Lebaran tanpa plesir menjadi momok yang mengerikan bagi sebagian orang, begitu dasyatnya wabah membuat manusia bumi kalangkabut. Sana-sini ribut membicarakan tentang pandemi, kapan berakhir, berapa yang meninggal dan bagaimana cara pencegahannya? Semua masuk dalam pusaran arus kuat pandemi. Tak terkecuali aku. Ramadhan dan lebaran yang berbeda cukup membuatku muak, tapi apa daya ini hal yang berbeda pula.
Sempat kami tersasar, namun beruntung ada seorang bapak paruh baya yang mengarahkan. Sesampainya di Pemancar, kabut pegunungan ban putih menyambut kami dengan kesyahduan-nya, rintik kristal air yang terjatuh membasahi setiap benda di sekitar tubuh gunung Cikurai. Berjajar sepeda motor menghadap tembok ke arah selatan, beberapa orang ribut dengan mulutnya bersahutan bak primata yang diteror, riuh. Aku terdiam dengan segala bentuk kelunglaian tubuh, berdiam untuk harapan yang terlampau memaksa Tuhan.
Pembatasan Skala Besar-besaran (PSBB) dibuat dengan landasan hukum yang tak main-main, semua terlibat, semua terpengaruh dan semua mahfum. Dua minggu berlalu, ditambah lagi beberapa minggu hingga akhirnya aturan dihentikan untuk memunculkan kehidupan baru. New Normal istilah keminggris untuk kehidupan tatanan baru selepas pandemi. Kehidupan tatanan baru yang dirancang pemerintah ini memberikan jalan tengah kepada masyarakat untuk menggeliatkan ekonomi dengan prosedur kesehatan di masa pandemi. Dengan tatanan ini masyarakat dan pemerintah berharap agar kehidupan menjadi lebih baik lagi, pembukaan fasilitas umum, pasar, usaha kecil, tempat wisata dan yang lainnya. Dibuka perlahan!
Siapa yang tidak gatal untuk plesir saat semua fasilitas umum dibuka dengan syarat dan ketentuan protokol kesehatan. Aku terlampau girang soal ini. Ajakan dari teman untuk nanjak gunung semakin nyata dan terbuka lebar, terutama dari Raihan. Sahabat klasik dari Banjarsari. Sebelumnya dia memberi tahu saya untuk ikut nanjak gunung Cikurai bersama teman-temannya. Awalnya saya kurang begitu yakin, terlebih masa 'tatanan kehidupan baru' belum juga diterapkan di seluruh Indonesia. Memang ada beberapa provinsi yang sudah menerapkan terlebih lagi provinsi Jawa Barat tempatku tinggal.
Beberapa akun Instagram khususnya konten pendakian mengabarkan bahwa dua gunung di Jawa membuka kembali kegiatan pendakian. Dua gunung tersebut adalah Gunung Cikurai dan Gunung Papandayan yang semuanya berlokasi di Kabupaten Garut - Jawa Barat. Jelas mendengar kabar ini saya sangat gembira terlebih lagi Kabupaten Garut tidak terlalu jauh dari rumah, hanya sekitar tiga jam perjalanan dengan sepeda motor. Tanpa babibu lagi langsung menyetujui ajakan dari Raihan dan Azmi.
Jumat (12/6) Raihan dan Azmi datang ke rumah untuk menegaskan rencana yang sebelumnya sudah disepakati. Mereka bukan hanya datang untuk penegasan rencana, melainkan untuk berkunjung ke tempat menarik di Pamarican yang sedang naik daun; Kebon Kacang Bonja. Segala keuangan dihitung terinci mulai dari bahan bakar, logistik, tiket masuk dan yang lainnya. Jika dijumlahkan dengan anggaran dasar mencapai Rp 55.000 dan belum mencakup dengan uang tak terduga. Saya sendiri menganggarkan keseluruhan kegiatan pendakian tidak sampai Rp 100.000 kira-kira kisaran Rp 70.000 saja.
Hari berikutnya saya kembali menengaskan rencana, kini giliran saya bertandang ke rumah Raihan di bilangan Kubangpari - Cibadak. Semua calon pendaki berkumpul di sana, termasuk tambahan satu orang yakni Prabu Erlangga alias Angga. Satu tambahan menjadikan hitungan genap berpasang-pasang menjadi delapan orang. Bagiku formasi genap adalah formasi yang pas karena jika ada sesuatu yang "tidak baik" satu pasangan akan menjaga pasangan lainnya. Mengenai hitungan formasi juga ada anggapan yang sudah lumrah bagi para pendaki terlebih jika formasi ganjil, konon jika formasi ganjil maka untuk menggenapkan formasi tersebut satu makhluk lainnya akan bergabung! Serem bukan. Selagi kita percaya Tuhan, semua yang ada harus diperlakukan dengan baik.
Pertemuan di rumah Raihan bagiku ajang inisiasi diri kepada calon pendaki lainnya terlebih untuk Zia dan Rifqi yang belum pernah kenal sebelumnya. Perkenalan ini sangat berarti, tanpa perkenalan tidak ada jalinan kepercayaan yang baik. Komunikasi pun akan tercederai jika tidak ada jalinan trust yang baik. Bersyukur mereka adalah orang yang baik, sama persis dengan teman-teman dari sekolah PERSIS lainnya. Pembagian logistik, tenda, kantung tidur, dan segala tetek mbengek sudah dibicarakan dengan baik. Selanjutnya giliran saya mengkonfirmasi kepada teman dekat sekampung yang ingin bergabung seperti Imam dan Zaenal.
D day is coming! Hari dimana perjalanan menantang dimulai. Malam tidurku cukup tenang dengan jumlah jam tidur yang cukup, delapan jam lebih. Bangun jam empat bagi hal yang baru lagi terlepas ramadan yang sudah berlalu dua minggu yang lalu. Kulit mulai tak tahan dengan suhu udara yang semakin dingin, mata yang masih merindu mimpi dipaksa oleh alarm cerewet. Tas keril setengah terisi, beberapa barang menunggu untuk dimasukkan. Kamera, kupluk, alat makan, perlengkapan personal hygiene dan buku catatan kecil segera masuk ke mulut besar keril ukuran 45 liter.
Kesepakatan jam keberangkatan sekitar jam enam pagi, apalah daya jam karet Indonesia masih menempel di sanubari mereka. Aku yang sedari jam empat subuh terjaga mutlak menunggu sampai mereka datang. Hanya dua orang saja yang tepat waktu, Imam dan Zaenal mereka datang pada waktu yang telah dijanjikan. Baru sekitar jam 07:15 WIB mereka datang beriiringan seperti komplotan garong yang membawa sekarung barang curian. Tas terisi penuh dengan sejumlah embel-embel yang nangkring di sela-sela tas keril ukuran jumbo. Ada yang tenggelam oleh tas keril, ada yang proposional dengan keril yang dibawa. Semua datang dengan sambutan sederhana dari tuan rumah yang lama menunggu.
Diawali dengan do'a, tarikan gas meluncurkan putaran roda hingga beratus kilometer dari titik asal. Setiap detik tercecer harapan dan doa yang pernah dipanjatkan sebelumnya. Hanya dua titik koordinat saja kami singgahi, awal di sebuah masjid pinggir jalan di wilayah Singaprana dan selanjutnya di pintu gerbang menuju jalan Pemancar di Cilawu - Garut. Awal perjalanan motor dilaju oleh saya sendiri, selanjutnya berganti guna menghemat energi dan aturan keselamatan. Kini Angga di depan hingga base camp Pemancar, jujur saja saya masih amatir untuk berkendara sepeda motor untuk wilayah pegunungan, terlebih lagi medan jalan yang terlalu curam ataupun kondisi buruk! Serasa mau bunuh diri! Kondisi jalan dari Jalan Raya Tasikmalaya-Garut menuju Kebun Teh terbilang bagus dengan baluran aspal tebal. Selanjutnya dari awal masuk Kebun Teh hingga Pemancar kondisi jalan berbatu dan rusak. Banyak sepeda motor jenis matik mengalami kerusakan pada vanbelt, memang untuk medan jalan seperti ini tidak direkomendasikan untuk menggunakan sepeda motor jenis metik, melainkan jenis manual.
Sepeda motor punya Zaenal (Astrea Prima) lebih berenergi dan lebih kuat nanjak ketimbang sepeda motor matik Xride punyaku. Tiga sepeda motor matik yang kami tunggangi begitu loyo saat diterpa medan jalan yang begitu buruk. Sebagai alternatif perjalanan, masyarakat sekitar memberikan tawaran jasa tumpangan di mobil jenis pick up dengan tarif satu orang Rp 15.000 sampai Pemancar. Awal memasuki jalan menuju pemancar kami diberhentikan oleh orang lokal untuk dimintai keterangan dan sekaligus ditawari jasa tumpangan. Jelas kami tolak karena memang kami membawa sepeda motor sendiri. Di sini ada pemungutan uang dengan bunyi hukum "seikhlasnya" di sini saya merasa kurang enak hati terlebih tidak adanya tiket ataupun hal legal lainnya sebagai tanda bukti pemungutan uang. Karena hukum "seikhlasnya" langsung saja diselipkan Rp 10.000 ke kotak uang yang sudah bobol gemboknya.
Kondisi Jalan Menuju Pemancar |
Kembali jajaran kalimat bernada paksaan pada Tuhan terlontar dari setiap mulut, mengiba pada sebuah keselamatan, mengharap pada sebuah kedamaian dan keridhaan yang Kudus. Kami terlampau lemah untuk menjadi sombong, kami menjelma menjadi manusia yang lebih dekat pada-Nya. Sebab apa?
Jam dua siang usai do'a, langkah gontai menuruni jalan berbatu dan menaiki kembali tanah kekuningan berhampar dedaunan hijau tanaman teh yang tua termakan tangan-tangan pemetik. Senyum basa-basi menebar pada setiap wajah yang ada, demi sebuah penerimaan simpul bibir tertarik membentuk senyum. Seorang bapak setengah tua berbahasa Sunda agak medhok menyapa. Seakan tetangga lama yang bertemu kembali, saya berbincang dengannya dengan bahasa leluhur kami, Bahasa Jawa. Keakraban terjalin dari sebuah senyum basa-basi dan bahasa leluhur yang sama, beruntung kami diterima dengan baik.
Seratus enam puluh ribu rupiah keluar dari dompet Raihan sebagai pemangku bendahara. Tiket masuk gunung Cikurai naik seratus persen menjadi Rp 20.000. dengan tegas bapakk petugas Perhutani menjelaskan dengan bukti surat yang terlaminting dan dicap basah. Ada sedikit kekecewaan juga ada sedikit rasa aman ketika surat keterangan sehat dari dokter tidak diperlukan untuk mendaki gunung Cikurai. Awalnya menyangka bawa protokol kesehatan diterapkan dengan baik, ternyata hanya sebatas kertas saja.
Tidak sedikit pendaki berasal dari zona merah seperti Jakarta dan Bandung. Tanpa surat keterangan sehat dari dokter, mereka masuk dengan biasa seperti pada masa sebelum pandemi. Masker hanya sebatas aksesoris yang tidak mungkin dipakai saat nafas terengah karena proses metabolisme yang begitu kuat.
Perjalanan kembali dimulai, kiri dan kanan terlihat hijau oleh dedaunan. Vitamin tersendiri untuk mata yang begitu jenuh melihat layar telpon pintar ataupun layar PC. Terpaan lembut angin bak mesin pendingin yang menyala dengan ukuran yang pas. Perbincangan demi perbincangan jadi ajang pengisi kehampaan hutan yang lapang. Gelak tawa khas candaan kaum muda keluar tanpa teringat dosa, semua keluar bak angin gunung yang bebas.
Pos demi pos dilewati dengan segenap energi yang terbakar, entah berapa ribu kalori terbakar sempurna dari balik sel-sel tubuh. Milyaran mitokondria berkerja keras disegenap sel dalam tubuh, terasa juga peluh menetes dari setiap celah kulit. Hembusan udara dari mulut terlihat seperti asap dapur sebagai tanda udara semakin dingin. Entah berapa derajat suhu saat itu, yang pasti menggigit lapisan kulit.
Benar apa yang dikatakan Angga dan Rifki yang sudah pernah menjajal gunung Cikurai sebelumnya. Tidak ada bonus track alias tidak ada jalan datar selama pendakian! Jalan terus naik, naik dan naik tanpa henti hingga ujung puncak sana. Kerikil di jalan kadang terpental oleh gilasan sepatu dari setiap kaki pendaki, akar pegangan kian mengkilap oleh belaian tangan pendaki. Semua tercipta oleh jejak manusia.
Semua memang tak disangka dan diduga secara pasti, kata orang gunung mempunyai 'emosi' yang berbeda dari tempat lainnya di bumi. Begitu mudah gunung berubah 'emosinya' dari terang, hujan kabut, hujan deras dan sangat terik. Itulah gambaran gunung yang susah diprediksi sebelumnya. Dua kali tanda hujan turun belum juga hujan, kami yang sudah menggunakan jas hujan rela melepas kembali. Lima menit kemudian kabut kembali datang dengan tetesan air hujan berukuran besar. Pertanda hujan besar!
Benar saja, hujan besar mengguyur dari langit yang hampir tersentuh oleh hidung gunung Cikurai. Kamu yang masih di Pos Tiga terguyur basah oleh air yang begitu dingin. Jalan menjadi licin, dedaunan basah dan terlihat kelam bak ditelan alam hantu. Kabut-kabut dan suara hujan bak cerita di film horor, seakan ingin menelan ruh setiap manusia. Aku sedikit merinding melihat kabut yang menghias pepohonan itu, tergambar oleh pikiranku yang sudah terukir oleh beragam judul film horor yang dibintangi Suzanna si Ratu horor. Pikiran horor sirna sudah saat Rifki dan Azmi mengajakku untuk berbicara, seakan pengaruh Suzanna hilang begitu saja oleh lelucon dari Bokir dan Dorman.
Jalur pendakian penuh oleh air, seakan solokan yang kebanyakan air hujan. Arus kuat, kerikil tertelan mudah oleh energi dari hujan ditambah gaya gravitasi yang membuat kerikil semakin tak berdaya. Kaki basah kuyup dengan segala bakteri yang bersarang. Cahaya matahari terancam hilang oleh kabut dan derasnya hujan, beruntung suara petir terdengar lirih. Yang saya khawatirkan adalah suara petir dengan kekuatan dahsyat, ah mungkin aku yang pertama mencucurkan air mata dan meminta pengampunan dosa dan keselamatan pada yang Punya. Sejauh ini saya mempunyai fobia pada petir, terlebih lagi jejak rekam peristiwa yang hampir saja merengguk roh dari jasmani ini. Ngeri!
Matahari semakin tenggelam oleh putaran bumi yang mengarah ke barat, bumi semakin gelap hanya langit yang masih berwarna jingga. Suara burung masih terdengar begitu jelas, serangga malam mulai cerewet. Kegelapan dimulai. Kaki masih melaju antara kiri dan kanan saking bergantian seperti siang dan malam, begitu teratur. Cerita soal si 'Bagas' tidak pernah terlepas dari Cikurai sebagai rumahnya, semua pendaki selalu bercerita tentang si 'Bagas' si babi penunggu hutan Gunung Cikurai. Konon si 'Bagas'ini selalu meminta jatah makanan dari setiap manusia yang menyambangi rumahnya sebagai oleh-oleh yang dibawa manusia untuknya.
Cerita soal si 'Bagas' bukan dari pendaki belaka, tapi juga diamini kesyahan ceritanya oleh pihak Perhutani. Pengelola selalu mewanti-wanti agar setiap pendaki selalu waspada pada si 'Bagas', selalu bahan makanan disimpan di atas pohon dan hilangkan jejak aroma makanan agar terhindar dari porotan si 'Bagas'. Tidak sedikit korban dari si 'Bagas'mulai dari makanan yang hilang dan tenda yang porak poranda olehnya seakan menjadi hal yang mengerikan bagi calon pendaki gunung Cikurai. Begitu juga aku dan yang lainnya.
Kini giliran kami disambut apik oleh si 'Bagas' dia datang tanpa babibu, keluar menampakkan diri begitu saja dari belakang. Permisi pun tidak, seakan bencolèng yang haus akan harta rampasan. Sontak kami terperanjat oleh kedatangannya! Terbirit menyelamatkan jasmani dan roh yang terkandung. Aku dan Azmi lari mencari pohon yang bisa dinaiki, Angga loncat ke pohon dekat kami, nafasnya terdengar menggebu tanda andrenalin keluar deras. Raihan dan Zia berteriak keras dan memanjat pohon yang lebih tinggi. Panik di sana sini, sia-sia suci berkomat-kamit di balik kalbu dan sepasang bibir. Ada ketegangan ada kelucuan yang membucah. Sementara Imam terlihat pucat dengan kondisi saat ini, dia semakin menyelami rasanya pendakian. Rifki si pemberani mulai turun untuk mengusir si 'Bagas', gebahan demi gebahan tidak mampu mengusirnya, hanya satu kepal nasi membuatnya pergi mengejar dimana jatuhnya kepalan nasi itu.
Beruntung dan bersyukur berkat Tuhan atas keselamatan yang diberikan. Kami semua selamat tanpa adanya luka, hanya kengerian saja yang dirasakan. Seloroh yang lain "Mas, ini sebagai kenangan untuk anak cucu bahwa kami pernah dicegat babi saat mendaki" Ya saya juga sependapat dengan seloroh itu. Mungkin tanpa bertemu Bagas pendakian gunung Cikurai akan terasa gambar begitu saja, hanya kaki legal saja yang terngiang.
Rintik hujan masih saja meneteskan derainya, bak perempuan sedang putus cinta seminggu didera kesedihan. Gigitan udara semakin menghunus menuju lapisan kulit paling dalam, kadang hunusan itu masuk hampir pada tulang. Brrrrr jemari memutih dan pucat, rupa mayat. Tukang belakang lagi-lagi bergidik tanda adaptasi dan alarm tubuh akan serangan suhu rendah. Pos tujuh belum juga sampai, kaki semakin menggigil hingga tak mampu lagi. Keputusan terakhir adalah mendirikan tenda dan berganti pakaian yang basah agar terhindar dari derita hipotermia yang bisa membuat ruh terpental dari kadangnya.
Dari kesepakatan kami mendirikan tenda di Pos Tujuh Bayangan. Terlepas dari berdirinya tenda kami kembali menghadap yang Punya untuk berterima kasih dan juga kembali mengajukan harapan yang masih belum tercapai. Selepas sembahyang Isya, santap malam dimulai. Santap malam ini dari siaa bekal yang kami bawa dari rumah, dua kepalan nasi disantap oleh delapan mulut. Dan kenyang.
Santap malam dan kopi sudah menduduki lambung, kantuk mendera dengan buaian dingin yang selalu mengintai. Ancaman si 'Bagas' masih selalu mengintai, apalah daya rasa kantuk menghapus semua ancaman dan ketakutan. Aku tertawa di ruang mimpi, tertawa lepas dengan bahagia tanpa batas hingga mengganggu teman lainnya di sebelah tubuhku. Zaenal dan Imam terheran oleh ruang mimpiku yang keluar menjadi hal ganjil, seperti orang gila.
Kedamaian mimpi tertarik oleh suara gaduh dari alarm, semua terbangun pukul 03:15 WIB dan kembali molor karena keputusan yang masih mengambang dari kedua kapten: Rifki dan Angga. Saya sebagai penasehat hanya manut saja. Desakan dariku begitu kuat hingga akhirnya kami berangkat dan memulai membereskan tenda dari jam 04:15 WIB. Usai tertata rapi kami memohon kembali pada yang Kudus untuk sebuah rasa terima kasih dan proposal harapan yang belum terjadi.
Tarikan nafas semakin berat, partikel udara masih basah sehingga paru-paru sedikit banyak usaha untuk memasukannya. Beberapa kali istirahat untuk kelonggaran usaha dari paru-paru yang semakin loyo. Benang putih di timur sudah bergurat, kami belum juga sampai pos terakhir. Tanjakan dan batu terlewati bersamaan dengan hilangnya waktu, dan guratan ufuk melebar berganti warna mulai dari biru, jingga, kuning keemasan, dan merah. Sementara bintang selatan ketar-ketir melihat cahaya matahari menerobos semakin terang. Bulan yang membentuk celurit kian layu dan pucat. Hari semakin siang dan burung pun ikut terbangun.
Beruntung sekali kami masih diberi kesempatan untuk melihat sang surya berlabuh menampakkan matanya di awal hari. Begitu indahnya melebihi sihir Afrika yang dikenal memabukkan. Sisi timur yang mewarnai begitu indah berubah pada kilau yang menusuk mata, awan-awan bergumpal seperti kapuk yang turun dari pohon randu.
Sementara dari balik tenda dendangan dangdut modern menyanyikan lagu Terlena - Ikke Nurjanah. Ruang audioku penuh dan saraf memerintah untuk bergoyang ria, Azmi pun demikian. Lagu ini seakan menjadi theme song pendakian gunung Cikurai.
Masih terngiang di telingaku....Bisik cintamu
Betapa lembut dan mesranya
Aku terlena.....
Begitu berkesannya lagu ini hingga Ami merasa tenggelam! Foto demi foto terekam dari bilik kartu memori, yang lain memasak, yang lain memandangi kokohnya Papandayan di barat. Kesempurnaan yang indah, terima kasih Tuhan.
Kini harapan terkabul dan ucapan terima kasih kembali terucap, dan begitu pula harapan selanjutnya selalu muncul dan tak pernah habis hingga kematian datang. Langkah gontai menyambangi jalur yang pernah tercetak jejak kaki kemarin hari, pos ke pos kaki menjamah.
Pukul 12:00 WIB kami hampir mendekati Pos Satu, pos tempat simaksi diajukan. Dan pos yang bisa dibilang Basecamp. Sebelum pulang kami sengaja untuk masak untuk makan dan meminum secangkir kopi untuk menambah kekuatan.
Akhir paragraf, kami pulang dengan selamat sampai rumah masing-masing. Banyak cerita dari derita yang selalu teringat dan sebagai bekal untuk kehidupan lainnya. Ego demi ego ditekan untuk saling menjaga dan saling menghormati. Segala ucapan menjadi ajang pengendalian dan perenungan, setiap individu memberikan hak yang manis kepada semua. Saya berterima kasih untuk Azmi, Zaenal, Angga, Zia, Imam, Raihan dan Rifki atas segala cerita yang ada.
Komentar