Sudah terlampau lama menganggur kejenuhan pun terasa berat untuk dilalui tanpa kegiatan apapun. Berkebun dan menjadi baby sitter membuat ringan dan sedikit terlupakan akan status 'pengangguran', menjalani sebagai baby sitter keluarga sendiri setiap hari kadang masih terasa berat walaupun tidak seberat tanpa adanya kegiatan yang dilakukan. Salah satu solusi yang paling jitu bagi saya adalah main sepeda untuk keliling wilayah Priangan Timur ini.
Kali ini (18/12/16) Ahad pagi terasa berat untuk bangkit dari kasur yang sudah banyak ilernya. Aroma khas inilah yang kadang membuat seseorang susah untuk pergi jauh - jauh dari 'sarang' kesayanganya apalagi yang mempunyai status durjana dan nista seperti saya. Ya status jomblo merupakan status yang paling erat akan kasur namun bukan hanya si durjana jomblo saja yang diasosikan kedekatanya dengan kasur tapi status 'pengantin baru' demikian! Namun sayang status pengantin baru masih jauh dari kenyataan! Hahhahaha orang punya pacar juga kagak?!
Tugu Perbatasan Jawa Tengah di Patimuan - Cilacap |
Sepeda hitam yang sudah kuberi nama "Apang" selalu setia menemani perjalanan kejombloan saya baik di Jakarta maupun di Pamarican. Dialah yang menemani saya mengapai mimpi untuk menaklukan beberapa tempat indah di wilayah Jabodetabek dan Priangan Timur. Walaupun baru berumur 12 bulan lebih Apang sudah menunjukkan keperkasaan anunya kepada saya dan semua orang. Sebelum berangkat tidak lupa untuk memberi beberapa semprotan vitamin pelumas untuk Apang semua ini demi kelancaran dan keselamatan di jalan.
Persiapan sudah lengkap termasuk uang yang cukup dan identitas diri yang mesti dibawa (takut mati di jalan) biar gampang diidentifikasi atau buat jaminan kalau kehabisan uang hehehehe. Tepat jam 6 pagi saya berangkat sendirian dengan jalur Pamarican - Banjarsari yang sudah saya cukup kenal karena tiap minggu 1-2 kali selalu goes ke Banjarsari. Perut terasa lapar dan kerongkongan kering kerontang karena sediaan air habis. Akhirnya saya putuskan untuk berhenti dan mencari makanan berupa Asian pancake alias surabi. Sepanjang Kertahayu sampai Cikohkol pedagang surabi belum kelihatan juga bokongnya. Syukur kehadiratNya saya mendapatkan makanan favorit saya tepatnya di depan masjid agung Banjarsari. Cukup murah untuk membeli 5 buah Asian pancake ini, setiap buah dihargai dengan Rp 1000. Mengenyangkan dan murah!!
Dua surabi sudah habis sekejap dalam 5 menit. Ukurannya yang memang kecil membuat mudah untuk saya lahap dan kunyah dengan sempurna. Kenyang terasa merasuk ke setiap kehidupan sel - sel yang hidup dalam tubuhku. Energi segar pun merasuk ke cepat ke dalam setiap serat daging. Tenaga kuda hitam sudah merasuk dalam tubuhku dan membuat jarak tempuh terpangkas cukup signifikan. Dengan jarak 50 Km lebih saya mengarungi medan berbukit di beberapa titik akhirnya sampai di Kalipucang jam 09:10 menit.
Perahu yang bersandar di sisi Patimuan - Cilacap |
Baju dan Apang yang selalu kinclong kini kotor bangaikan kerbau yang sedang bermain di kubangan lumpur. Lebih dari 4 km jalan Segara Anakan rusak parah padahal menurut beberapa warga yang saya tanyai ada seorang anggota dewan yang tinggal di Rawa Apu. Mari kesampingkan masalah krusial tentang hubungan politik dengan fasilitas umum di negri tercinta ini.
Pemandangan sepanjang jalan Segara Anakan memang khas Banyumasan sekali terutama dengan arsitektur dan tata desanya. Banyak juga ditemukan pengrajin gula kelapa yang sedang menyadap air nira maupun sedang membuat (mencetak) gula kelapa. Di sisi barat jalan Segara Anakan adalah bataran sungai Cintadui sebagai pembatas antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Terdapat dua suku yang selalu hidup damai berdampingan di sisi timur dan barat sungai Citadui. Orang Jawa dan Sunda keduanya hidup damai dan saling memahami adat budaya masing - masing dan tak sedikit orang di sana yang bisa berbahasa Sunda maupun Jawa. Unik bukan?!
Haus terasa di kerongkongan dengan terpaksa saya berhenti di warung sederhana milik penduduk lokal Patimuan untuk membeli air penyegar bibir dan kerongkongan. Saya acungan uang Rp 5000 untuk satu gelas es campur segar. Ternyata uang saya masih ada kembalinya sebesar Rp 2000. Kadang teringat harga mahal standar Jabodetabek dan kembali terfikir dengan harga sedemikian murah di pedesaan Jawa Tengah dan terfikir bagaimana mereka mendapatkan keuntungan walaupun harga bahan bahan yang mahal. Entahlah Tuhan punya aturanNya.
Sang pemilik warung yang baik tutur katanya selalu menjawab lontaran - lontaran pertanyaan yang saya ucapkan. Cukup sudah perbekalan informasi yang yang menjadi insklopedia untuk mencapai destinasi. Perbekalan informasi yang saya dapatkan dari ibu pemilik warung membuat saya putar balik sekitar 500 meter untuk menyeberangi sungai Citadui. Kenapa harus menyebrangi Citadui?.....
Pamarican, December 19 Desember 2016
10:25 pm
10:25 pm
Biar axis narsis dan tidak dianggap HOAK |
Komentar