Panas mentari siang ini agaknya tidak mempengaruhi kami yang berada di gubuk pinggir sawah. Tiga orang bercengkrama dengan pandangan dan latar belakang zaman yang berbeda, aku termasuk yang millennial sementara yang lainnya generasi sepuh.
Isi pembicaraan tidak ubahnya dengan gaya ibu-ibu komplek yang bergosip ngalor ngidul. Semua dibahas sesuai urutan yang dianggap lebih menarik dari topik tertentu hingga tercipta topik baru dan begitu selanjutnya, hingga waktu menghentikan pembicaraan tanpa batas tegas itu. Aku yang millennial menjadi bagian yang selalu bertanya dan mendengarkan, sementara mereka berdua sebagai nara sumber dari zaman-nya masing-masing.
Berbagai topik begitu mengasyikan untuk-ku terutama hal-hal yang terjadi pada masa lampau. Cerita masa lampau bagiku adalah hal istimewa dimana waktu dengan cepatnya mengubah semua yang ada di dunia. Isi pembicaraan yang menarik siang ini adalah cerita bencana yang pernah terjadi dan dialami oleh mereka berdua. Apa saja yang mereka tuturkan kepada ku? Disimak saja.
Gambar Ilustrasi: Petani Bekasi Timur |
Gempa Bumi Di Bumi Parahyangan Timur
Saya laporkan tidak tahu persis umur Pak Ahmad sebagai narasumber paling tua diantara kami bertiga. Kemungkinan Pak Ahmad sudah berumur 60 tahunan. Boleh dipercaya atau tidak soal apa yang dibicarakannya terutama tentang gempa bumi yang pernah terjadi di bumi Parahyangan Timur.
Saya laporkan tidak tahu persis umur Pak Ahmad sebagai narasumber paling tua diantara kami bertiga. Kemungkinan Pak Ahmad sudah berumur 60 tahunan. Boleh dipercaya atau tidak soal apa yang dibicarakannya terutama tentang gempa bumi yang pernah terjadi di bumi Parahyangan Timur.
Tuturnya bumi Parahyangan Timur pernah diguncang gempa kuat dalam sehari lebih dari tujuh kali, kekuatan gempa cukup besar sehingga rumah warga sebagian hancur terutama yang gedongan sementara rumah penduduk yang menggunakan rumah tradisional hanya genteng yang melorot lalu pecah.
Menurutnya wilayah Parahyangan Timur memang rentan akan gempa bumi sejak dari dulu kala, bedanya dengan sekarang hanya pada berita yang heboh dan korban semakin banyak. Dua alasan itu memang masuk akal sekali karena dunia dewasa ini memang sarat akan teknologi komunikasi sehingga peristiwa apapun akan cepat disampaikan ke seluruh Indonesia dan dunia. Jadi walaupun gempa dengan kekuatan 4-5 Magnitude semua orang tahu baik melalui televisi, radio, dan internet. Sementara dulu masyarakat tidak mempunyai alat komunikasi yang cepat sehingga berita akan gempa tidak heboh.
Korban semakin banyak adalah pernyataan cukup masuk logika dimana masyarakat dewasa ini lebih memilih rumah gedongan dibandingkan dengan rumah kayu atau rumah tradisional. Kontrol pembangunan gedung baik untuk rumah ataupun perkantoran tampak tidak ketat, sehingga orang bebas membangun gedung tanpa memperhitungkan komposisi dan struktur bagunan yang tahan gempa. Akibatnya ada gempa dengan kekuatan 6-7 magnitude rumah gedongan roboh.
Sebaliknya pada zaman baheula leluhur kita sudah merancang dengan baik terhadap alam. Misalkan terjadi guncangan gempa kuat bangunan masih tetap berdiri karena menggunakan kayu dan jerami sebagai atapnya.
Letusan Galunggung
Berbeda sangat signifikan dimana korban letusan gunung Galunggung menelan korban sangat banyak, tercatat dalam sejarah (link Wikipedia) korban letusan sebanyak 4011 jiwa pada Tahun 1822, pada letusan selanjutnya tahun 1982 hingga 1983 menelan korban 18 orang.
Pak Ahmad sendiri tidak menyebutkan terperinci berapa jumlah korban yang meninggal, namun dia menceritakan betapa susahnya kehidupan di wilayah Priangan Timur. Pohon kelapa mati, tanaman lain juga mati karena abu vulkanik. Dia juga menceritakan harga kelapa saat itu sepuluh kali lipat dari biasanya.
Dari cerita di atas hanyalah sebuah pembicaraan yang bisa dipercaya namun tidak bisa kesemuanya benar terutama soal data-data.
Komentar