Langsung ke konten utama

Corat Coret Di Toilet - Eka Kurniawan

Mati Lampu

Cerita pendek ini telah dibacakan pada program radio Baca Buku di Radio Taiwan Internasional Seksi Bahasa Indonesia pada tanggal 27 Februari 2019 dan 6 Maret 2019.

Ibuku terlalu sibuk dengan segala urusannya, mulai dari bisnis online, acara arisan, perkumpulan ibu-ibu PKK. Semua terasa sempit waktu yang dimilikinya selama 24 jam, habis tak tersisa sedikit untukku. Ayah sama saja, dia tak mau kalah dengan kesibukan mencari segenggam rupiah. Ayah tak mau terlalu rendah levelnya untuk urusan ini, katanya martabat lelaki yang menjadi kepala keluarga harus di atas perempuan. Itulah waktu yang mereka miliki tanpa sedikitpun tersisa untukku.

Aku adalah seorang kesepian, dimana memiliki jumlah waktu yang sama dengan orang tuaku. Dua puluh empat jam terasa sepi, kosong dan hampa. Entahlah bagaimana menggambarkan kondisiku dalam rumus fisika ataupun kimia. Hampa.

Kumpulan awan hitam mengepung segala penjuru arah mata angin dari ujung utara kota hingga batas selatan kota, hampir penuh sesak oleh kumpulan awan hitam. Suatu keadaan yang sudah memperhatinkan, hingga berujung pada tangis langit. Aku hanya melamun di sudut ruang tamu dekat jendela besar. Sesekali lamunan diisi dengan gambaran keluarga yang bahagia terisi oleh waktu-waktu kebersamaan. Aku merindukan itu.

Pecut api halilintar memecah langit berkali-kali, manusia hilir mudik merasa takut basah oleh air hujan. Tak terkecuali kedua orang tuaku. Satu persatu mereka pulang dengan kendaraan masing-masing hanya berjarak belasan menit saja. Pertama datang adalah ibuku yang terrgopoh-gopoh memasuki beranda rumah karena takut akan air hujan. Mataku mengawasinya dari dalam rumah, sesekali tertawa kecil karena memikirkan betapa takutnya manusia akan kebasahan, betapa khawatirnya manusia akan kesehatannya dan betapa lucunya manusia merespon gejala-gejala alam. Ah… aku hanya seorang kesepian yang penuh keributan dalam otak.

Suara sumpah serapah terdengar bersama turunnya kaki seorang lelaki paruh baya itu, yang tak lain adalah ayahku sendiri. Ucapannya seakan menolak datangnya hujan, bahkan mengutuk hujan yang dinilainya tidak menguntungkan baginya. Ketawaku muncul dengan aroma sinis “betapa kacaunya manusia, dia menolak kehendak semesta!”. Ah sudah lagi-lagi aku hanyalah seorang kesepian.

Gambar Ilustrasi: Dokumentasi Pribadi

Guyuran hujan semakin deras tak terhitung berapa tetesan yang jatuh ke bumi, aku tak sanggup menghitungnya. Tiupan angin dari utara begitu kuat, lebih kuat dari angin pantai. Semesta berkehendak demikian, biarlah. Aku masih terdiam di depan jendela yang sudah tertutup rapat dan mataku masih saja mengawasi alam di luar sana.

Hari sudah mulai petang, surau-surau mulai memekikan suara adzan sebagai seruan untuk menginggatNya. Aku tetap saja dengan percakapan-percakapan monolog yang direka sendiri, hingga suara ibu menembus ke dalamnya. “Ada apa bu?” Balas ku dengan suara sedikit tinggi. “Nak, wis sembahyang durung? Ndang sembahyangó” Tanyanya dengan kelembutan khas seorang ibu. Aku bergerak untuk menjumpai sang pemilik semesta, diringi dengan segala harapan dari segudang kesepian.

Semesta merespon dengan cara yang belum pernah aku dengar. Lampu listrik tiba-tiba mati, hampir seluruh kota padam kecuali rumah sakit dan tempat-tempat penting lainnya. Rumah menjadi gelap, gelas di depanku menjadi gelap, dinding menjadi gelap hanya beberapa barang terlihat mengeluarkan cahaya karena sifat fisika atau kimianya. “Nak, ambil lilin di laci dapur, ati-ati yo jangan nabrak-nabarak” suara ibu memerintah dalam gelapnya alam. Aku larut dalam perintahnya, satu persatu laci diperiksa tapi tidak kutemukan satu batang pun lilin. “Bu, gak ono lilin!” bibirku mengucapkan ke arahnya. Ternyata ibu lupa persediaan lilin sudah habis sedari dua bulan lalu saat mati lampu terlama di kotaku karena kebakaran pada gardu listrik.

Aku tak kurang akal untuk mencari penerang lainnya sebagai pengganti lilin. Kakiku ke sana kemari mencari dan tangan mulai meraba-raba benda di tumpukan barang di ruangan yang bisa disebut gudang, walau sejujurnya bukan sebuah gudang melainkan kamar kakaku yang hanya dipakai beberapa kali saat dia datang saja. Beruntung aku menemukan dhamar, sebutan pelita tradisional yang dibuat dari bekas botol beling yang dibuat sedemikian rupa dengan sumbu sebagai tempat api membakar minyak tanah.

Dhamar yang kutemukan masih berisi minyak tanah tak kurang dari 50 mililiter, mungkin hanya cukup dua jam saja. Dhamar menyala dengan api kecil, lidah apinnya meliuk ke arah gerakan angin menerangi separuh ruang tamu di mana kami berkumpul bersama. Awal percakapan yang kikuk dengan mereka membuat sedikit malu sekaligus bahagia dimana suasana semakin hangat. Ayah yang biasa diam, kali ini mengeluarkan kalimat-kalimat yang sangat kurindukan dari sosoknya. Dia begitu mempesona dengan ketegasan dan sifat kasihnya sebagai ayah. Guratan kerut keningnya membuat keharuan mendalam dalam batinku. Berkali-kali aku menegaskan diri “Kerutan itu? Semakin bertambah! ya semakin bertambah. Apa artinya?” Aku menangis batin.

Aku melayang dengan penuh rasa batin dalam ruang hangat itu. Sesekali ibu bercerita betapa lucunya diriku saat kecil yang bermain bayang-bayang jari-jemari yang dibentuk menyerupai burung dara pada saat yang sama dengan sekarang yakni mati lampu. Ibu menyeka wajahnya dua kali dengan sedikit suara yang mengharukan. Aku terdiam seketika kupeluk dirinya yang masih saja menyeka matanya. Linangan air mata itu tak terlihat jelas namun aku merasakan basah dan sedikit dingin. Aku terdiam dalam pelukannya.

Ayah sejenak terdiam melihat kami, mataku mengintipnya dengan rasa haru. Seketika dia berbuat hal yang membuat kami ketawa terbahak-bahak. Suara dari bokongnya begitu nyaring mengusik telinga kami. “Ayah….ah selalu koyo ngono” protes ibu untuk suaminya yang kurang ajar itu. Tak jarang bapak selalu melucu di rumah gas-gas bersuara merdu itu. Bahkan saat ada kakak di rumah selalu perang suara gas. Entahlah apa itu kesengajaan atau memang sudah ada DNA menempel. Kami tertawa puas hingga listrik kembali menyala.

Pamarican di kala hujan malam, 18 Februari 2019








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nama-nama Tai

Sega, beras yang ditanak Apa benar bahasa Jawa itu terlalu 'manut' ke bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris? Tampaknya ada benarnya juga, bahasa Jawa terpengaruh/meminjam banyak kosa kata dari bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Kekurangan kosakata dalam bahasa Jawa memang kebanyakan untuk hal-hal seperti teknologi ataupun hal lainnya. Jangan berkecil hati untuk penutur bahasa Jawa di seluruh dunia! Perlu diingatkan bahasa Jawa mempunyai keunikan tersendiri, misalnya saja untuk belajar bahasa Jawa 'satu paket' atau juga keseluruhan dari bahasa kasar/ngoko, bahasa sedang/madya hingga bahasa halus/kromo, sama saja belajar tiga bahasa!! Bayangkan belajar tiga bahasa, apa gak repot ya?! Itulah keistimewaan bahasa Jawa. Bersyukur! Berbagai keistimewaan bahasa Jawa juga terdapat di istilah-istilah yang sangat detail/spesifik pada suatu beda yang mengalami sebuah perubahan sedikit maupun perubahan besar. Misalnya saja untuk rangkaian nama dari sebuah padi/po

Secangkir Kopi Instan Vietnam: G7 CA PHE THU THIET

Kopi Instan Vietnam G7 3In1  Pulang dari kantor perwakilan VOV di Jakarta saya mendapatkan beberapa oleh-oleh istimewa dari Vietnam, salah satunya kopi instan asal Vietnam. Jenama kopi instan itu adalah G7 CA PHE THU THIET, milik perusahaan besar kopi Vietnam. Perusahaan kopi ini menyediakan berbagai produk kopi instan yang didagangkan ke beberapa negara dunia. G7 CA PHE THU THIET mempunyai beberapa jenis diantaranya: G7 2in1, G7 3in1, Pure Black, Cappuccino, Strong X2, Passiona dan White Coffee. Di Indonesia sendiri kopi Vietnam G7 3in1 masih dijual secara online melalui Shopie.Id, Bukalapak dan yang lainnya. Setiap toko online membandrol harga yang bermacam macam, berkisar dari Rp 70.000 sampai 150.000.  Cara Penyeduhan Cara penyeduhan seperti pada umumnya kopi instan lainnya dengan air panas baik 80°C atau 100°C atau bisa menggunakan air es sebagai hidangan kopi dingin. Siapkan cangkir kopi, sobek bagian atas kemasan, masukkan kopi, tuang air panas atau d

Mengenal Tanaman Kangkung Bandung (Kangkung Pagar)

Kangkung Bandung, sudah tahu tanaman ini? Menurut buku  biologi tanaman ini berasal dari Amerika Latin (Colombia, Costa Rica). Ciri tanaaman ini tumbuh tidak terlalu tinggi cuma sekitar satu meter sampai dua meter maksimal tumbuhnya. Kangkung Bandung tidak bisa dimakan layaknya kangkung rabut atau kangkung yang ditanam di atas air. Bentuk daun menyerupai kangkung yang bisa dimasak (bentuk hati) begitu juga dengan bentuk bunganya. Bunganya berbentuk terompet berwarna ungu muda terkadang juga ada yang berwarna putih. Batang Kangkung Bandung cukup kuat sehingga memerlukan tenaga cukup untuk memotongnya (tanpa alat).  Tanaman Kangkung Bandung Sebagai Patok Alami Pematang Sawah Fungsi dan manfaat Kangkung Bandung sendiri belum diketahui banyak, beberapa sumber mengatakan tanaman ini bisa dijadikan obat dan dijadikan kertas. Pada umumnya masyarakat desa menjadikan Kangkung Bandung sebagai tanaman untuk ciri (patok) batas antar pemantang sawah. Daya tumbuh tanaman ini cukup baik d