Langsung ke konten utama

Corat Coret Di Toilet - Eka Kurniawan

Arus Balik Bersama Pramoedya Ananta Toer

Judul: Arus Balik
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Hasta Mitra
Tahun terbit: Maret 2002 (Cetakan ke-lima)
ISBN: 979-8659-04-X
Jumlah halaman: 760 halaman
Desain Buku: Marsha Anggota
Sampul Depan: Hitam Graphic Studio

Adalah buku karya Pramoedya yang ke-delapan yang pernah saya baca dan bagiku 'Arus Balik' adalah karya terbaik beliau setelah tetralogi Pulau Buru. Buku ini merupakan jenis fiksi sejarah mengenai kerjaan Majapahit masa lalu dengan segala permasalahan baik negara, budaya, agama maupun percintaan. Selanjutnya mengenai isi cerita yang saya tangkap akan dijelaskan satu persatu di paragraf-paragraf di bawah. Untuk menyelesaikan satu judul buku ini saya membutuhkan waktu sekitar satu bulan penuh dengan segala kesibukan dan juga dibarengi membaca buku lainnya. 

Untuk menikmati buku ini saya pikir harus membaca dengan tenang dan menyelaraskan logika pada zaman itu, jika ada sesuatu yang mengganjal ataupun menarik saya sarankan untuk melihat Wikipedia ataupun mesin pencarian Google agar membaca cerita ini semakin menarik. Pada umumnya alur cerita bergerak maju, beberapa paragraf ada yang mundur. Bahasa yang digunakan Pramoedya tentunya menggunakan bahasa dengan gaya tahun 1980 ataupun 1970 dengan nuansa kental Jawa, jika menemukan kesulitan dalam membaca bisa mencari padanan kata di kamus luring. Bagiku penggunaan bahasa ataupun pemilihan kata dari cerita ini sangatlah sederhana, apik dan menarik saat dibaca. Bagiku tidak ada satupun kalimat yang ambigu, ataupun memusingkan dalam pemaknaan. Hanya saja pertama kali agak sedikit kagok membaca tokoh yang bernama Pada dengan kata "pada" yang berarti kata depan yang menunjukan posisi. Selanjutnya di awal membaca kadang saya sedikit pusing karena beberapa tokoh mempunyai nama alias yang cukup banyak.

Baiklah, semakin penasaran kan bagaimana saya menyerap buku cerita ini?! Tetap lanjutkan membaca ya agar semua bisa mengerti ataupun tertarik membaca bukunya, walaupun artikel ini termasuk sebuah bocoran yang sangat besar. 

Tokoh-tokoh 
Cerita ini asyik sekali dibaca terlebih dengan jumlah tokoh yang tidak terlalu banyak, jika dihitung ada sekitar 12 orang tokoh yang muncul di cerita ini, adapun tokoh utama cerita ini tidak lain seorang Wiranggaleng atau Kang Wira. Seperti cerita hebat lainnya baik dunia nyata ataupun fiktif, 'Arus Balik' membawa kisah anak desa yang gigih dengan perjuangannya hingga mencapai puncak suatu apa yang disebut 'sukses'.

Wiranggaleng, sosok utama dalam cerita ini dia adalah seorang pemuda desa yang terpengaruh kuat oleh Rama Cluring hingga membangkitkan dirinya untuk memperjuangkan Tuban. Sepak terjangnya sangat banyak sekali mulai dari perjuangan menjadi pegulat nomor satu di Tuban, Syahbandar muda, ekspedisi ke Malaka untuk menyerang Peranggi, penyerangan pada Ki Aji Benggala dan penyerangan Peranggi yang menduduki Tuban. 

Idayu, seorang gadis dewa yang cantik dan seorang penari. Idayu adalah kekasih Wiranggaleng yang setia walaupun halangan cinta sangat bertubi-tubi menimpanya. Mempunyai dua anak bernama Gelar (hasil dari pemerkosaan oleh Syahbandar Tholib Sungkar) dan Kumbang (anak dengan Wiranggaleng).

Pada atau Mohammad Firman, seorang petugas selir Adipati Tuban pernah jatuh cinta pada Idayu dan menganggap Wiranggaleng sebagai kakaknya. Menolong nyawa Idayu, Gelar dan Kumbang saat penyandraan oleh Ki Aji Benggala. Dia juga ikut dalam ekspedisi ke Malaka dengan Wiranggaleng hingga akhirnya menetap di semenanjung Malaya dengan istrinya, Seruni.

Rama Cluring, sosok sepuh yang pernah hidup dalam kejayaan Majapahit. Pada akhir hidupnya dia selalu mendengungkan segala nasehat dan puja-puji kejayaan Majapahit. Dia lah sosok yang menginspirasi Idayu dan Wiranggaleng.

Adipati Tuban, seorang pemimpin yang gila akan selir, terlalu 'adem' dengan segala persoalan pemerintahan, matinya merana dengan banyak kegagalan yang diderita oleh Negri Tuban.

Syahbandar Tholib Sungkar, seorang picik bekas syahbandar Malaka yang kabur ke Tuban. Nafsu yang tinggi membuatnya menjadi seorang rakus, picik, bejat dan hina. 

Ki Aji Benggala, seorang bekas Syahbandar Tuban yang dipecat oleh Adipati Tuban atas bisikan Syahbandar Tholib Sungkar. Sakit hatinya Ki Aji Benggala membawanya memberontak pemerintahan Tuban dan mendirikan padepokan untuk menyerang Tuban.

Gelar, seorang anak dari Idayu hasil pemerkosaan oleh Syahbandar Tholib Sungkar. Pemuda gagah ini dirawat dan dididik oleh Idayu dan Wiranggaleng sehingga mempunyai kesaamaan tujuan dengan bapaknya Wiranggaleng. 

Beberapa tokoh yang cukup penting muncul seperti Sultan Trenggono, Ratu Aisyah, Sabarini, Kumbang, Boris, Rodriguez, Kala Cuwil, Esteban dan yang lainnya.

Keadaan Keberagamaan
Pada cerita ini bisa disebut sebagai gambaran Indonesia zaman sekarang dimana satu sisi manusia Indonesia hidup dengan kedamaian dalam beragama, satu sisi ada sebuah keonaran yang dibuat dengan agama sebagai alat ataupun topengnya. Ternyata kata 'kafir' sudah terceritakan di cerita ini, saya akui sebagai muslim sakit hati juga jika menyebut orang lain yang beda agama dengan sebutan ini. Bagiku kata kafir tidak akan berdampak besar pada kehidupan beragama, jika hanya digunakan di lingkungan agama tersebut. 

Penggambaran keagamaan terbagi dua yakni pada sisi manusia baik yang membawa agama dengan murni sebagai tuntunan hidup, sementara satu sisi ada manusia membawa agama sebagai alat pemuas nafsu duniawi mereka. Baik pemeluk Islam, Buddha Siwa, dan Kristen semua tercitra dalam dua kelompok berbeda, di sini saya merasa tercerahkan karena ada pelajaran bahwa semua agama membawa kebenaran dan kebaikan, hanya manusianya saja yang bisa menjalankan dengan baik atau membawanya untuk sebuah keangkuhan nafsu.

Ada adegan yang membuat saya terpesona terutama ajaran menghormati orang tua, ajaran ini berasal dari Buddha Siwa yang dianut oleh Idayu dan Nyi Gede Kati. Pada adegan tersebut ke-dua orang tersebut mengutuk dan membenci perbuatan dari Gelar yang telah menganiya ayahnya, Syahbandar Tholib Sungkar. Dalam ajaran Budhha Siwa dilarang keras seorang anak membunuh bapaknya walaupun sangat jahat dan begitupun sebaiknya seorang ayah tidak boleh membunuh anaknya sendiri walaupun sebegitu jahatnya.

Gambaran toleransi yang tinggi terdapat di episode dimana seorang Pada dengan Idayu, dimana Idayu tidak memberikan Pada alias Mohammad Firman dengan daging babi. Dan ada juga persembahan keramik dari perantauan Tionghoa untuk pembangunan sebuah masjid. Gambaran kecil lainnya juga banyak ditemukan di beberapa paragraf Arus Balik.

Percintaan 
Bukan hanya masalah kenegaraan yang menjadi topik utama dalam cerita ini, namun bubuhan cerita cinta yang membuat pembaca terbuai dan terpesona dengan segala keindahan sebuah cinta. Tokoh utama Wiranggaleng dan Idayu adalah sepasang kekasih yang mempunyai cinta murni. Rasa cinta yang suci ini tidak pernah tergoyahkan walaupun aturan kerajaan ataupun budaya saat itu memaksa sang Idayu untuk diperistri oleh Adipati Tuban. Kecintaan sepasang kekasih itu ternyata tidak luntur begitu saja, walaupun banyak sekali rintangan yang mereka peroleh seperti diperkosanya Idayu oleh Syahbandar Tholib Sungkar Az Zubaid hingga mempunyai anak yang bernama Gelar. Jarak dan waktu tidak pernah membuat mereka lupa akan rasa cinta mereka, dua kali Idayu ditinggal ke Malaka oleh Wiranggaleng tetap saja selalu cinta dan setia.

Idayu yang cantik jelita tidak mudah jatuh cinta begitu saja kepada lelaki lain, walaupun ada seorang yang mengaguminya yakni Pada atau Mohammad Firman. Idayu tidak sedikit pun menaruh rasa cinta pada Mohammad Firman, dan demikian lelaki itu pun tak berani berbuat mesum ataupun berbuat hal yang tak terpuji pada istri dari sahabatnya sendiri. Saya sendiri merasa pada bagian antara Idayu dan Muhammad Firman adalah sebagai gambaran bahwa cinta itu bukan untuk memiliki, rasa cinta adalah rasa cinta yang keluar murni. Memang rasa cinta itu susah sekali untuk hilang walaupun ada seribu wanita cantik ataupun lelaki gagah, sama seperti Muhammad Firman alias Pada. Beruntung dia bertemu Sebarini dan mulailah dia mencintai dengan kesadarannya. 

Kasih sayang seorang ayah pada anak begitu tergambar dengan indah dari Wiranggaleng yang menjadi 'ayah' dari Gelar yang sesungguhnya anak dari Syahbandar bejat. Ada drama yang membuat hati terenyuh saat Wiranggaleng pulang dan menemui Idayu, sementara dia melahirkan anak yang wajahnya berbeda dengan Wiranggaleng. Sesuai logika budaya dan agama saat itu Idayu meminta Wiranggaleng untuk membunuhnya dengan cudrik (senjata) karena telah mempunyai anak bukan dari suami sah-nya.

Ada kisah percintaan lainnya yang susah dimengerti yakni Nyi Gede Kati dan Syahbandar Tholib Sungkar yang dijodohkan oleh Adipati Tuban, perjalanan cintanya susah dimengerti mungkin karena sebuah perjodohan. Walaupun demikian ada sebuah pelajaran tentang cinta dan kepatuhan terhadap suami, hal ini tergambar pada sebuah episode dimana Syahbandar Tholib Sungkar dihukum dalam rangkeng dengan ketulusan cinta Nyi Gede Kati selalu memberinya makan dan minum. Ada kalimat yang membawa saya pada suatu hal yang belum terjelaskan, mungkin karena saya belum menikah begini ucapan Nyi Gede Kati "Terima kasih, Tuan. Suka atau tidak, sahaya adalah istri Tuan. Bagaimana bisa saya membiarkan Tuan begini?" Halaman 679.

Sedemikian kejahatan yang dibuat oleh Syahbandar Tholib Sungkar, namun tetap Nyi Gede Kati adalah seorang patuh dan welas asih pada suaminya. Nyi Gede Kati adalah gambar seorang perempuan yang membawa cinta dengan logika, dimana dia membenci sesuatu bukan pada diri orangnya melainkan benci pada perbuatan yang tidak terpuji itu. Nyi Gede Kati juga tidak pernah ragu untuk meninju suaminya saat berbuat kesalahan, tapi juga dia tidak meninggalkan suaminya saat kesusahan datang pada suaminya.

Sosial Budaya dan Kenegaraan
Untuk menikmati sebuah cerita masa lampau harus mempunyai keahlian baik memahami bahasa dan logika sosial budaya saat itu. Membaca dengan memaksakan ataupun masih menggunakan logika sosial budaya sekarang ini (dewasa ini) pada sebuah cerita dengan layar belakang masa lampau akan merusak keindahan sebuah cerita. Logika pada zaman itu dimana seseorang ataupun masyarakat biasa harus tunduk pada titah raja ataupun penguasa, apapun yang diperintahkan Adipati haruslah dikerjakan. Orang dulu percaya bahwa Raja ataupun Adipati adalah sosok penjelmaan ataupun titisan dari Dewa, sehingga karena kepercayaan itulah masyarakat patuh dengan segala titahnya. 

Gambaran kejayaan maritim Majapahit dan kerajaan kecil lainnya di Nusantara tergambar indah oleh cerita dari Rama Cluring. Dia selalu mendengungkan keagungan kejayaan Majapahit di setiap sudut desa dan didengarkan oleh Idayu dan Wiranggaleng. Benar menurut Rama Cluring bahwa bangsa yang besar seperti Majapahit tercermin dari kapal yang dibuat, semakin besar kapal yang dibuat maka semakin besar juga kerajaan tersebut, maka sebaliknya kerajaan yang masyarakatnya hanya membuat kapal kecil maka kerjaan tersebut termasuk pada kerajaan yang lemah dan kecil.

Sosial budaya pada zaman itu sangat toleran sekali terlebih pada seorang pendatang atau musafir, semua musafir diterima baik oleh masyarakat sekitar baik itu orang Peranggi (Eropa), Tiongkok, Arab, India, Bangladesh atau Tamil. Perkampungan Tionghoa juga terbentuk di Semarang, Lasem dan beberapa tempat yang lainnya termasuk Tuban saat itu. Ada perjanjian yang mengikat antara penguasa dengan Laksamana Muhammad Cheng Ho sehingga masyarakat Tionghoa hidup dengan perlindungan penuh.

Tidak sembarang orang membunuh pada zaman itu, semua manusia diperlakukan sama dihadapan hukum. Peranggi yang sembrono tidak akan dibunuh karena tidak membuat kesalahan fatal, dan pembunuhan akan diganjar dengan hukuman setimpal dan tidak sembarang dalam hal bunuh membunuh. Tatacara perang juga tidak sebrutal cara dikira, peperangan ala Jawa mempunyai tanggung jawab, mempunyai tata cara sendiri, tidak bisa langsung menyerang tiba-tiba dan menyusahkan masyarakat lain yang tidak terlibat.

Dari paparan di atas kiranya membuat Anda sekalian tertarik untuk membaca karya Pramoedya yang satu ini. Anda tidak akan menyesal membaca karya besar ini.




Komentar

Jarakdekat mengatakan…
Keren... saya jarang baca buku, tapi kalau ada buku seperti ini, maulah baca seharian.

Postingan populer dari blog ini

Nama-nama Tai

Sega, beras yang ditanak Apa benar bahasa Jawa itu terlalu 'manut' ke bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris? Tampaknya ada benarnya juga, bahasa Jawa terpengaruh/meminjam banyak kosa kata dari bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Kekurangan kosakata dalam bahasa Jawa memang kebanyakan untuk hal-hal seperti teknologi ataupun hal lainnya. Jangan berkecil hati untuk penutur bahasa Jawa di seluruh dunia! Perlu diingatkan bahasa Jawa mempunyai keunikan tersendiri, misalnya saja untuk belajar bahasa Jawa 'satu paket' atau juga keseluruhan dari bahasa kasar/ngoko, bahasa sedang/madya hingga bahasa halus/kromo, sama saja belajar tiga bahasa!! Bayangkan belajar tiga bahasa, apa gak repot ya?! Itulah keistimewaan bahasa Jawa. Bersyukur! Berbagai keistimewaan bahasa Jawa juga terdapat di istilah-istilah yang sangat detail/spesifik pada suatu beda yang mengalami sebuah perubahan sedikit maupun perubahan besar. Misalnya saja untuk rangkaian nama dari sebuah padi/po...

Mengenal Tanaman Kangkung Bandung (Kangkung Pagar)

Kangkung Bandung, sudah tahu tanaman ini? Menurut buku  biologi tanaman ini berasal dari Amerika Latin (Colombia, Costa Rica). Ciri tanaaman ini tumbuh tidak terlalu tinggi cuma sekitar satu meter sampai dua meter maksimal tumbuhnya. Kangkung Bandung tidak bisa dimakan layaknya kangkung rabut atau kangkung yang ditanam di atas air. Bentuk daun menyerupai kangkung yang bisa dimasak (bentuk hati) begitu juga dengan bentuk bunganya. Bunganya berbentuk terompet berwarna ungu muda terkadang juga ada yang berwarna putih. Batang Kangkung Bandung cukup kuat sehingga memerlukan tenaga cukup untuk memotongnya (tanpa alat).  Tanaman Kangkung Bandung Sebagai Patok Alami Pematang Sawah Fungsi dan manfaat Kangkung Bandung sendiri belum diketahui banyak, beberapa sumber mengatakan tanaman ini bisa dijadikan obat dan dijadikan kertas. Pada umumnya masyarakat desa menjadikan Kangkung Bandung sebagai tanaman untuk ciri (patok) batas antar pemantang sawah. Daya tumbuh tanaman ini cuk...

Menegang dan Mengeras Oleh Nyai Gowok

Ah...sialan! Padahal aku sudah kenal buku ini sejak Jakarta Islamic Book Fair tahun 2014 lalu! Menyesal-menyesal gak beli saat itu, kupikir buku itu akan sehambar novel-novel dijual murah. Ternyata aku salah, kenapa mesti sekarang untuk meneggang dan mengeras bersama Nyai Gowok. Dari cover buku saya sedikit kenal dengan buku tersebut, bang terpampang di Gramedia, Gunung Agung, lapak buku di Blok M dan masih banyak tempat lainnya termasuk di Jakarta Islamic Book Fair. Kala itu aku lebih memilih Juragan Teh milik Hella S Hasse dan beberapa buku agama, yah begitulah segala sesuatu memerlukan waktu yang tepat agar maknyus dengan enak. Judul Nyai Gowok dan segala isinya saya peroleh dari podcast favorit (Kepo Buku) dengan pembawa acara Bang Rame, Steven dan Mas Toto. Dari podcast mereka saya menjadi tahu Nyai Gowok dan isi alur cerita yang membuat beberapa organ aktif menjadi keras dan tegang, ah begitulah Nyi Gowok. Jujur saja ini novel kamasutra pertama yang saya baca, sebelumnya tidak pe...