Tulisan ini merupakan saduran dengan tambahan reka ulang dari materi yang disampaikan oleh Bapak Fahruddin Faiz, seorang dosen di UIN Sunan Kalijaga. Materi ini pernah diudarakan di radio Unisia untuk sesi kultum bulan ramadhan dengan judul Falsafah Puasa. Semoga bermanfaat bagi yang membaca.
Manusia diciptakan dengan dua sifat yang berbeda yakni sosial dan individual. Dalam kehidupan dunia ini barang tentu manusia menjalin interaksi dengan manusia lainnya. Kedua sisi sifat manusia itu tentunya punya skala dan kadar masing-masing yang harus pas untuk mendapatkan kehidupan yang baik. Demikian manusia membutuhkan diri untuk menyediri dan 'mempuasakan' diri untuk berinteraksi dengan yang lainnya. Waktu-waktu menyendiri itu dibutuhkan manusia untuk lebih dekat dengan dirinya sendiri, maupun dengan Tuhannya. Tentu saja waktu privat itu digunakan dengan tujuan tertentu oleh manusia itu sendiri.
Ilustrasi Pertemanan Dan Media Sosial |
Berbagai jalinan interkasi sosial dibutuhkan karena alasan budaya, ekonomi dan lain sebagainya untuk menjalankan semua peran manusia di bumi. Namun dalam interaksi sosial tersebut tentunya menemukan berbagai dinamika sosial yang kadang menurunkan kadar spiritual kita sendiri. Diakui atau tidak bahwa dalam interaksi sosial semacam itu ada seseorang yang bersifat meruntuhkan semangat spiritual ataupun melupakan hal-hal yang bersifat keagamaan. Kehidupan nyata ini membuat kita susah untuk bersikap arogan, angkuh dan pemilih dalam hal pertemanan. Selektif dalam memilih teman adalah hal wajar, tapi ada kalanya harus menerima teman yang berbeda karakter.
Mempunyai teman yang berkarakter menurunkan kadar spiritual, daya spiritual dan selalu mengalukan dunia adalah sesuatu yang harus diterima dan sebisa mungkin pengaruh-pengaruh tersebut tidak menjalar ke kehidupan kita. Filsuf Al Ghazali dalam bukunya Hidayatul Hidayah menyebutkan beberapa kiat dan sifat-sifat pertemanan. Ghazali juga memberikan rumus yang tepat saat mengahadapi teman yang mempunyai karakter peluruh spiritualitas. Bagi Ghazali teman dengan karakter tersebut harus diperlakukan spesial daripada teman yang lainnya, jika tidak maka akan menyusahkan diri sendiri. Bagaimana rumus pertemanan ala Ghazali?
Pertama, tidak ikut berbicara lama. Perbincangan yang lama dengan mereka tentunya sedikit banyak akan terpengaruh. Boleh saja berinteraksi dengan meraka hanya saja jangan terlalu lama, baik berinteraksi langsung maupun melalui media sosial.
Kedua, abaikan ucapan-ucapan dusta mereka (isi kalimat). Diantaranya pembicaraan mereka yang bersifat 'bodoh' berisi kalimat-kalimat dusta atau bohong. Ghazali memberi rumus jangan terlalu serius dan diambil hati saat kata-kata dusta atau bohong dari mulut mereka.
Ketiga, abaikan ucapan-ucapan buruk mereka. Dalam hal ini yang disebut adalah pemilihan kata yang buruk dan kosakata yang jelek. Abaikan saja pemilihan kata buruk tersebut. Khwatirnya koleksi kata tersebut menjadi data yang tersimpan dalam koleksi otak kita, yang mungkin kata-kata buruk tersebut tanpa sadar keluar dari mulut kita.
Ke-empat, berusahalah untuk jarang bertemu, jarang butuh, tidak banyak keperluan dengan orang-orang tersebut. Ghazali menyebut bahwa cara tersebut bukan merendakan mereka tapi sebagai benteng kualitas spiritual yang telah ada dalam diri. Jika kita merasa lemah dalam hal spiritualitas maka lindungilah diri dengan hal seperti yang disebutkan. Menghindari butuh adalah jalan ampuh. Kenapa? Karena menghindari butuh berarti menghindari diri dari ketergantungan, berinteraksi dan terikat dengan orang yang memberi kebutuhan itu kepada kita.
Kelima, menginggatkan mereka jika ada kemungkaran dan kedustaan yang mereka sampaikan. Ingatkanlah mereka dengan lemah lembut tanpa melecehkan mereka di depan orang. Nasehat-nasehat tentunya mempunyai waktu dan situasi yang pas untuk dapat diterima oleh mereka.
Demikian Ghazali memberikan lima rumus berinteraksi dengan teman yang berkarakter menurunkan kadar spiritualitas. Ghazali juga mengolongkan manusia dalam beberapa tipe golongan, seperti:
Manusia jenis makanan: manusia jenis 'makanan' ini, manusia yang tiap hari kita butuhkan tiap harinya.
Manusia jenis obat: manusia jenis 'obat' ini kita perlukan sewaktu-waktu saja.
Manusia jenis penyakit: manusia yang tidak perlu dibutuhkan, tapi kadang-kadang datang ke kehidupan kita sebagai ujian, musibah dan tantangan dari Tuhan.
Demikian saduran dari falsafah puasa yang dibawa oleh Bapak Fahruddin Faiz. Semoga bermanfaat.
Komentar