Langsung ke konten utama

Corat Coret Di Toilet - Eka Kurniawan

Filsafat Jawa: Gunungan Wayang

Kayon Blumbangan

Aku kadang merasa malu karena kehilangan kejawaanku sendiri, malang nasib terlahir di lingkungan yang boleh disebut 'pranakan jawa' di tanah Parahyangan. Mutlak sudah kejawaanku hilang sejak mula diciptakan dan membentuk 'neo-jawa' dengan segenap budaya campur antara Jawa Banyumasan dengan Sunda Parahyangan. Namun begitu saya merasa diberkati dengan segala keutamaan dari sebuah hasil campuran itu.

Pranakan jawa bisa saja lupa akan tanah leluhurnya jika sudah menjadi bagian yang lain, tapi tentunya setiap pranakan jawa ingin mengetahui seperti apa budaya totok kejawaanya baik dari segi bahasa, adat budaya maupun hal yang bersifat keagamaan. Sudah barang tentu budaya jawa dengan penuh simbol-simbol kehidupan mengantarkan kepada sebuah ilmu yang disebut Filsafat. Pada filsafat-lah simbol-simbol terurai dengan berbagai pandangan sebagai bekal menjalani hidup.

Lagi-lagi saya mendapatkan tuah dari perpustakaan umum Kabupaten Ciamis, beberapa buku filsafat tersedia salah satunya Filsafat Jawa. Buku ini mempunyai judul Gunungan Nilai-nilai Filsafat Jawa diproduksi oleh Graha Ilmu dan dikarang oleh Agus Purwoko. Buku ini tercipta dari hasil skripsinya dan diubah suai untuk kebutuhan penerbitan buku.

Dari buku inilah saya mengatahui sedikit tentang apa itu gunung dalam pewayangan. Sempat terpikir bahwa gunungan pada pagelaran wayang kulit hanya lah sebuah 'batas' dari episode cerita, bukan merupakan hal yang terlalu bernilai untuk inti dari pagelaran. Dugaanku salah besar dan bisa masuk ke dalam sebuah penistaan terhadap budaya dan filsafat jawa yang adi luhung. Anda sekalian pastinya tahu tentang gunungan wayang baik pada gambar uang koin Rp 100 pada zaman anak-anak atau melihat langsung pagelaran wayang kulit. Bisa disebutkan gambar apa saja dalam gunungan itu? Mungkin untuk menjawabnya Anda mengalami kesulitan yang berarti dan akan membawa korsleting sel-sel otak. Mudahnya, gambar pada gunungan wayang sangatlah rumit.

Buku Karya Agus Purwoko

Dari buku saya ingin berbagi sedikit tentang apa itu gunungan wayang, bentuk dan filsafatnya. Agak berat sebenarnya untuk membawa ranah filsafat pada sebuah artikel yang pendek ini. Tapi mau tidak mau, saya wajib menulisnya untuk bahan penginggat selepas membaca dan merupakan 'sunah kifayah' kepada kalian semua. Saya ucapkan terima kasih kepada kalian karena sudah menyerap 'sunah kifayah' itu, syukroon jiddan

Wayang merupakan sebuah seni budaya yang terbentuk sejak lama oleh leluhur kita yang berlatar belakang budaya Sansekerta dan Hindu Budha. Tak dipungkiri budaya India dan kedua agama besar itu larut pada setiap masyarakat di kerajaan-kerajaan di Asia Timur maupun Asia Tenggara, berkat pengaruh itulah cerita Ramayana dan Baratayudha populer di kawasan tersebut dengan perkembangan budaya-budaya lokal sebagai tambahannya. Sebagai contoh adanya wayang kulit di Thailand dan Kamboja, Bali, Jawa, dan tentunya wayang khas China yang masih membawa nuansa mitologi Hindu Budha.

Wayang di Indonesia sendiri mempunyai beraneka bentuk, baik berupa boneka maupun sebuah gambar cetakan dua dimensi. Wayang dua dimensi ini dimiliki oleh beberapa suku diantaranya Bali dan Jawa. Segambreng tokoh wayang membuat anak muda zaman sekarang 'kongslet ringan' untuk menginggatnya, tapi ada satu hal yang mungkin sudah sangat familiar yakni gunungan. Saya sendiri sangat familiar dengan gunungan wayang karena banyaknya uang receh Rp 100 yang ku punya saat itu, sampai-sampai hafal! Gunungan wayang tidak hanya populer pada sekeping koin saja melainkan pada poster budaya, poster pariwisata dan poster-poster lainnya. Kamu yang bukan jawa juga paham, bukan?! 

Gunungan wayang yang dibahas buku karangan Pak Agus Purwoko ini membahas gunungan wayang purwa yang sama persis pada gambar gunungan wayang uang koin Rp 100. Saya sendiri mendapatkan kesulitan untuk mencari definisi tepat dari sebuah gunungan. Definisi sederhananya gunungan wayang adalah sebuah boneka dua dimensi berbentuk hati (pucuk gunung) terbuat dari kulit kerbau atau sapi, bergambar aneka hewan, pohon dan benda lainnya sebagai gambaran kehidupan sehingga menjadi sebuah benda penting sebagai pembuka dan penutup pagelaran wayang.

Gambaran Pembagian Trimurti Dan Unsur Manusia

Dinamakan Gunungan karena bentuknya yang menyerupai gunung sebagai gambaran kehidupan bumi. Tokoh wayang tidak akan muncul jika gunungan belum dikeluarkan, sehingga gunungan disebut sebagai lambang hidup dan penghidupan. Hal ini sama seperti pada kehidupan semesta, di mana alam tercipta terlebih dahulu sebelum Adam dan Eva berserta anak-cucunya hidup. Gunungan juga akan ditancapkan kembali saat pagelaran usai, hal ini sama persis dengan episode manusia yang akan kembali ke alam dan alam akan tetap ada.

Gunungan juga bisa disebut Kayon atau Kekayon yang berarti kayu, pohon, pohon kehidupan. Beberapa ahli menafsirkan bahwa Kekayon dari kata dasar Kayu berawal dari bahasa Arab yang berarti Al Khayu dalam terjemahan bahasa Indonesia disebut Kehidupan. Juga dalam bahasa Jawa Kuna kata Khayu berarti Kehidupan atau Kehendak. Maka dari itu dalam gunungan terdapat gambar pohon yang besar sebagai manifestasi kehidupan dan keinginan manusia, bentuk hati (jantung) juga simbol dari pusat perasaan dan kehidupan manusia.

Sebelum penjelasan lebih dalam lagi, baiknya mengenal fungsi dari sebuah gunungan. Gunungan ternyata mempunyai banyak fungsi dalam pagelaran wayang diantaranya: pembuka dan penutup pagelaran wayang; pembatas tiap adegan-adegan; tanda pergantian waktu; sebagai aba-aba atau kode; sebagai ganti wayang yang tidak ada misalnya angin, air, asap dan yang lainnya; dan sebagai pengambaran cerita dalam sebuah pagelaran. 

Simbol-simbol Gunungan
Seperti paragraf di atas gunungan yang berbentuk hati atau jantung mempunyai banyak simbol-simbol dan juga banyak tafsir yang bermunculan. Salah satu tafsir simbol dari Ki Dalang Timbul Hadi Prayitno menjelaskan bentuk gunungan dengan pucuk lancip dengan segenap sudut dibawahnya sebagai lambang sangkan paraning dumadi (asal-usul dan tujuan hidup). Pucuk lancip sebagai kodrat ilahi, roh dan sukma; Roh muncul karena adanya persegamaan antara ibu dan bapak. Roh sendiri hidup dengan berbagai bahan penunjang seperti bumi, air, api dan angin. Pucuk segitiga itu juga menjadi simbol dari keberadaan, dari ketidakadaan menjadi 'ada' dan begitu sebaliknya.

Dua pendapat berbeda dari Ki Hadi Sutarno dan Ki Hadi Susanto. Tafsir tentang gunungan hampir sama hanya berbeda konsep saja, menurut mereka gunungan yang berbentuk hati (segitiga) merupakan gambaran Trimurti. Tiga proses kehidupan yang disebut trimurti ini berawal dari purwa, mudya dan wusana yang berarti alam fana, alam kubur dan alam akhirat sebagai wakil dari Brahma, Wisnu, dan Siwa.

Gunungan Sebagai Lambang Tiga Alam

Simbol tiga kehidupan itu tergambar pada sudut-sudut gunungan: segitiga atau puncak sebagai simbol akhirat (jagad nduwur), lengkungan tengah sebagai alam kubur (jagad tengah) dan bagian bawah sebagai dunia fana (jagad ngandap). Sri Raharjo mempunyai pandangan sedikit berbeda dengan penjelasan di atas. Tafsir ini lebih sedikit agak mendalam terhadap makna hidup. Dalam penjelasannya, sudut lancip di gunungan merupakan suatu pencapaian kebenaran sejati yakni Tuhan. Setiap manusia mempunyai pandangan yang berbeda-beda dalam mencapai kebenaran sejati namun tetap tujuannya sama. Untuk mencapainya diperlukan Satya (Kebenaran), Santhi (Cinta Kasih), Dharma (Kewajiban, Pengorbanan dll), Prima (Utama/Mengutamakan) dan Ahimsa (Menghargai dan saling menjaga).

Terlepas dari bentuk dan filsafat gunungan, sekarang penjelasan yang sedikit rumit yakni makna simbol-simbol gambar pada sebuah gunungan. Gambar apa saja yang menghiasi gunungan? Biasanya gunungan bergambar pohon tunggal berdaun lebat, gunung, tanah tempat tumbuhnya pohon, Bintulu atau kepala raksasa, gapura, kolam dan raksasa, mustika dan gambar api. Secara garis besar simbol itu dibagikan sebagai benda mati, benda hidup (tumbuhan dan hewan), manusia. 

Perlambang gunung sebagai cerminan gunung Mahameru, dimana gunung tersebut sebagai tempat suci, tempat dewa bersemayam dan juga perlambang sebuah kasta kehidupan manusia, yang dimulai dari kaki gunung, badan gunung hingga puncak gunung. Gunung pada kebudayaan Jawa maupun India sebagai tempat bertapa, mendapatkan kesunyian dan kedamian. 

Pohon, kayon sebagai unsur utama dalam kekayon (gunungan) mempunyai arti sebagai pusat kehidupan, atau tujuan hidup. Ada tafsir lain tentang simbol pohon ini, tafsir ini menyebutkan pohon sebagai sumber pengayoman, perlindungan dan mempertebal semangat keyakinan. 

Hewan yang terdapat di gunungan adalah hewan yang dijumpai di pulau Jawa seperti harimau, banteng, lutung, dan unggas. Gambar hewan-hewan tersebut melengkapi dinamisme dari sebuah alam yang berisi pepohonan dan hewan. Setiap gunungan tidak serta merta mempunyai gambar hewan yang sama, namun setiap gunungan mempunyai gambar hewan yang berbeda-beda sesuai tujuan yang akan digambarkan. Penempatan hewan sesuai kehidupan nyata dalam alam misalnya gambar lutung yang menggantung di pohon, rusa di bawah pohon dan yang lainnya. Gambaran sifat hewan juga sangat berarti untuk penempatan hewan karena berhubungan dengan sifat manusia, misalnya: harimau (amarah), kera (nafsu suhuffiyah), banteng (nafsu lawammah), dan burung (nafsu mutmainah).

Unsur tanah digambarkan sebagai guratan bergelombang di bawah pohon. Arti dari bahasa simbol tanah merupakan gambaran salah satu anasir terjadinya manusia sebagai mahluk yang tercipta dari tanah.

Kekayon Panca Dharma

Makara atau kepala raksasa dengan lidah yang menjulur dan menempel pada pokok pohon. Simbol mistik yang menakutkan yang terdapat dalam hutan atau sebagai gambaran Brahma Mula dan masih banyak tafsir lainnya.

Kolam (Beji) digambarkan jelas pada gunungan blumbangan sebagai simbol dari air sebagai unsur pembentuk manusia. Kolam digambarkan sebagai wadah dan diasosiasikan dengan seorang perempuan yang mempunyai 'wadah' untuk menanam benih sperma. Wadah atau rahim ini dianggap sangat suci, sakral karena mempunyai makan utama dari kehidupan manusia sehingga harus dijaga kehormatannya. Simpelnya kolam (beji) sebagai lambang dan air sebagai benih (sperma). 

Lar-laran atau Bledhengan, gambar sepasang kepala raksasa bersayap di kiri kanan atap gapura sebagai manifestasi keagungan dan kesaktian, namun ada juga beranggapan bahwa Bledhengan sebagai unsur api. 

Gapura Dan Dwarapala sebagai tempat orang melewati tempat yang dituju. Seseorang yang akan mencapai tujuannya akan melewati gerbang sebagai sebuah ujian hidup. Simbol lainnya adalah Mustika atau batu berlian sebagai simbol puncak tujuan hidup manusia yang berharga. Demikian sedikit tafsir simbol-simbol dalam gunungan. Ada satu lagi pembahasan yang tak kalah menarik yakni cara penancapan gunungan. Penancapan gunungan seperti yang sepele, tapi sejatinya mempunyai banyak makna yang terkandung. 

Sedemikian rumitnya makna dari penancapan gunungan membuatku meninggalkan sebuah PR yang harus digarap serius di lain waktu, semoga PR tersebut bisa diwujudkan. Semoga dengan pembahasan simbol gambar dan bentuk dari sebuah gunungan wayang memberikan sedikit ilmu maupun makna hidup yang bisa diambil sebagai pedoman. Rahayu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nama-nama Tai

Sega, beras yang ditanak Apa benar bahasa Jawa itu terlalu 'manut' ke bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris? Tampaknya ada benarnya juga, bahasa Jawa terpengaruh/meminjam banyak kosa kata dari bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Kekurangan kosakata dalam bahasa Jawa memang kebanyakan untuk hal-hal seperti teknologi ataupun hal lainnya. Jangan berkecil hati untuk penutur bahasa Jawa di seluruh dunia! Perlu diingatkan bahasa Jawa mempunyai keunikan tersendiri, misalnya saja untuk belajar bahasa Jawa 'satu paket' atau juga keseluruhan dari bahasa kasar/ngoko, bahasa sedang/madya hingga bahasa halus/kromo, sama saja belajar tiga bahasa!! Bayangkan belajar tiga bahasa, apa gak repot ya?! Itulah keistimewaan bahasa Jawa. Bersyukur! Berbagai keistimewaan bahasa Jawa juga terdapat di istilah-istilah yang sangat detail/spesifik pada suatu beda yang mengalami sebuah perubahan sedikit maupun perubahan besar. Misalnya saja untuk rangkaian nama dari sebuah padi/po...

Mengenal Tanaman Kangkung Bandung (Kangkung Pagar)

Kangkung Bandung, sudah tahu tanaman ini? Menurut buku  biologi tanaman ini berasal dari Amerika Latin (Colombia, Costa Rica). Ciri tanaaman ini tumbuh tidak terlalu tinggi cuma sekitar satu meter sampai dua meter maksimal tumbuhnya. Kangkung Bandung tidak bisa dimakan layaknya kangkung rabut atau kangkung yang ditanam di atas air. Bentuk daun menyerupai kangkung yang bisa dimasak (bentuk hati) begitu juga dengan bentuk bunganya. Bunganya berbentuk terompet berwarna ungu muda terkadang juga ada yang berwarna putih. Batang Kangkung Bandung cukup kuat sehingga memerlukan tenaga cukup untuk memotongnya (tanpa alat).  Tanaman Kangkung Bandung Sebagai Patok Alami Pematang Sawah Fungsi dan manfaat Kangkung Bandung sendiri belum diketahui banyak, beberapa sumber mengatakan tanaman ini bisa dijadikan obat dan dijadikan kertas. Pada umumnya masyarakat desa menjadikan Kangkung Bandung sebagai tanaman untuk ciri (patok) batas antar pemantang sawah. Daya tumbuh tanaman ini cuk...

Menegang dan Mengeras Oleh Nyai Gowok

Ah...sialan! Padahal aku sudah kenal buku ini sejak Jakarta Islamic Book Fair tahun 2014 lalu! Menyesal-menyesal gak beli saat itu, kupikir buku itu akan sehambar novel-novel dijual murah. Ternyata aku salah, kenapa mesti sekarang untuk meneggang dan mengeras bersama Nyai Gowok. Dari cover buku saya sedikit kenal dengan buku tersebut, bang terpampang di Gramedia, Gunung Agung, lapak buku di Blok M dan masih banyak tempat lainnya termasuk di Jakarta Islamic Book Fair. Kala itu aku lebih memilih Juragan Teh milik Hella S Hasse dan beberapa buku agama, yah begitulah segala sesuatu memerlukan waktu yang tepat agar maknyus dengan enak. Judul Nyai Gowok dan segala isinya saya peroleh dari podcast favorit (Kepo Buku) dengan pembawa acara Bang Rame, Steven dan Mas Toto. Dari podcast mereka saya menjadi tahu Nyai Gowok dan isi alur cerita yang membuat beberapa organ aktif menjadi keras dan tegang, ah begitulah Nyi Gowok. Jujur saja ini novel kamasutra pertama yang saya baca, sebelumnya tidak pe...