Aku terlahir dari cangkang ibuku yang retak dipacuk bibirnya yang lancip. Betapa indah dunia di luar cangkang yang sedikit pengap itu, kini aku keluar darinya. Ibuku selalu memberikan yang terbaik untukku, menghangat badan di dalam pelukannya dan selalu melindungiku saat ada ancaman.
Singkat cerita, terdengar ucapan dari manusia bahwa desa sebelah sudah terkena serangan penyakit mematikan dan menular namanya cekak. Sebagai anak kecil yang tidak banyak pengalaman, saya hanya mendengarkan saja apa yang manusia bicarakan saat itu. Yang pasti diingat bahwa penyakit itu berupa flu, demam dengan diare parah hingga terdapat pembusukan di usus. Aku jadi ngeri kala teringat ucapan manusia.
Seminggu ucapan manusia berlalu dengan berita-berita menyeramkan dari para ayam dewasa dari kandang-kandang yang lain. Cerita semakin menyeramkan takala Si Pejantan Tangguh mulai bercerita soal kematian ayam yang semakin hari semakin meningkat. Wajah ibuku tampak risau, di ujung matanya terlihat kristal air yang semakin lama semakin luluh dan mengucur tanpa ia rasa. Aku bingung dengan apa yang ibu rasakan, entahlah aku hanya seorang bocah.
Si Pejantan Tangguh sudah memberikan nasehat untuk segenap kandang agar tidak pergi terlalu jauh dan selalu tetap di wilayahnya masing-masing, hingga wabah sudah hilang. Apa boleh dibuat banyak ayam-ayam yang 'kepala batu', susah diatur bahkan tidak peduli pada nyawanya yang cuma satu itu. Sementara ibuku selalu tampak gelisah, kami bertujuh selalu menghibur ibu. Tapi hiburan itu selalu membuatnya semakin menangisi. Ibu kadang tampak senyum kemudian menangis lagi, kadang dia mengelus kepala kami bertujuh. Setiap elusan terasa lembut, kadang ibu mendekap kami bertujuh, walaupun tidak ada hujan ataupun serangan dari hewan lain.
Ibu: "Nak ibu sangat mencintai kalian, ibu tidak banyak mewariskan apa-apa"
Aku: "Ada apa Bu? Kenapa ibu semakin hari semakin terlihat sedih?"
Ibu: "Aku khawatir nak, nanti jaga adik-adikmu ya. Ibu khawatir kalau ibu menjadi korban penyakit yang namanya cekak itu".
Anak-anak: "Ibu jangan sedih, kami mampu hidup Bu..."
Ibu: "Ibu percaya, anak-anak ku yang jagoan".
Saat itu ibu menyuapi kami seekor demi seekor serangga dan cacing hasil kerja keras cekernya yang kuat. Sesekali ibu menatap tajam padaku dan kembali matanya sembab. Aku termenung melihat ibu gelisah, nafsu makanku pun sedikit turun.
Satu hari ada paman datang dari kampung Ngalor Kandang. Saat itu kami tidak tahu bahwa kampung Ngalor Kandang sudah ada yang terinfeksi virus cekak. Berhubung tamu itu masih ada hubungan darah, tentu saja kami terima dengan baik tanpa ada kecurigaan apapun. Ibu menjamunya dengan sedikit cacing, serangga dan biji-bijian yang diperoleh pagi tadi. Paman datang dengan banyak kelih kesah hingga ibu kembali menangis, aku terdiam di sudut kandang yang besar.
Ibu: "Ada apa kamu ke sini mas Pitik?
Paman: "Mbak Yu.... Olah mbak yu....bojoku sudah meninggal dua hari lalu. Anakku yang selusin meninggal semua. Iki piye Yu? Åpå Gusti Allah wis ora welas asih mening?"
Ibu: "Astagfirullah mas, kok nembe dikabari siki. Ya Allah biung.... Mbak Babon mugi-mugi mlebu swargå"
Paman: "Ngapuranè Mbak Yu, aku ora kepikiran kanggo ngabari, Yu sekarang aku bingung, arep ngåpå meneh?".
Ibu: "Istighfar Mas Pitik, senajan iki memala kabeh ne Gusti".
Percakapan itu seperti tidak terputus hingga horizon di ujung barat membuat garis jingga. Paman Pitik pulang ke kampungnya yang lumayan jauh di Ngalor Kandang, sekitar sepuluh menit perjalanan jika dihitung dengan ukuran standar manusia. Kepergian Paman Pitik seperti sebuah tusukan keras pada ibu, tangisan demi tangisan membuat matanya bendul. Aku dan adikku hanya terdiam dan saling menatap kebingungan.
Dua hari setelah kepergian Paman Pitik, ibu mendadak malas untuk mencari cacing di sekitar Pawuan. Dia tampak malas, entah saking depresinya atas musibah ini atau dia memang terlalu capek. Aku mendekat ke tubuh ibu, wajahnya merah pekat, hidungnya keluar ingus jernih, suaranya parau tidak jelas. Kini ini tidak menangis hanya kehilangan suaranya dan diganti suara flu batuk. Ada hal yang tidak terduga saat aku mendekati ibu, ibu seperti kesurupan. Dia tidak suka lagi ke aku dan anak-anak lainnya, dia berteriak keras agar jangan mendekat.
Sebagai anak yang patuh, kami tidak mendekatinya, berharap ibu mempunyai waktu untuk istirahat dan segara sembuh. Kami tinggalkan ibu dengan kondisi yang memprihatinkan, samar-samar terdengar umpatan kasar ibu yang mengusir kami. Kami hanya menangis dan mematuhi perintah ibu untuk menghindarinya. Tangisku semakin menusuk hati saat suara kesakitan ibu masuk ke telinga. Saat menjerit kesakitan terdengar suara ibu yang berpesan untuk menjaga adik-adiku.
Jauh langkah ceker mencari makanan di Pawuan. Tidak ada lagi suara ibu dan tidak ada kerisauan yang menjelma di ruang pikiran, kini fokus kami adalah mencari makanan terenak untuk Ibu. Adik-adiku telah mengumpulkan sejumlah cacing besar nan segar dan beberapa serangga renyah. Rencana kami makanan yang terkumpul dimasak dan diracik dengan herbal untuk menunjang kesembuhan ibu. Racikan herbal ini pernah diajarkan ibu sebelumnya, aku ingat racikan herbal itu diberikan saat kami flu karena hujan-hujanan.
Gusti sing nduwèni. Itulah kalimat untuk menambah segenap hati, tanpa kalimat itu aku mungkin tersungkur jauh ke kegelapan. Setelah pulang dari Pawuan dan makanan sudah siap dihidangkan untuk ibu, namun ternyata ibu tidak ada di tempat. Hanya aroma ibu yang masih tercium di sudut kandang, kami bingung dan kami menangis mencari ibu. Kami berciak-ciak mencari ibu dari sisi timur ke barat kadang. Tak ada yang menjawab, ayam lainnya terdiam dan melihat kami sedih. Hingga tibalah Si Pejantan Tangguh memberi tahu kami bahwa ibu sudah dikubur oleh manusia tak jauh dari kampung Karang Lombok. Isak tangis kami pun menjelma memenuhi semua isi kandang.
Kini aku dewasa dan baru aku tahu penyebab ibu meninggal, aku tidak bisa menyalahkan siapa-siapa termasuk ibu ataupun paman Pitik. Bagiku ini adalah hal yang natural, tiada yang bisa disalahkan dalam dunia keayaman. Dari sekarang saya tahu apa itu musibah, bencana alam ataupun hal kehidupan lainnya. Bencana adalah hal netral bersifat natural (alami) yang muncul dari alam. Hanya kitalah yang mempersepsikan (merespon) sebagai bencana, karena terdapat penderitaan di dalamnya. Tanpa melibatkan "penderitaan" gunung meletus, tsunami, tanah longsor, gempa, dan wabah penyakit adalah hal netral yang alami.
Pada dasarnya hidup ini adalah hidup yang bersinggungan dengan musuh, manusia mengatakan "living with enemy" Yang diartikan sebagai segala yang hidup ada rintangan, musuh, hal yang tidak menyenangkan ataupun apapun yang bisa membuat sengsara. Dari kalimat itu membawa pengartian bahwa pencegahan ataupun manajemen krisis selalu diterapkan agar tidak banyak kesengsaraan yang timbul.
Harus paham bahwasanya bencana mempunyai hakekat kebaikan yang terkandung. Hakekat kebaikan ini langsung dari Tuhan, bukan dari yang lain. Tuhan yang bijaksana sudah mengatur segalanya, hanya kita yang berusaha dengan akal yang diberikan agar segala bencana dihadapi dengan penderitaan yang sedikit.
Inilah ceritaku Si Anak Ayam yang telah ditinggal induknya karena wabah cekak dua tahun yang lalu.
Cerita ini terinspirasi dari ayam peliharaan yang mati terkena wabah cekak dua tahun lalu dan cerita ini juga bisa diambil hikmahnya pada saat pandemi Covid-19.
Komentar