Mentari pagi seakan ikut kedinginan karena udara kemarau yang menjelma, kabut kemarau memenuhi ruang angkasa sehingga mentari enggan bersinar karena dinginnya kemarau. Senada dengan mentari para manusia pun mengeluh akan sensasi rasa yang diterima saraf mereka. Tertusuk dingin dari kulit sampai dengan tulang yang kuat pun roboh karena dinginnya kemarau.
|
Aktifitas Nelayan Di Pantai Timur |
Kokok ayam dan suara toke di rumahku nampaknya tidak mempan menembus gendang telinga Sinyo Yoyon. Jelas saja dia sudah terbiasa tidur mulai jam tiga dini hari ataupun jam empat jadi kokok ayam jam enam pun tidak ada pengaruhnya. Membiarkan Tuan muda untuk menikmati dinginnya pagi di tempat tidur untuk sejenak istirahat.
Pagi ini ibu sudah menyebarkan aroma masakan di dapur tradisionalnya yang terbuat dari tumpukan batu bata dan tanah lempung yang ia buat lima tahun kebelakang. Hidangan yang sederhana selalu ibu sediakan untuk para tamu di rumah kami tanpa memilah apakah ini tamu jauh ataupun bukan. Bagi ibu semua tamu adalah istimewa yang mesti disuguhi masakan tradisional yang akan membuat orang terkesan akan budaya yang ia anut. Aroma kali ini tercium sebagai lodeh daun melinjo dan beberapa gorengan Jawa. Tidak merasa canggung saya bangunkan Sinyo Yoyon untuk santap pagi.
|
Pose Di Pantai Barat |
Persiapan untuk menjelajah wilayah Pangandaran tidak banyak hanya seperangkat tenda, kamera, baju ganti,
hammock,
sleeping bag dan peralatan mandi. Hanya butuh waktu sepuluh menit saja untuk membereskan semua peralatan yang kami bawa. Usai rapi dengan semua peralatan ucapan doa kelancaran perjalanan diucapkan setiap sanubari masing-masing dan meminta izin ke orang rumah.
|
Pose Terbang |
Jalanan nampak legang namun ramai akan
umbul - umbul dan bendera merah putih yang berjajar di kiri kanan jalan baik jalan raya maupun jalan kecil. Seakan kesemarakan ini menyambut tamu saya yang jauh tapi bukan karena tamu saya bendera itu dikabarkan melainkan untuk penghormatan kepada para pahlawan yang telah memperjuangkan Indonesia ke kemerdekaan yang sempurna. Berjajar dan meriahnya bendera membuat Sinyo terkagum akan rasa nasionalisme masyarakat di sini. Bahkan dia pikir ada acara besar seperti festival, dia juga sempat bingung orang membuat air berwarna di pajang dan digantung di ranting pohon seperti pohon natal. Dan saya jelaskan kembali bahwa itu hiasan kemerdekaan di bulan agustus yang dimulai tanggal 1 Agustus sampai tanggal 31 Agustus.
Sampai di Saung Buleud kami istirahat untuk menikmati kelapa muda segar. Sambil menikmati hutan tropis dengan jembatan kereta api terpanjang di Indonesia. Tak lama hanya sekitar dua puluh menit saja istirahat dan buang hajat. Sempat bingung untuk menentukan destinasi yang dipilih saya akhirnya memilih pantai Pangandaran untuk perkenalan sekilas sebelum menikmati malam di sana. Di pantai timur Pangandaran kami menikmati aktifitas nelayan yang sedang menjaring ikan tak lama karena tidak tahan bau ikan akhirnya kami pindah ke pantai barat Pangandaran untuk perkenalan saja selanjutnya kami pindah ke Citumang.
|
Bening Airnya |
Jalan rusak terasa nikmat karena cuaca yang cerah ditambah pemandangan yang sangat luar biasa dimana para petani sekitar Citumang sedang panen raya. Padi kuning bagai hamparan buliran emas yang berharga. Rencana kami hanya
body rafting di Citumang dilanjutkan dengan selusur pantai sampai Batu Karas.
|
Di Dalam Gua |
Penawaran demi penawaran kami mendapatkan harga yang cukup mendukung dengan harga perorang 110K tanpa makan jikalau dengan paket makan bisa 150K perorang. Di sini saya malu sekali karena semua ditanggung oleh Sinyo. Maafkan dan terima kasih.
Acara rafting berjalan lancar dan gembira. Rekaman kebahagiaan tersimpan di lubuk masing-masing dengan persepsi masing-masing. Mencoba untuk terjun dari tebing ketinggian tujuh meter ternyata membuat saya dan Sinyo kalap. Akhirnya kembali menuruni tebing dengan akar. Mencoba berenang memasuki sungai bawah tanah yang luar biasa menyeramkan, kami ditemani beberapa bule dan rombongan orang Bandung.
|
Di Batu Hiu |
Lepas lelah dari aktivitas
rafting kami pindah ke Batu Hiu dan Batu Karas tanpa bilas. Tak apalah nanti juga kering sendiri karena angin jalanan dan pantai. Tidak banyak yang kami lakukan selain foto di kedua pantai itu. Lepas dari itu kami kembali ke Pangandaran untuk menikmati
sunset hanya di pertengahan jalan Xride bocor ban di belakang karena melewati jalan yang rusak dengan kecepatan tinggi maklum mata saya tidak awas walaupun kacamata sudah terpasang.
|
Surfing Dengan Bendera |
Antrean di bengkel motor tidak membuat kami terlambat untuk menyaksikan tenggelamnya sang surya di lautan Hindia. Dan ini anugerah bagi saya karena menyaksikan keindahan siluet kijang liar di cagar alam sungguh membuat hati saya merasa kagum. Begitupun Sinyo yang biasa menjadi pemburu ulung merasakan keanehan karena rusa bisa berjalan dengan santai di pantai tanpa takut dengan orang yang lalu lalang.
|
Rusa Pantai Pangandaran |
Beberapa ekor rusa tampak terekam oleh kamera saya nampak cantik memang. Berjalan kembali ke pantai pasir putih untuk menikmati sisi keindahan Pangandaran. Di sini kami menyaksikan
sunset yang kurang sempurna karena kabut tebal yang menyelimuti ujung langit. Namun sinar jingga yang indah tak melunturkan keindahan saat itu.
Ritual sunset usai dalam beberapa menit memaksa kami untuk pergi ke Bulak Laut untuk menikmati hidangan dan mendirikan tenda. Sesampainya di sana, berita dari Bandung terdengar diujung kawat telpon genggam yang mengharuskan Sinyo untuk kembali dan berbisnis. Bukan suatu penyesalan karena pantai tidak akan pergi sementara perjanjian bisnis akan hilang begitu saja. Kucari informasi kereta dengan tiket go show yang dijual di stasiun Banjar.
|
Sore sebelum Sunset |
Perjalanan pulang disetiri oleh Sinyo Yoyon sampai dengan stasiun karena kondisi kesehatan saya menurun. Saya menunggu Sinyo sampai mendapatkan tiket dan setelah mendapatkan tiket saya pamit pulang. Terima kasih telah menjadi tamu saya dan terima kasih atas semunya semoga Tuhan selalu memberikan yang terbaik. Amin
Komentar