Merupakan cerita wayang dari kisah Mahabharata, episode ini merupakan penggalan kecil dari Mahabharata tentang sebuah percintaan. Kisah ini bisa membuat pembaca terbawa nuansa, seperti yang disebut oleh sang penulis, pada umumnya para kaum ibu merasa tersayat hatinya saat membaca episode Mahabharata ini.
Saya mendapatkan buku kolot ini dari "kotak sepuluh ribu" di lapak buku murah di Blok M Jakarta. Harga cuma Rp 10.000 saja, padahal biasanya buku asli terbitan lama harganya cukup mahal sekitar 30.000 sampai harga yang susah dijelaskan nilai rupiahnya. Rasanya dapat handphone apple terbaru di pinggir jalan, yeeee!. Berhubung saya beli empat buku sekaligus, jadi harga 'rontok' sampai pas di saku.
Pada awal baca seperti biasa untuk memahami wayang, otakku memang cukup keras untuk melebur pada buku atau cerita wayang. Terlebih bahasa yang digunakan terlalu kolot, jadi perlu pemahaman yang cukup dalam. Bukan hanya bahasa, soal silsilah, nama tokoh dan tempat juga membingungkan otakku yang baru mengenal dunia perwayangan.
Ada alasan tersendiri memilih buku ini, alasan utama paling dalam dari saya sendiri adalah mengenal budaya etnis sendiri. Saya seorang Jawa yang lahir dan besar di Jawa Barat tidak mempunyai akar yang kuat untuk menumbuhkan pohon budaya yang amat besar itu. Beruntung akar-akar otak menumbuhkan rasa ingin tahu pada pohon besar budaya itu.
Pada awal membaca sedikit pusing karena pengenalan dari tokoh, tempat dan nama lain yang kurang begitu familiar dari kacamata bacaku. Namun setelah lembar ke 20 cerita sudah bisa dinikmati dengan lezat. Di sini saya juga akan merangkum sedikit dari alur cerita ini:
Episode Mahabharata ini menceritakan kisah percintaan yang runyam, bermula dari Buriswara yang menginginkan Sumbadra sejak kecil mula, namun semesta berkata lain hingga takdir membawa Sumbadra menikah dengan Arjuna. Buriswara adalah saudara dari Arjuna, kecemburuan yang tak tertahan hingga membawa langkah kakinya pergi ke hutan dan di sana mencari dukungan dan kekuatan untuk merebut Sumbadra dari jalinan perkawinan dengan Arjuna.
Rencana lancang itu datang dengan pintu yang terbuka lebar saat Arjuna mencari hewan-hewan yang akan dijadikan mainan anaknya. Buriswara menjalankan rencana haramnya itu, langkah picik diawali dengan mengutus dua Buta (raksasa) jahat yang akan menjahili Arjuna, sehingga membuat waktu pemburuan memakan waktu lama. Uluran waktu dari kejahilan Buta dimanfaatkan Buriswara untuk menemui Sumbadra.
Kesempatan bertemu dan keberuntungan yang diramalkan sebelumnya oleh Dewa tepat terjadi. Buriswara menjalankan niat najisnya kepada Sumbadra di rumahnya, drama terjadi hingga meninggalnya Sumbadra karena bunuh diri dengan tujuan menjaga kesucian diri. Sementara Arjuna yang masih bertarung dengan Buta, disusul oleh Nakula dengan membawa kabar duka yang sangat pahit. Belasan kali Arjuna pingsan dengan mata yang basah oleh air mata, semua seakan-akan semu.
Perisapan upacara kematian sudah disiapkan, jenazah dari Sumbadra didandani dengan sangat ayu, semua keluarga tampak sedih. Percakapan demi percakapan berjalan sejalan dengan tempo yang terurai, pada kesempatan ini Sri Kresna merelakan bunga Wijayakusuma untuk menghidupkan kembali jenazah yang mati bukan karena takdir. Prosesi pembangkitan jenazah kehidupan kembali berjalan lancar, namun ternyata jenazah Sumbadra tidak kembali hidup, karena saat prosesi pembangkitan jenazah disematkan pesan agar jangan bangun terlebih dahulu guna mengetahui siapa yang tega berbuat bejat pada Sumbadra.
Cara pembuktian pelaku pembunuhan Sumbadra cukup unik yakni dengan melarung (menghanyutkan) jenazah pada sebuah perahu, dimana seseorang mengambil jenazahnya maka dialah pelakunya. Pada kenyataan-nya jenazah Sumbadra dihidupkan oleh Antareja yang pada saat itu mencari saudaranya di muka bumi. Di saat Sumbadra hidup terjadilah perang antar kakak adek yang belum saling mengenal. Cerita berlanjut dengan drama-drama yang cukup membuat hati merasa kesal karena sang pelaku jahanam itu dimaafkan pada akhir cerita.
Penulis: Sunardi D.M
Penerbit: Balai Pustaka
Tahun Terbit: 1987
Terbitan: 2 (dua)
ISBN: 979-407-090-4
Jumlah Halaman: 138
Alhasil setelah membaca dengan khatam, bisa diberikan nilai 3 dari 5. Dalam buku tua ini terdapat beberapa gambar tokoh dalam cerita dengan gambaran atau bentukan wayang kulit, setidaknya para pembaca dibantu mengenal tokoh-tokoh tersebut dalam bentukan wayang kulit. Gambar tokoh wayang tidaklah berukuran kecil yang menyakitkan mata, pada buku ini tersedia satu halaman penuh dengan detil yang baik. Penggunaan bahasa untuk hari ini masih relevan, namun sedikit agak tua (Bahasa lama), jadi ada beberapa istilah atau susunan kalimat yang membingungkan untuk generasi muda sekarang. Saya yakin bahasa yang digunakan pada buku ini pada zamannya adalah bahasa yang luwes dan 'kekinian', penulis juga menyebut bahwa buku ini membawa penikmat wayang dengan Bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti. Berlainan pada teks pewayangan yang umumnya menggunakan bahasa Jawa Halus, atau Bahasa Jawa Lama.
Tentang penulis, terlahir dengan nama Sunardi D.M lahir di Sala (Solo), 1 Juli 1923. Pada saat buku ini diterbitkan beliau menjabat sebagai pemimpin redaksi dan penanggung jawab, merangkap wakil direktur Harian Berita Yudha yang terbit di Jakarta. Beliau juga pernah menjabat sebagai Sekertaris Jendral Persatuan Wartawan Indonesia dan Asean. Beliau meninggal pada 8 April 1987 meninggalkan seorang istri, dan lima orang anak.
Komentar