Sehari bertemu menjadi oase sebuah kerinduan dan hilang menjadi tanda awal perbudakan cinta dengan hujaman rindu di setiap sela waktu yang tersisa. Aku sungguh ingin melebur dengan ke-eksistensialanku pada dirimu yang entah apa isinya.
Selepas magrib aku memeluk, disambut hangat dari badanmu yang hangat. Hangat, namun melegakan siksaan rindu yang telah lama kau ikat dalam setiap sel-sel kerinduan. Wajahmu nampak beda dari tiga bulan lalu, bertambah dewasa dan mature. Aku menemukanmu di ruang sedikit gelap pada trotoar jalan raya Pangandaran. Senyum itu apakah tanda balasan cinta untuk ku yang masih mengira "kau bukan untuk ku"? Garis-garis wajahmu sedikit menyiratkan kerinduan untukku, tapi hanya sebatas dugaan.
Perjalanan menuju meja makan di utara sana, terpaan angin dari laju roda-roda di jalan raya menebar dingin. Jari-jari mulai masuk dengan malu pada saku jaketmu, demi menemukan kehangatan fisik dan kehangatan dari benih cinta yang tumbuh dengan sendirinya. Apakah kau masih menduga aku orang lain? Tanpa kata berlalu dengan hangatnya tangan dalam saku.
Bincang lepas rindu membuatku sedikit ingin mengencangkan kembali debaran jantung, untuk dirimu yang masih ragu. Ramai sudah lampu malam pertanda keramaian yang ingin merenggut indahnya perjalananku, ingin berlama-lama. Dan aku yakin dirimu mengulurkan waktu agar rindumu melebur di saku jaket. Begitu pelan dirimu mengatur tarikan gas, apa itu sengaja atau hanya sekedar berhati-hati agar kita tidak mampus?
Rasa kepiting laut mungkin lebih enak daripada berhadapan denganku yang sedikit banyak omong. Sesuap nasi masuk dengan keluarnya kalimat "enak". Aku senang mendengar kalimat itu. Gigi dan tanganmu tak begitu gigih untuk kerasnya ranjungan, matamu memandangku terlalu dalam. Jemari segera menyergap untuk membantu, Aku paham karena ini pertama kali.
Hangatnya wedhang cabe jawa masih membakar bibir hingga warna merah. Apa ini tidak terlalu sembrono? Sisa bibirmu masih ada dalam secangkir wedhang cabe jawa, dengan paksaan masuk ke bibirku yang merah sedari tadi. Apa itu tanda kerelaanmu? Matamu semakin dalam.
Kini kami sampai pada ruang pribadiku, tak ada yang lain. Tampak seperti sudah miliknya, apakah dia nyaman? Segala aktifitas berjalan tanpa ragu dan malu. Setiap obrolan matamu semakin tajam dan mendalam, begitu juga dengan mataku. Vitamin rambut di telapak tangan mulai meremas kulit kepala hingga helaian rambut ikal kebangganmu. Lirih dan lembut seperti waktu tiga bulan lalu dimana aku merindu di setiap helai waktu. Hidungku terangsang untuk segera mencari sumber wangi, pada rambut dan kepala hidung mendekat hingga pangkal. Kau terdiam, Aku terdiam kecuali saraf-saraf hidung yang bekerja. Tiga kali hidung bekerja dengan sarafnya padamu, aku mabuk, kau diam. Apakah diam pertanda mabuk juga? Aku tak mau mengira diam darimu.
Lebarnya keningmu mampu mendaratkan sepasang bibir merah dan mancung hidungku, terasa hangat dan harum. Aku tak paham apa parfum yang dipakai, yang pasti aku mencium-mu. Dan tak pantas untuk bergulat pada pertanyaan "kenapa kau terdiam?" Lemahnya Aku hingga bibir kembali menempel pada kulit tipis penuh minyak hingga rasa itu sudah selesai. Kini rambut ikal itu melambai untuk mendapat sentuhan jari-jari yang pernah merana. Dan jari mulai membaca kerinduannya hingga dia merasa lelah pada sebuah kesempatan.
Ku pikir ada rasa yang belum sempurna hingga kau meninggalkan kasur kapuk yang dihuni jasadku, bergeser ke bawah akibat suhu naik. Aku paham, hati tak pernah tega untuk jasadmu yang mulai kedinginan. Selembar selimut merah dihampar, tanpa ucapan. Jari mulai bicara kembali untuk rambutnya. Kami tertidur.
Ritme kami berbeda, kau terlalu lama untuk standarku. Karena mabuk, rela kau berlama-lama menutup mata tanpa diganggu, mungkin hanya tangan, bibir dan hidung yang selalu menganggu kepalamu yang masih ingin dibalas rindu. Asih padamu tak mungkin terlewatkan, ujung kaki ditutup untuk kehangatan. Kau tanpa suara saat sarung menimpa tubuh yang lemas, karena mata yang tak kunjung terbuka. Tajam tajam hingga dalam mataku selalu tertuju pada dirimu yang memancarkan energi asih. Apa Aku mabuk?!
Rambut pusar dicabut jariku memang jahil seperti anak kecil yang nakal. Tanpa bahasa, tanpa reaksi kau terdiam dengan sunggingan mulut yang sedikit merasa lucu atau senang. Aku sedikit paham, siapa kamu. Kembali jari ini ingin memberikan asih yang lebih, tiga tetes betadine tercecer tepat pada jerawat yang sudah mulai bernanah dan robek. Kau masih asik berbenah rambut dan berkata "sedikit sakit di situ" Aku mulai gusar karena dia merasa sakit, gusar dan khawatir akan lukanya.
Pandang demi pandangan selalu merobek pandangan yang terpancar dari mataku, namun Aku selalu kalah. Kau terlalu berkharisma dan Aku terlalu mabuk untuk mu.
Siang hari di garasi milik orang yang entah siapa empunya. Pelukan terasa panas, itu karena matahari mercoki kehangatan yang tercipta dari tubuh kami. Pelukan yang janggal, begitu juga dengan kejanggalan lainnya. Aku paham ini janggal hingga tak perlu berlama-lama kau melepas tubuhku. Aku tak bisa nakal karena memang bukan tempat yang relevan. "Jaga diri" kalimat terakhir untuknya.
Inilah awal kerinduan dimulai, jarak mulai memisah dari centimeter ke meter hingga kilometer. Aku memulai kerinduan kembali hingga tiga bulan kedepan. Di ujung magrib satu pesan masuk, aku mencium bajunya yang tertinggal. Badan yang sedikit wangi dan ketek yang cukup menggairahkan, apa aku budak cinta? Pesan terbalas dan masih berbalas soal bau ketek dan wangi badan. Aku harap tidak menjadi budak cinta yang terlunta, seperti kisah-kisah percintaan pada dongeng Seribu Satu Malam.
Komentar