Aku cukup bingung untuk menceritakan kembali masa kecilku, begitu banyak serpihan memori hilang bahkan musnah dalam listrik-listrik neuron atau neutron. Masa kecilku tidaklah seistimewa Anne Frank ataupun semenarik kisah-kisah dalam buku pelajaran bahasa Indonesia. Aku berusaha sekuat jaringan saraf-saraf otak yang masih mengakar di batok kepala ini. Teruntuk sahabatku, Rosi Mahendra.
Gubuk bambu seakan-akan berada di tengah hamparan telaga luas, tanah kurang dari seperempat hektar itu dikelilingi oleh kolam ikan yang melingkar. Seakan-akan sebuah pulau di sebuah telaga. Di situlah aku mulai diciptakan, dari tanah itulah aku berasal. Dimana ibuku memakan buah-buahan, nasi dan berbagai masakan yang bersumber pada tanah itu. Begitupun dengan ayahku. Dari tanah itu aku tercipta.
Aku terlahir tanpa niat dan rencana, semua seakan-akan hadiah dari Gusti Allah. Perut ibuku tidak merasakan kehadiranku, aku seakan-akan sebuah kejutan dari semesta. Dua dukun bayi gagal memegang keberadaanku, hanya seorang lelaki 'pintar' merabaku dengan lembut. Entah ilmu apa yang dimiliki oleh lelaki itu, sehingga tanganku disentuhnya dengan kelembutan. Keberadaanku diketahui pada bulan ke-lima.
Sebuah kejutan ilahi diterima dengan keharuan, kegembiraan semuanya menjadi satu dalam bingkai rasa dari orang yang saling mencintai.
Ahad sore setelah matahari mulai tidur, menjelang waktu sembahyang. Aku menangis dengan segala janjiku pada Gusti, aku menangis dengan segala tanggung jawab pada sebuah kehidupan. Dan aku menangis karena Dia memilihku. Aku terlahir dengan lingga yang menggantung di antara dua kaki, lingga itu menjadi kebanggan pada setiap orang tuaku. Mungkin saja keduanya sangat mengharapkan lingga, karena sudah mempunyai dua yoni.
Namaku bukan sekedar nama harapan, tapi nama yang menjadi monumental. Dimana aku menjadi tunas dari pohon bambu yang mati karena tembakan timah panas di medan 'perjuangan' Seroja di Timor Timur waktu lalu. Aku dan mendiang paman mempunyai nama yang sama: Waluyo.
Gusti belum memberiku satu set kartu memori pada pangkal-pangkal neruon di kepalaku, aku hanya ingat saat berumur tujuh tahun. Hanya orang tuaku saja yang bisa menginggat apa yang ku lakukan pada periode umur di bawah tujuh tahun.
Aku tidak tahu umurku berapa saat itu, tapi aku masih hafal di mana aku berada dan aku sebagai apa. Aku adalah anak kecil yang bersekolah kelas satu di MIN Kubangpari, sekolah megah di mana tetanggaku turut bersekolah di situ. Parid, Riman, dan eRu adalah tetangga ku yang seumuran. Dari merekalah aku ikut bersekolah walau umur terlalu muda untuk menjadi seorang anak kelas satu. Kami bagai kawanan macan kumbang yang berani dalam berkelompok.
Teringat:
Dua pukulan keras skala kepalan anak kecil, aku menjotos perut ibu guru. Aku melihat wajahnya yang bingung, dibarengi gelengan kepala sebagai tanda keprihatinan. Aku kabur berserta Riman dan Parid, beruntung jeruji gerbang lebih lebar daripada tubuhku.
"Ayuh mlayu...mlayu...mlayu!" Parid mengajak kami lari untuk segera kabur dari pelajaran menulis angka satu yang menjemukan. Tiga bocah nakal kabur dengan cekakak-cekikik tanpa dosa, berbagai pertanyaan sering terlontar dari orang-orang di pinggir jalan. Kami selalu hiraukan, begitu juga introgasi sengit dari orang tuaku. Aku hanya bisa menangis dan belum bisa menyalahkan siapapun, aku hanya menuruti nafsu dolan.
Seragam putih-putih dilepas dari tubuhku oleh tangan ibu yang cukup kesal karena kaburnya aku. "Yok...Uyok...!" Dua suara yang ku kenal memanggilku dekat kolam ikan pinggir rumaku. Parid dan Riman sudah siap sedia untuk mencari ikan-ikan di kalen-kalen, sair dan wadah sudah berada di tangan mereka. Segera aku ganti baju.
Kami memang sudah dikenal anak nakal, bukan saja berani pada guru, orang tua ataupun tetangga. Kami hanya takut pada hantu saja, hantu-hantu legenda yang sering diceritakan orang tua dan orang-orang di kampung. Saat kami mencari ikan di kalen sawah harus berhenti istirahat saat suara adzan, istirahat itu hanya untuk menghindari dari gangguan hantu-hantu yang diceritakan orang tua. Aku manut saja.
Tak banyak ikan diperoleh, hanya ikan porong dan panon beureum saja. Setengah wadah cat juga tidak bahkan bisa dihitung jari, mungkin hanya 20 ekor saja. Kami muak dengan hasil hari ini! Sebagai penghiburan kami dekati kerbau-kerbau yang sedang digembala.
"Bi, aku ulih nunggang ra?" Tawarku pada seorang bibi pengembala. "Sok bae ditunggangi, kur kebonè diadusi gipi nang kowe". Betapa girangnya aku mendapatkan restu dari bibi pengembala.
Aku mendapatkan jatah tunggangan yang kecil, maklum saja aku malas membersihkan lumpur pada dua kerbau yang besar itu. Riman dan Parid membersihkan badan kerbau dewasa penuh lumpur. Sementara aku langsung ke kerbau kecil. Betapa enaknya naik kerbau, seakan-akan mimpi. Akh belum pernah mencoba sebelumnya. Tapi ini luar biasa, sungguh.
Mereka menaiki kerbau dewasa yang telah dibersihkan, kerbau dewasa ternyata terus pergi jauh ke arah selatan. Sementara kerbau kecilku masih berada di tempat semula. Aku sedikit bingung karena sang kerbau tidak bergerak hanya memakan sisa pohon padi.
"Eeeeeeemmm"
Erangan kerbau kecil keluar dari mulut hitamnya seperti sebuah panggilan pada induknya. Aku tak paham benar bahasanya. Aku hanya menikmati punggung kerbau yang empuk. "Eeeeeeemmm" sekali kejut ke-empat kaki kerbau meluncur dengan kecepatan maksimalnya. Aku terpental dan terbanting pada lumur sawah yang sudah dipacul oleh petani.
"Ahhhh aduh...lara...lara...tulungi!" Keluhku saat terbanting pada lumur sawah. Kulit terasa tertampar, panas dan sakit. Tak ada orang yang menolong hanya suara cekikikan dari mulut-mulut bau kawanku! Sialan mereka ketawa terbahak-bahak. Aku yang kesakitan tiba-tiba menertawakan diri sendiri.
"Mulane-mulane. Aja nunggang sing esih cilik nek pengin nyusu ya mlayu. Sok ganti kebo sing gede" Bibi pengembala menasehatiku untuk naik kerbau dewasa lainnya. Mukaku masih penuh dengan lumpur, kulit masih panas juga tapi aku masih penasaran dengan sensasi naik kerbau. Akhirnya aku kembali naik kerbau dewasa hingga sore hari.
Mlayu = Lari
Dolan = Main
Kalen = Solokan
Sair = Alat yang terbuat dari bambu untuk menangkap ikan
Manut = Ikut
"Bi, aku ulih nunggang ra?" = "Tante, Aku boleh naik gak?"
"Sok bae ditunggangi, kur kebonè diadusi gipi nang kowe" = "Silahkan saja ditunggangi asal kerbaunya dimandiin dulu sama kalian".
"Ahhhh aduh...lara...lara...tulungi!" = "Ahhhh aduh...sakit...sakit...tolong aku!"
"Mulane-mulane. Aja nunggang sing esih cilik nek pengin nyusu ya mlayu. Sok ganti kebo sing gede" = "Makanya, jangan naik yang kecil kalau pengin minum susu ya lari ke indungnya. Ya udah ganti kerbau yang besar saja!"
Komentar