Adalah buku tua yang saya punya hasil nguntit dari perpustakaan sekolah yang saat itu koleksi buku-buku lama dibuang dan dikilo ke tukang rongsok. Saking cintanya buku saya mengambil beberapa buku yang menurut saya menarik untuk dibaca. Buku ini ternyata juga bukan buku koleksi resmi dari SMAN 1 Pamarican, melainkan koleksi dari guru geografi Allahyarham Bapak Thema Hartiman. Bapak Thema adalah seorang guru geografi yang cinta buku dan cinta kerapihan. Dulu saya pernah siajar geografi olenya saat kelas X (Sepuluh) pada tahun 2006. Pada halaman awal tertulis tanggal pembelian buku yakni tertanggal 1/1/53 atau 1 Januari 1953, cukup tua bukan. Buku ini tidak menggunakan ejaan EYD ataupun Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), melainkan ejaan Suwandi yang masih menggunakan Oe untuk U, Tj untuk C dan huruf lainnya yang masih berhubungan dengan abjad Belanda ataupun aturan Ophusen. Membaca buku ini memang membutuhkan waktu untuk penyesuaian ejaan, susunan kalimat, istilah bahasa Indonesia lama dan juga berbagai istilah Belanda.
Tergolong ke dalam sebuah biografi, namun biografi ini tidaklah lengkap dari mulai orok sampai meninggalnya dr. Tjipto, melainkan dimulai dari penangkapan pertama dr Tjipto dari pemerintahan kolonial Belanda hingga akhir hayatnya. Buku ini memang dicipta untuk mengenang perjuangan dokter Tjipto dalam perjuangan untuk bangsanya sendiri, dan sosial kemanusiaan. Terdapat sepuluh bab dimulai dari penangkapan pertama, masuk ke organisasi Budi Utomo, pembuangan, dari Solo terusir ke Bandung dan penutup. Dalam ulasan ini saya tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menulis segala yang penting dalam buku ini, banyak pengetahuan dan hal yang menggugah kemanusiaan dan rasa kebangsaan dalam buku ini. Boleh disebut spoiler besar-besaran karena memang buku ini sudah sangat langka juga. Mari kita lanjutkan intisari dari buku yang dibahas ini.
Bermula dari penulisan artikel "Sekiranya Aku Orang Belanda" yang diterbitkan harian De Expres di Bandung. Dr Tjip ditangkap oleh polisi kolonial Belanda dan diinterogasi oleh asisten residen Priangan kala itu. Sebenarnya hanya sebuah artikel, namun artikel itu sangat nyelekit bagi pemerintahan kolonial yang saat itu sedang merayakan kemerdekaan ke-100 dari jajahan bangsa Perancis, November 1913. Dokter Tjip dan kawan-kawannya merumuskan artikel itu karena gusar akan tingkah Belanda yang mengambil iuran kepada masyarakat untuk pesta kemerdekaannya. Padahal masyarakat juga dalam keadaan terjajah olehnya.
Perjuangan dokter Tjip bukanlah perjuangan yang dimulai dari sebuah ujung jarum suntik yang ditusuk ke dalam kulit manusia-manusia Indonesia, melainkan dari ujung pena yang mengeluarkan segaris hitam yang bisa dibaca oleh semua orang dan menyebarkan virus intelektual dan ideologi yang membuat masyarakat sadar diri akan hakekat hidupnya yang hidup dalam kepalsuan hidup. Perjuangan beliau tidaklah sendirian melainkan dengan Kawa karibnya seperti Suwardi Surjaningrat, ketua Sjarikat Islam cabang Bandung. Bagi pemuda seperti dokter Tjipto perayaan kemerdekaan Belanda atas Perancis yang memungut dana dari masyarakat Indonesia yang terjajah saat itu adalah suatu penghinaan besar, maka dari itu beliau meluapkan amarahnya dengan tulisan tersebut di harian De Expres yang didirikan oleh seorang revolusioner, Douwes Dekker. Sebelumya tulisan tersebut dalam bahasa Belanda, namun demi mendapatkan pembaca yang lebih banyak akhirnya dengan bantuan Abdoel Moeis artikel tersebut diterjemahkan dalam bahasa Melayu (Bahasa Indonesia) saat itu.
Atas artikel tersebut tujuan dokter Tjipto tercapai yakni dengan mengguncang pemerintah kolonial Belanda. Para pembesar kolonial sempat kocar-kacir hingga langsung memburu dokter Tjip ke Bandung. Dan akhirnya beliau dijebloskan ke penjara. Ada kisah yang menarik saat Pak Tjip dipenjara dimana di situ beliau mendapatkan 'hiburan' dari istri sipir yang juga membutuhkan sebuah 'hiburan' juga, sayang sekali buku ini tidak menyelesaikan sampai akhir tentang kesempatan mendapatkan 'hiburan' tersebut. Selanjut, Pak Tjip diasingkan bersama Soewardi Soerjaningrat yang tertuang dalam surat keputusan tertanggal 27 Agustus 1913. Ketiga diasingkan dengan tempat yang berbeda-beda, Pak Tjip di Banda - Ambon dan Soewardi di Bangka. Pada perjalanan pengasingan itu mereka bertemu dengan Douwes Dekker yang juga mendapat surat putusan lain.
Bukan hanya perjuangan perpolitikan yang dilakukan oleh Pak Tjip, namun juga banyak bergabung dengan kegiatan kemanusiaan. Di saat wabah pes di Malang merebak dan menelan banyak korban, di situlah Pak Tjip menjadi dokter pertama yang datang dan sangat berani. Berbeda dengan dokter bangsa Eropa yang enggan bertiga di daerah pes. Hatinya pedih melihat rakyatnya menjadi korban serangan wabah pes, banyak rumah yang harus dibakar untuk penanggulangan wabah. Saat akan membakar sebuah rumah gubuk beliau mendengar tangisan bayi, diambilah bayi tersebut yang sudah ditinggal mati oleh kedua orang tuanya. Bayi tersebut diangkat menjadi anak oleh beliau, diberi nama Pesjati dan hidup bersama beliau hingga akhir hayat.
Penulis: M Balfas
Tahun terbit: 1951
Jumlah halaman: 140
Kota terbit: Jakarta & Amsterdam
Penerbit: Penerbit Djembatan
ISBN: -
Buku ini bagiku sangat menarik dibaca terlebih untuk manusia millenial seperti saya yang sudah memahami bahasa Indonesia lama dan juga ejaan Suwandi. Perjuangan dokter Tjip menjadi panutan yang baik bagi setiap insan Indonesia baik dari segi kehidupan perpolitikan dan juga segi kemanusiaan. Buku ini cukup sederhana dengan halaman yang tidak terlalu banyak, hanya saja beberapa pembahasan agak terlalu mubah untuk menggambarkan jiwa atau idealisme dari dokter Tjip seperti penyamaan dengan cerita Mahabarata yang memakan banyak halaman.
Komentar