Dulu Merupakan Toilet Terluas Di Dunia |
Dahulu kala, dahulu yah! Tapi gak kala banget sih cuma beda 10-20 tahun lalu di desa kami memang masih dibilang jorky ya! Kok bisa sih jorky, gimana ceritanya terus apa hubungan-nya dengan judul yang menjijikan itu?! Pokoknya simak saja pengalaman dan kesan kehidupan yang mendalam bagiku yang pernah hidup tanpa penyuluhan kesehatan. Bagi yang tidak suka cerita botrok, jorky, kotor-kotor, atau geleuh-geleuh, najis, jijay silakan tutup halaman ini. Konten jorky soalnya, maaf-maaf saja ya.
Pada suatu masa dimana kami belum disinari oleh kegiatan penyuluhan kesehatan, hidup kami terasa biasa saja tanpa ada rasa jijik, kepikiran kesehatan atau berpikir jauh akan dampak pada lingkungan. Semua tertutup oleh kebodohan kami tentang kesehatan baik lingkungan maupun diri sendiri. Pada umumnya masyarakat buang hajat di petaen atau paciringan, sebuah kakus tradisional yang dibuat di atas sebuah kolam ikan, hanya saja petaen itu hanya berfungsi saat kolam ikan masih ada airnya (musim hujan). Sementara saat musim kemarau petaen tidak berfungsi kembali, masyarakat pada umumnya buang hajat sembarangan di sawah-sawah, pekarangan ataupun di kakus tradisional yang disebut jumbleng. Dari cara tradisional buang hajat saat musim kemarau hanya jumbleng saja yang memenuhi syarat hidup sehat, jumbleng ini kakus yang dibuat secara tradisional dan sederhana hanya tanah sekitar 2-3 meter dikeruk dan dibuat lubang kecil di atasnya untuk buang hajat. Sangat disayangkan jumbleng ini tidak terlalu banyak, bahkan satu RT hanya mempunyai satu hingga dua jumbleng saja, sehingga masyarakat buang hajat sembarangan terutama di sawah.
Buang hajat di sawah adalah hal lumrah saat itu baik pada pagi hari, sore hari atau malam hari. Orang-orang yang buang hajat jongkok di sawah-sawah baik berdekatan ataupun lumayan jauh, walaupun banyak orang yang melihat tidak ada rasa malu di antara mereka karena memang sudah biasa. Terlebih anak-anak kadang buang hajat berdekatan, atau bahkan satu lubang. Terdengar menjijikan hanya itulah bagian dari sejarah. Saya masih ingat bagaimana cara buang hajat di sawah yang cukup bermoral, sehingga tidak membuat resah orang-orang yang berjalan di atawa pesawahan.
Bagaimana caranya? Pertama, pilih tempat yang agak jauh dari pemukiman masyarakat (terbis), bongkar satu lubang dari rimbunan batang padi yang sudah dipanen. Setelah terbongkar silakan buang hajat dengan tenang dan terkakhir tutuplah kotoranmu dengan bongkahan tanah dari rimbunan batang padi yang telah dibongkar. Cukup sederhana, tapi bermoral. Kadang orang-orang buang hajat sangat sembarangan, hanya jongkok dan buang hajat tanpa menutupi kotorannya sehingga menjadi sebuah ranjau yang mengancam kaki.
Buatlah Lubang Untuk Rumah Ranjau Produksimu |
Cara sederhana lainnya adalah mencari lubang bekas kaki dari masa tanam, atau lubang dari retakan tanah. Namun Saran ini sangat kurang baik karena kadang ada saja yang terjerembab ke ranjau darat itu. Sebaiknya jangan lakukan. Cara hidup sederhana ini bisa dilakukan juga saat kita dalam pendakian sebuah gunung di mana gunung tersebut tidak mempunyai toilet. Satu hal saja yang menjadi pedoman dalam buang hajat seperti itu, lakukan sedemikian rupa hingga lingkungan dan manusia tidak terkena dampak negatifnya.
Beruntung setelah tahun 2009 masyarakat sudah sadar kesehatan lingkungan, hampir semua penduduk mempunyai septic tank tersendiri. Jadi tidak ada lagi ranjau-ranjau jahanam di pesawahan, hidup semakin sehat karena 'harta karun' disimpan dalam septic tank.
Komentar