Dalam rangka meningkatkan kualitas hidup saya mengajak saudara plesiran lebaran ke Widarapayung sekaligus berkunjung ke rumah sanak saudara di Kroya. Semua orang mengakui bahwa plesiran dan silaturahmi ke saudara itu meningkat kualitas hidup dan menambah rejeki. Ini sabda Tuhan yang tidak akan pernah diingkari.
Pantai Widarapayung |
Bagi saya ini kali empat mengunjungi Widarapayung walaupun tempatnya biasa saja namun banyak cerita yang telah saya buat di sana dari saya kecil sampai saya beranjak remaja pernah membuat cerita di pantai ini. Beberapa kunjungan sempat saya abadikan dengan kamera dan sampai sekarang saya masih membukanya saat dimana jiwa merasa rindu akan kenangan indah masa lalu.
Awal ke Widarapayung saat saya masih kecil diajak saudara, saat itu saya masih di bangku sekolah dasar dimana setia pengunjung diharuskan membeli bunga mawar ataupun bunga lainnya untuk dilarungkan ke laut sebagai persembahan ke Nyi Loro Kidul sebagai penguasa laut selatan. Kunjungan kedua saat saya bersama dengan Zaenudin (Sepupu), ketiga dengan keluarga besar selepas pesta pernikahan Suminah dan Yatno dan sekarang kali ke empat saya bersama Yatno mengunjungi Widarapayung kembali.
Yutuk Alias Kecoa Laut |
Tidak banyak perubahan di Widarapayung, masih sama seperti dulu dengan air yang sedikit kecokalatan dan ombak yang besar. Perubahan hanya beberapa yang positif dan negatif diantaranya banyak sampah yang terdampar di pesisir, banyaknya warung makan, banyaknya gubug sewa, hammock dan jalan yang cukup bagus.
Yang tidak akan lupa diri Widarapayung adalah sajian khas yang seakan menjadi ciri kuliner dari Widarapayung yakni gorengan kecoa laut atau orang lokal menyebutnya "Yutuk". Rasanya renyah dan kadang membuat tenggorokan sedikit gatel (bagi saya).
Deretan Gubug Untuk Disewakan |
Tidak banyak yang diceritakan karena sedang galau apa sebabnya? saya sedikit memaksa kehendak agar si aangé jangan sendawa di depan umum, saya yang jarang ibadah solat pun dibantai dengan kalimat yang sopan. Maafkan saya.
Komentar