orang saja.

 

Gunung Semeru adalah gunung yang akan didaki oleh kami. Gunung tertinggi di pulau Jawa dengan ketinggian 3676 Mdpl. Saat itu saya tidak tahu gunung Semeru adalah gunung tertinggi di Jawa, terlebih lagi soal kesulitan dari gunung tersebut. Pengetahuan tentang pendakian dan gunung termasuk katagori NOL BESAR. Lagi-lagi karena rasa penasaran dan semangat, saya tidak banyak berpikir soal track, ketinggian dan yang lainnya. Sing penting melu!.

 

Perjalanan pendakian ke gunung Semeru dimulai dari Stasiun Senen – Jakarta dengan estimasi kegiatan menghabiskan empat hari: dua hari untuk perjalanan, dua hari untuk pendakian. Awal pendakian kita berbelanja di pasar Tumpang - Malang untuk keperluan logistic dan beranjut istirahat di homestay. Saya masih ingat sebelum pendakian di Basecamp Ranu Pane semua calon pendaki diberi arahan tentang pendakian termasuk tatacara survival dan cara berjalan di pasir vulkanik menjelang puncak.

 

Pukul lima sore dengan diiringi hujan deras kami dilepas oleh ranger Taman Nasional Bromo Semeru Tengger, suatu hal yang paling gila! Ujian mental pertama dimana meninggalkan pemukiman warga dan masuk ke belantara hutan disertai hujan. Seperti menggadaikan nyawa! Jiwaku masih bersemangat walaupun berkurang 20%. Semakin masuk ke hutan mata menyerap cahaya begitu sedikit dan gelap, senter dikeluarkan. Berbekal cahaya senter kami berjalan seperti bebek beurutan satu per satu membaris, tanah merah basah dan air yang masuk ke kaos kaki mengigit kulit yang semakin lama ba’al (kebas).

 

Hujan masih tetap pada intensitas yang sama, sesekali berkurang namun masih saja mengeluarkan derai air dari langit yang jauh di atas sana.  Pada langit yang menangis aku mengadu dengan berkali-kali komat-kamit kalimat-kalimat suci, seakan-akan memelas pada Tuhan akan sebuah keselamatan. Suara gemuruh seperti sebuah pesawat terdengar, asing sekali suara gemuruh dengan gema. Kupikir itu adalah nyanyian para hantu penghuni Semeru, namun itu adalah anggapan salah setelah temanku menjelaskan bahwa sumber suara itu adalah sebuah badai. Aku kembali ciut, teringat akan nyawa yang sedari dulu hanya terjatah satu kali saja. Kami masih saja berjalan walau sudah lebih dari empat jam berjalan, sesekali berhenti. Berhenti bukan untuk istirahat melainkan untuk mengantre naik tebing. Satu persatu kami naik dengan batuan tali tambang, kilau tanah dan batu terlihat lebih terang karena pantulan air hujan.

 

Kami merasa paling kompak daripada pendaki lain, bagaimana tidak setiap ada jurang, lubang, ranting yang ada di atas kepala harus diberitahu agar tidak ada yang terluka atau terjerembab. Anehnya mentalku naik saat menjadi pemimpin rombongan, aku didaulat berjalan di depan. Padahal delapan orang lainnya adalah pendaki berpengalaman Sekarang saya menjadi kapten rombongan bebek. Pukul 00:30 kami sampai di Ranu Kumbolo, suatu danau suci yang berada di ketinggian 2000 Mdpl, sebuah hadiah yang pantas didapatkan setelah usaha pengadaian nyawa. Boleh dikata Ranu Kumbolo adalah titik tengah pendakian, dimana para pendaki biasanya mendirikan tenda untuk menginap. Aku tidak tahu seberapa sedih langit menangis, ya terlalu lama menangis sampai tanganku keriput menahan dinginnya suhu. Saya tidak berani untuk melepas sarung tangan barang dua menit, terlalu menyakitkan. Di ketinggian 2000 Mdpl angin semakin kencang terlebih Ranu Kumbolo adalah sebuah ceruk tempat jalan angin. Setiap ada angin terdengar sekali gemuruhnya, seperti suara angin yang masuk ke jerigen tempat ibu-ibu membeli minyak. Termometer menunjukan 3 derjat celcius, kami masih bergulat menderikan dua tenda. Sebelumnya kami merencanakan membuat tiga tenda, namun apa daya satu tenda basah karena tidak ditutupi plastik.

 

Dari sepuluh orang pendaki terdapat dua perempuan, saya masuk dan tidur dengan dua perempuan tersebut. Dan inilah pertama kali aku bugil di depan perempuan, walaupun mereka membelekangi saya agar tidak melihat bagian lain dari anatomi tubuhku. Aku berani karena aku ingin hidup! Kondisi baju basah memaksakan semua pendaki untuk ganti baju, dan ini merupakan kunci keberlangsungan manusia dari ancaman kematian yang diakibatkan dari hipotermi. Biasa jadi karena terlalu lelah, tidur di Ranu Kumbolo terasa lebih cepat dan sangat nyaman, tidak ada ayam berkokok membangunkanku. Melainkan riuh pendaki lainnya yang mempersiapkan memasak makanan.

 

Pukul 10:00 kami berangkat kembali memalui Oro-oro Ombo, sebuah savanna indah berwarna ungu, indah seperti padang lavender. Sebelum ke Oro-oro Ombo kami harus berusaha keras untuk mendaki Tanjakan Cinta, sebuah tanjakan yang fenomenal bagi para pendaki. Tanjakan ini sangat panjang dengan kemiringan yang lumayan curam, ada mitos yang berlaku di sini “Barang siapa menanjaki Tanjakan Cinta tanpa melihat ke belakang maka cintanya abadi”  dan aku berhasil tanpa melihat ke belakang! Tapi cinta abadi untuk siapa? Aku jomblo.

 

Pukul Empat sore kami sampai di Kalimati, sebuah tempat di mana batas aman untuk para pendaki membuat tenda. Kalimati merupakan titik pertama aman jika terjadi letusan, pendaki masih biasa menyelamatkan diri dari wedus gembel. Sumber air juga tersedia di sini, walaupun lumayan jauh, paling tidak butuh 10-15 menit. Kalimati ini seperti lapangan dengan rumput khas pegunungan, pinggirnya ditumbuhi cemara. Beberapa cemara dibelit kain putih sebagai tanda suci, sacral dan agung. Ada kejadian yang boleh dipercaya atau tidak, saat hendak buang air kecil kami berjalan seperti jauh sekali, padahal kakus itu hanya selempar batu atau 20 tenda dari tenda kami. Karena merasa janggal, kami tidak jadi ke kakus, dan buang air kecil di belakang tenda.

 

Pukul 00:30 kami bangun dan siap berangkat menuju puncak!!! Tenda ditinggal bersama beberapa harta bawaan lainnya. Arni, satu teman kita tidak ingin melanjutkan samapai ke puncak. Dia merasa ada hal lain yang mengharuskan dia tetap tinggal di tenda, walaapun kondisi dia sehat. Kami tinggalkanArni sendiri, dan menitipkan ke tetangga tenda. Jujur ini seperti yang tidak bertanggung jawab atas nyawa orang lain, walaupun Arni dalam keadaan sehat.

 

Pendakian menuju puncak adalah momen yang mengandung “bawang”, betapa tidak air mata keluar melihat keindahan alam dan perjuangan pegadaian nyawa. Pasir vulkanik yang terinjak begitu kasar dan masuk ke sepatu menekan kulit yang tipis dan terasa nyeri. Satu langkah/injakan biasa mundur tiga injakan. Teknik mendaki di pasir vulkanik yang tanpa pohon harus zigzag agar pasir tidak memadat ke dalam dan kita biasa cepat sampai ke puncak. Di zona non-vegetasi komat-kamit semakin banyak terlebih dengan terpaan angin yang kencang, kemiringian yang curam dan glindingan batu dari pendaki yang mengugurkannya. Saat ada glindingan batu semua berteriak menginggatkan, di area non-vegetasi tidak boleh ngantuk dan harus konsentrasi, di sinilah banyak maut menawari roh untuk keluar dari tubuh.

 

Pukul 03:30 saya menjadi pendaki pertama Indonesia yang sampai puncak bersama lima bule Perancis. Aku pikir ditinggal teman-teman, ternyata sebaliknya. Angin begitu kencang, mau tidak mau aku mesti berpelukan erat dengan kelima bule itu. Sepuluh menit kemudian ada teriakan yang memanggil namaku, ternyata Mas Lukman dan Mbak Esti. Aku bersyukur bertemu kembali dengan mereka dengan keadaan sehat.

 

Begitulah cerita dari saya.

 

Pendakian gunung memang tidak sembarangan karena taruhan nyawa, jika ada jatah nyawa tiga kali seperti sebuah game pastinya banyak orang akan mecoba hal-hal ekstreme. Pendakian bukan hanya soal keberanian semata. Banyak teknik dan persiapan yang matang. Apa saja persiapan yang mesti ada pada pendaki: peralatan pedakian, mental, jasmani, teknik naik gunung, memasak, logistic, pengetahuan kesehatan dan kedaruratan. Adapun sisi indah dari pendakian: melihat pemandangan indah, melihat karakter seseorang, mengolah emosi dan mental, belajar survival hidup, dan banyak lagi.

 

Terima kasih atas kesempatan yang diberikan kak Maria.

 

Jaga malam menjelang Imlek, 10 Februari 2021.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nama-nama Tai

Sega, beras yang ditanak Apa benar bahasa Jawa itu terlalu 'manut' ke bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris? Tampaknya ada benarnya juga, bahasa Jawa terpengaruh/meminjam banyak kosa kata dari bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Kekurangan kosakata dalam bahasa Jawa memang kebanyakan untuk hal-hal seperti teknologi ataupun hal lainnya. Jangan berkecil hati untuk penutur bahasa Jawa di seluruh dunia! Perlu diingatkan bahasa Jawa mempunyai keunikan tersendiri, misalnya saja untuk belajar bahasa Jawa 'satu paket' atau juga keseluruhan dari bahasa kasar/ngoko, bahasa sedang/madya hingga bahasa halus/kromo, sama saja belajar tiga bahasa!! Bayangkan belajar tiga bahasa, apa gak repot ya?! Itulah keistimewaan bahasa Jawa. Bersyukur! Berbagai keistimewaan bahasa Jawa juga terdapat di istilah-istilah yang sangat detail/spesifik pada suatu beda yang mengalami sebuah perubahan sedikit maupun perubahan besar. Misalnya saja untuk rangkaian nama dari sebuah padi/po

Secangkir Kopi Instan Vietnam: G7 CA PHE THU THIET

Kopi Instan Vietnam G7 3In1  Pulang dari kantor perwakilan VOV di Jakarta saya mendapatkan beberapa oleh-oleh istimewa dari Vietnam, salah satunya kopi instan asal Vietnam. Jenama kopi instan itu adalah G7 CA PHE THU THIET, milik perusahaan besar kopi Vietnam. Perusahaan kopi ini menyediakan berbagai produk kopi instan yang didagangkan ke beberapa negara dunia. G7 CA PHE THU THIET mempunyai beberapa jenis diantaranya: G7 2in1, G7 3in1, Pure Black, Cappuccino, Strong X2, Passiona dan White Coffee. Di Indonesia sendiri kopi Vietnam G7 3in1 masih dijual secara online melalui Shopie.Id, Bukalapak dan yang lainnya. Setiap toko online membandrol harga yang bermacam macam, berkisar dari Rp 70.000 sampai 150.000.  Cara Penyeduhan Cara penyeduhan seperti pada umumnya kopi instan lainnya dengan air panas baik 80°C atau 100°C atau bisa menggunakan air es sebagai hidangan kopi dingin. Siapkan cangkir kopi, sobek bagian atas kemasan, masukkan kopi, tuang air panas atau d

Mengenal Tanaman Kangkung Bandung (Kangkung Pagar)

Kangkung Bandung, sudah tahu tanaman ini? Menurut buku  biologi tanaman ini berasal dari Amerika Latin (Colombia, Costa Rica). Ciri tanaaman ini tumbuh tidak terlalu tinggi cuma sekitar satu meter sampai dua meter maksimal tumbuhnya. Kangkung Bandung tidak bisa dimakan layaknya kangkung rabut atau kangkung yang ditanam di atas air. Bentuk daun menyerupai kangkung yang bisa dimasak (bentuk hati) begitu juga dengan bentuk bunganya. Bunganya berbentuk terompet berwarna ungu muda terkadang juga ada yang berwarna putih. Batang Kangkung Bandung cukup kuat sehingga memerlukan tenaga cukup untuk memotongnya (tanpa alat).  Tanaman Kangkung Bandung Sebagai Patok Alami Pematang Sawah Fungsi dan manfaat Kangkung Bandung sendiri belum diketahui banyak, beberapa sumber mengatakan tanaman ini bisa dijadikan obat dan dijadikan kertas. Pada umumnya masyarakat desa menjadikan Kangkung Bandung sebagai tanaman untuk ciri (patok) batas antar pemantang sawah. Daya tumbuh tanaman ini cukup baik d