Kertas kecil bergambar dan bernominal, bukan sebagai bukti legalitas suatu perjanjian. Melainkan bukti syah dari sebuah pembayaran surat menyurat. Perangko. Benda kecil ini memang ajaib sekali, walau kecil bisa mengantar sepucuk surat ke alamat manapun seantero Indonesia bahkan dunia. Aku kecil selalu terpesona dengan kegunaan dari perangko, bukan saja pada sebuah fungsi juga pada keindahan gambar yang tertera.
Teringat awal berkirim surat ke saudara yang berada di Jawa Tengah, aku yang didaulat oleh keluarga besar untuk berkabar pada saudara yang jauh di sana. Berkat kemampuan untuk menulis surat, saya ditunjuk sebagai carik keluarga. Berkali-kali mengirimkan surat ke saudara yang ada di Jawa Tengah, kini aku berkirim surat ke kakak di Bandung dan bahkan pada artis cilik yang kluyuran di layar kaca. Sempat aku kecewa pada artis bernama Messy yang kini menjadi dokter itu, ceritanya suratku dibalas tanpa fotonya dia, dia beralasan karena aku tidak menyertakan perangko balasan. Temanku yang menyertakan perangko balasan mendapatkan foto Messy dengan kata-kata manis. Ancur!
Trauma dicuweki artis karena gak modal perangko balasan, kini saya bersurat intens dengan saudara di Bandung dan Jawa Tengah. Semuanya terasa hal menakjubkan jika diingat kembali, betapa degdegan saat menulis kalimat di atas kertas putih yang esok hari dikirim melalui bis surat di pinggir jalan. Lama menunggu tidak berarti aku menjadi berburuk sangka, tidak seperti saat ini yang baru dibalas 10 menit saja udah berburuk sangka. Menunggu lama surat menelurkan bulir-bulir rindu, dan membuka surat yang lama tak datang adalah anugrah yang agung. Membucah.
Mengenal stasiun radio internasional seperti VOA, BBC, NHK dan ABC membuat aktifitas korespondensi alias surat menyurat semakin gila, seminggu bisa berkirim surat tujuh kali. Uang jajan tersapu bersih oleh perangko, amplop dan kertas. Buru-buru lepas sekolah tancap pedal sepeda dengan kencang demi surat yang terkirim, kekhawatiran kantor pos tutup lebih dahulu. Jam pulang sekolah kami jam 13:00 sementara kantor pos tutup jam 14:00, jarak kantor pos dan rumah sekitar 4 Km, butuh 10 menit untuk melintas jalan penuh lobang dengan kayuhan pedal.
Klimaks korespondensiku terjadi antara tahun 2006-2009 dimana satu Minggu bisa mendapatkan 15-20 surat, kartu pos ataupun paket baik dari dalam negeri maupun luar negeri, dari teman pena ataupun dari stasiun radio internasional. Semua semarak, hadiah bergelimang, kebahagiaan terasa sempurna hingga ujung 2009 yang menceraikan aku dengan persuratan. Dan pada saat itu dunia berubah menjadi serba elektronik, orang gagap dengan Facebook, email dan SMS. Seperti hal yang mengerikan, tapi ini yang diakui banyak orang sebagai sebuah kemajuan zaman.
Mati suri sudah diterpa kesibukan kuliah dan raksasa teknologi yang gaib berupa internet menjelma seperti kanker dalam tubuh, semakin banyak jaringan semakin besar dan besar, mengerikan. Aku masih berkirim surat kalau mau dan teringat masa indah itu, seperti saat ini. Ya aku kembali mencium keindahan suasana yang lama pernah ada, namun aku mencium samar saja. Mungkin terasa aneh, karena setelah menerima surat kesenangan yang diterima begitu ambigu begitu cepat hilang. Mungkin karena pengaruh teknologi? Saat menerima kartu pos langsung saja mengabari melalui WA dan Instagram, konyol!
Seperti Indang memasuki raga, tiba-tiba ide untuk kembali ke persuratan kembali. Mencari teman di tumpukan jerami perkebunan luas Arizona, banyak tapi mana sejati. Sekali hastag muncul berlusin tampilan muka dari Instagram yang mengungkapkan bahwa dirinya seorang postcrosser, aku tertarik untuk berteman. "Boleh énggak aku jadi temenmu?" Nada memelas untuk mendapatkan teman di tumpukan ribuan jerami postcrosser, ada yang membalas ada yang diam.
Dari tumpukan itu ada akun yang membalas yakni Frigate Rario Yusuf, seorang muda dari Balikpapan. Dia mempunyai pengalaman mutakhir dalam surat-suratnya, dibandingkan saya yang pernah mengalami sebelumnya. Ada hal yang berbeda dari sebuah hobi korespondensi dan filateli zaman sekarang, jika seseorang ingin menjadi anggota dari suatu hobi mestinya masuk ke dalam wadahnya dulu. Aku yang lahir dari koresponden bebas agak aneh, tapi inilah kenyataan yang ada. Berhubung aku tidak suka banyak aturan akhirnya, menolah untuk memenuhinya syarat dalam grup ekslusif itu.
Dua Minggu kartupos Rio datang ke rumahku bersama kiriman QSL Radio NHK. Saya yang memilih kartupos ini atas tawaran Rio, saya memilih karena gambar kartupos ini diambil dari jembatan yang namanya tak asing bagi orang Jawa. Dongdang, nama jembatan terpanjang kedua di Kalimantan Timur dengan panjang 840 meter. Jembatan Dongdang ini berada di Muara Jawa dan Sanga-Sanga kabupaten Kutai Kartanegara, penamaan nama jembatan ini saya yakin berasal dari komunitas Jawa di sana.
Rio membuat kartuposnya sendiri, dia memang mahasiswa jurusan desainer. Jurusan tepatnya saya lupa, pokonya kemahirannya dalam membuat desain patut diacungi jempol. Kartupos buatan Rio awalnya dikira foto dari drone, namjn ternyata salah. Foto kartuposnya diambil dari olah desainnya sendiri melalui perangkat lunak komputer. Keren!
Berharap hobi ini saya lakukan sebagai pelarian dari kejenuhan dunia yang bersaing lebih cepat dari angin atau suara. Terima kasih Rio atas pertemanannya, senang berkenalan dengan mu!
Pojok UGD yang sepi, 10 April 2021
Ibdisch ©
Komentar