Layaknya lembur malam hari saya kembali melanjutkan cerita yang bersambung beberapa menit yang lalu. Jelas saya tutup episode karena perut mules ingin mengeluarkan 'hasilnya' yang mirip dengan produk dari PT Antam. Lagi pula tidak pantas saya bercerita sekaligus dalam satu halaman yang bisa mengakibatkan percikan - percikan ludah menyembur ke muka kalian semua karena terlalu kenyang ngoceh dalam satu halaman hehehehe. Saya cukupkan mukadimah episode kali ini dalam satu alenia saja ya... Hehehehe.
Informasi yang diberikan ibu pemilik warung memang tidak selalu benar ada kalanya salah karena terjadi perubahan harga dan perubahan - perubahan lainnya yang menyebabkan informasi yang didapat menjadi sebuah 'info salah'. Misalnya saja informasi harga yang menjadi 'salah' adalah harga untuk menyeberangi sungai Citandui. Dari informasi yang didapat sebesar Rp 5000 namun dalam kenyataan lebih murah yakni Rp 2000 sekali nyebrang!. Sedikit menakutkan saat menyeberangi sungai yang luas ini karena air yang berwarna kuning coklat ini mempunyai arus yang cukup deras mungkin sedang ada hujan di daerah hulu. Nahkoda kapal bukanlah bapak - bapak berjambang atau berkumis tebal melainkan remaja awal sekitar umur 13-15 tahun dengan kawan - kawanya yang masih berumur 9-10 tahun. Ada yang membuat saya terkejut akan perubahan zaman yang mengakibatkan pergeseran pergaulan dalam dunia anak sekarang. Tiga anak-anak itu ternyata perokok aktif dan lebih kagetnya orang dewasa di sekitarnya tidak peduli (memarahi) namun membiarkan saja dan bahkan bertukar merek rokok yang mereka beli. Kadang terasa miris namun apa daya.
Deermaga Majingklak - Kalipucang - Pangandaran |
Apa yang dijelaskan ibu pemilik warung tentang jalan di Jawa Barat (Jalur Kalipucang - Majingklak/Pelabuhan) lebih baik kondisinya dan jaraknya lebih dekat dengan tempat wisata Pantai Karapyak dan Kampung Laut di Pulau Nusakambangan. Turun dari perahu cadik saya melanjutkan perjalanan yang disarankan ibu pemilik warung tadi.
Gunung Slamet nan gagah perkasa terlihat penuh pesona dan kharisma walaupun jarak yang cukup jauh dari tempat duduknya. Cuaca cerah membuat si gagah Slamet terlihat jelas dengan hidungnya yang mancung. Jalan menuju pelabuhan Majingklak ini lurus dan sedikit belokan. Sisi kanan kiri jalan dihiasi oleh sawah khas pinggir sungai besar dan sawah - sawah khas muara ataupun pesisir. Terdapat pohon bakau di beberapa sisi jalan. Udara hangat dan segar a la pantai membuat siapa pun akan nyaman bila melintasi jalan ini.
Sekitar 1 jam perjalanan dari tempat saya menyebrang sampai ke Dermaga Majingklak di ujung selatan. Dermaga ini sudah melewati masa kejayaannya di masa lampau. Menurut beberapa orang lokal yang saya tanyai, dahulu banyak perahu besar yang berlabuh di dermaga ini namun karena berbagai faktor sehingga banyak perahu besar yang enggan bersandar di dermaga ini. Sekarang hanya perahu keteng yang selalu mondar mandir sebagai sebuah aliran darah yang menjadi pusat kehidupan masyarakat Kampung Laut untuk menjalankan kehidupan ekonomi dan sosial mereka.
Perahu Penuh oleh Penumpang |
Dermaga Majingklak adalah suatu penghubung ekonomi dan sosial untuk masyarakat Kampung Laut. Dermaga inilah yang paling terdekat untuk diakses dan terdekat dengan Jalur Nasional dan pusat keramaian ekonomi yang mudah diakses. Dibandingkan dengan dermaga yang ada di wilayah Kabupaten Cilacap yang lain (Dermaga Ujung Gagal). Tentunya mereka akan mengeluarkan kocek rupiah yang dalam apabila mereka berbelanja ke Cilacap atau ke Dermaga Ujung Gagak karena akses yang susah dan lama. Bukan faktor itu saja namun faktor 'keramaian' ekonomi daerah tersebut. Semakin ramai suatu daerah akses jalan semakin bagus, ongkos perjalanan lebih murah dan barang yang dibeli pun lengkap karena faktor tersebut mereka lebih mengutamakan Dermaga Majingklak sebagai hub.
Perlu sekitar dua puluh menit untuk menyebrang dari Dermaga Majingklak ke Dermaga Klaces di Kampung Laut. Kedua dermaga ini bukan berada di pesisir laut namun berada di muara sungai Cintadui yang membentuk sebuah delta - delta atau pulau dan termasuk pulau Nusakambangan yang saya belum cukup tahu tentang terjadinya pulau Nusakambangan. Kelestarian hutan mangrove masih terjaga dengan baik di wilayah Kampung Laut walaupun ada beberapa titik yang sepertinya harus direhabilitasi karena rusak. Banyak pulau kecil yang tidak berpenghuni hanya monyet - monyet dan hewan endemik lainnya yang menjadi penghuni tetap.
Lanskap Pulau Nusa Kambangan |
Kelestarian alam menjadi suguhan utama jika Anda berkunjung ke wilayah Kampung Laut tentu saja dengan bukti nyata hewan - hewan liar masih lalu lalang di pulau ini. Saya sendiri membayangkan saat perjalanan ini seperti dalam perjalanan mengelilingi sungai Amazon di acara National Geographic. Sistem pembayaran ongkos perahu cukup unik karena ada sistem ngetem. Jika saat waktu ngetem habis maka perahu langsung berangkat tapi jika penumpang tidak penuh Anda akan dikenai uang lebih besar karena jatuhnya sistem charter. Saat saya pulang hanya ada 2 penumpang jadi saya dikenai tarif sebesar Rp 30.000 sementara saat saya pergi ke Kampung Laut saya dikenai tarif Rp 10.000 karena saat itu penumpang penuh.
Jika Anda ingin berkunjung ke sini, saya sarankan untuk membawa uang cash secukunya karena dalam perjalanan kemarin saya tidak melihat ATM center hanya ada warung yang menyediakan layanan seperti ATM. Jangan khawatir banyak warung juga di sini jadi kalau kehabisan makanan beli saja. Harga tidak jauh beda dengan di daratan Jawa. Saya saja membeli 2 cangkir kopi hitam dan mie instan ceplok telor hanya Rp 12.000! Termasuk murah bukan?!.
Baiklah saya cukupkan dulu untuk menulis karena jadwal main saya semakin banyak jadi tidak ada waktu lagi hehehehe. Nantikan episode selanjutnya.
Pamarican, December 21, 2016
06:00pm
UPTD Pendidikan dan Olahraga Kecamatan Kampung Laut |
Komentar