Langsung ke konten utama

Corat Coret Di Toilet - Eka Kurniawan

Tangisan Anak Ayam

Aku terlahir dari cangkang ibuku yang retak dipacuk bibirnya yang lancip. Betapa indah dunia di luar cangkang yang sedikit pengap itu, kini aku keluar darinya. Ibuku selalu memberikan yang terbaik untukku, menghangat badan di dalam pelukannya dan selalu melindungiku saat ada ancaman. 

Singkat cerita, terdengar ucapan dari manusia bahwa desa sebelah sudah terkena serangan penyakit mematikan dan menular namanya cekak. Sebagai anak kecil yang tidak banyak pengalaman, saya hanya mendengarkan saja apa yang manusia bicarakan saat itu. Yang pasti diingat bahwa penyakit itu berupa flu, demam dengan diare parah hingga terdapat pembusukan di usus. Aku jadi ngeri kala teringat ucapan manusia.

Seminggu ucapan manusia berlalu dengan berita-berita menyeramkan dari para ayam dewasa dari kandang-kandang yang lain. Cerita semakin menyeramkan takala Si Pejantan Tangguh mulai bercerita soal kematian ayam yang semakin hari semakin meningkat. Wajah ibuku tampak risau, di ujung matanya terlihat kristal air yang semakin lama semakin luluh dan mengucur tanpa ia rasa. Aku bingung dengan apa yang ibu rasakan, entahlah aku hanya seorang bocah.

Si Pejantan Tangguh sudah memberikan nasehat untuk segenap kandang agar tidak pergi terlalu jauh dan selalu tetap di wilayahnya masing-masing, hingga wabah sudah hilang. Apa boleh dibuat banyak ayam-ayam yang 'kepala batu', susah diatur bahkan tidak peduli pada nyawanya yang cuma satu itu. Sementara ibuku selalu tampak gelisah, kami bertujuh selalu menghibur ibu. Tapi hiburan itu selalu membuatnya semakin menangisi. Ibu kadang tampak senyum kemudian menangis lagi, kadang dia mengelus kepala kami bertujuh. Setiap elusan terasa lembut, kadang ibu mendekap kami bertujuh, walaupun tidak ada hujan ataupun serangan dari hewan lain. 

Ibu: "Nak ibu sangat mencintai kalian, ibu tidak banyak mewariskan apa-apa"
Aku: "Ada apa Bu? Kenapa ibu semakin hari semakin terlihat sedih?"
Ibu: "Aku khawatir nak, nanti jaga adik-adikmu ya. Ibu khawatir kalau ibu menjadi korban penyakit yang namanya cekak itu".
Anak-anak: "Ibu jangan sedih, kami mampu hidup Bu..."
Ibu: "Ibu percaya, anak-anak ku yang jagoan".

Saat itu ibu menyuapi kami seekor demi seekor serangga dan cacing hasil kerja keras cekernya yang kuat. Sesekali ibu menatap tajam padaku dan kembali matanya sembab. Aku termenung melihat ibu gelisah, nafsu makanku pun sedikit turun.

Satu hari ada paman datang dari kampung Ngalor Kandang. Saat itu kami tidak tahu bahwa kampung Ngalor Kandang sudah ada yang terinfeksi virus cekak. Berhubung tamu itu masih ada hubungan darah, tentu saja kami terima dengan baik tanpa ada kecurigaan apapun. Ibu menjamunya dengan sedikit cacing, serangga dan biji-bijian yang diperoleh pagi tadi. Paman datang dengan banyak kelih kesah hingga ibu kembali menangis, aku terdiam di sudut kandang yang besar. 

Ibu: "Ada apa kamu ke sini mas Pitik?
Paman: "Mbak Yu.... Olah mbak yu....bojoku sudah meninggal dua hari lalu. Anakku yang selusin meninggal semua. Iki piye Yu? Åpå Gusti Allah wis ora welas asih mening?"
Ibu: "Astagfirullah mas, kok nembe dikabari siki. Ya Allah biung.... Mbak Babon mugi-mugi mlebu swargå"
Paman: "Ngapuranè Mbak Yu, aku ora kepikiran kanggo ngabari, Yu sekarang aku bingung, arep ngåpå meneh?".
Ibu: "Istighfar Mas Pitik, senajan iki memala kabeh ne Gusti".

Percakapan itu seperti tidak terputus hingga horizon di ujung barat membuat garis jingga. Paman Pitik pulang ke kampungnya yang lumayan jauh di Ngalor Kandang, sekitar sepuluh menit perjalanan jika dihitung dengan ukuran standar manusia. Kepergian Paman Pitik seperti sebuah tusukan keras pada ibu, tangisan demi tangisan membuat matanya bendul. Aku dan adikku hanya terdiam dan saling menatap kebingungan.

Dua hari setelah kepergian Paman Pitik, ibu mendadak malas untuk mencari cacing di sekitar Pawuan. Dia tampak malas, entah saking depresinya atas musibah ini atau dia memang terlalu capek. Aku mendekat ke tubuh ibu, wajahnya merah pekat, hidungnya keluar ingus jernih, suaranya parau tidak jelas. Kini ini tidak menangis hanya kehilangan suaranya dan diganti suara flu batuk. Ada hal yang tidak terduga saat aku mendekati ibu, ibu seperti kesurupan. Dia tidak suka lagi ke aku dan anak-anak lainnya, dia berteriak keras agar jangan mendekat. 

Sebagai anak yang patuh, kami tidak mendekatinya, berharap ibu mempunyai waktu untuk istirahat dan segara sembuh. Kami tinggalkan ibu dengan kondisi yang memprihatinkan, samar-samar terdengar umpatan kasar ibu yang mengusir kami. Kami hanya menangis dan mematuhi perintah ibu untuk menghindarinya. Tangisku semakin menusuk hati saat suara kesakitan ibu masuk ke telinga. Saat menjerit kesakitan terdengar suara ibu yang berpesan untuk menjaga adik-adiku.

Jauh langkah ceker mencari makanan di Pawuan. Tidak ada lagi suara ibu dan tidak ada kerisauan yang menjelma di ruang pikiran, kini fokus kami adalah mencari makanan terenak untuk Ibu. Adik-adiku telah mengumpulkan sejumlah cacing besar nan segar dan beberapa serangga renyah. Rencana kami makanan yang terkumpul dimasak dan diracik dengan herbal untuk menunjang kesembuhan ibu. Racikan herbal ini pernah diajarkan ibu sebelumnya, aku ingat racikan herbal itu diberikan saat kami flu karena hujan-hujanan. 

Gusti sing nduwèni. Itulah kalimat untuk menambah segenap hati, tanpa kalimat itu aku mungkin tersungkur jauh ke kegelapan. Setelah pulang dari Pawuan dan makanan sudah siap dihidangkan untuk ibu, namun ternyata ibu tidak ada di tempat. Hanya aroma ibu yang masih tercium di sudut kandang, kami bingung dan kami menangis mencari ibu. Kami berciak-ciak mencari ibu dari sisi timur ke barat kadang. Tak ada yang menjawab, ayam lainnya terdiam dan melihat kami sedih. Hingga tibalah Si Pejantan Tangguh memberi tahu kami bahwa ibu sudah dikubur oleh manusia tak jauh dari kampung Karang Lombok. Isak tangis kami pun menjelma memenuhi semua isi kandang.

Kini aku dewasa dan baru aku tahu penyebab ibu meninggal, aku tidak bisa menyalahkan siapa-siapa termasuk ibu ataupun paman Pitik. Bagiku ini adalah hal yang natural, tiada yang bisa disalahkan dalam dunia keayaman. Dari sekarang saya tahu apa itu musibah, bencana alam ataupun hal kehidupan lainnya. Bencana adalah hal netral bersifat natural (alami) yang muncul dari alam. Hanya kitalah yang mempersepsikan (merespon) sebagai bencana, karena terdapat penderitaan di dalamnya. Tanpa melibatkan "penderitaan" gunung meletus, tsunami, tanah longsor, gempa, dan wabah penyakit adalah hal netral yang alami.

Pada dasarnya hidup ini adalah hidup yang bersinggungan dengan musuh, manusia mengatakan "living with enemy" Yang diartikan sebagai segala yang hidup ada rintangan, musuh, hal yang tidak menyenangkan ataupun apapun yang bisa membuat sengsara. Dari kalimat itu membawa pengartian bahwa pencegahan ataupun manajemen krisis selalu diterapkan agar tidak banyak kesengsaraan yang timbul.

Harus paham bahwasanya bencana mempunyai hakekat kebaikan yang terkandung. Hakekat kebaikan ini langsung dari Tuhan, bukan dari yang lain. Tuhan yang bijaksana sudah mengatur segalanya, hanya kita yang berusaha dengan akal yang diberikan agar segala bencana dihadapi dengan penderitaan yang sedikit.

Inilah ceritaku Si Anak Ayam yang telah ditinggal induknya karena wabah cekak dua tahun yang lalu.

Cerita ini terinspirasi dari ayam peliharaan yang mati terkena wabah cekak dua tahun lalu dan cerita ini juga bisa diambil hikmahnya pada saat pandemi Covid-19. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nama-nama Tai

Sega, beras yang ditanak Apa benar bahasa Jawa itu terlalu 'manut' ke bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris? Tampaknya ada benarnya juga, bahasa Jawa terpengaruh/meminjam banyak kosa kata dari bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Kekurangan kosakata dalam bahasa Jawa memang kebanyakan untuk hal-hal seperti teknologi ataupun hal lainnya. Jangan berkecil hati untuk penutur bahasa Jawa di seluruh dunia! Perlu diingatkan bahasa Jawa mempunyai keunikan tersendiri, misalnya saja untuk belajar bahasa Jawa 'satu paket' atau juga keseluruhan dari bahasa kasar/ngoko, bahasa sedang/madya hingga bahasa halus/kromo, sama saja belajar tiga bahasa!! Bayangkan belajar tiga bahasa, apa gak repot ya?! Itulah keistimewaan bahasa Jawa. Bersyukur! Berbagai keistimewaan bahasa Jawa juga terdapat di istilah-istilah yang sangat detail/spesifik pada suatu beda yang mengalami sebuah perubahan sedikit maupun perubahan besar. Misalnya saja untuk rangkaian nama dari sebuah padi/po

Menegang dan Mengeras Oleh Nyai Gowok

Ah...sialan! Padahal aku sudah kenal buku ini sejak Jakarta Islamic Book Fair tahun 2014 lalu! Menyesal-menyesal gak beli saat itu, kupikir buku itu akan sehambar novel-novel dijual murah. Ternyata aku salah, kenapa mesti sekarang untuk meneggang dan mengeras bersama Nyai Gowok. Dari cover buku saya sedikit kenal dengan buku tersebut, bang terpampang di Gramedia, Gunung Agung, lapak buku di Blok M dan masih banyak tempat lainnya termasuk di Jakarta Islamic Book Fair. Kala itu aku lebih memilih Juragan Teh milik Hella S Hasse dan beberapa buku agama, yah begitulah segala sesuatu memerlukan waktu yang tepat agar maknyus dengan enak. Judul Nyai Gowok dan segala isinya saya peroleh dari podcast favorit (Kepo Buku) dengan pembawa acara Bang Rame, Steven dan Mas Toto. Dari podcast mereka saya menjadi tahu Nyai Gowok dan isi alur cerita yang membuat beberapa organ aktif menjadi keras dan tegang, ah begitulah Nyi Gowok. Jujur saja ini novel kamasutra pertama yang saya baca, sebelumnya tidak pe

Mengenal Tanaman Kangkung Bandung (Kangkung Pagar)

Kangkung Bandung, sudah tahu tanaman ini? Menurut buku  biologi tanaman ini berasal dari Amerika Latin (Colombia, Costa Rica). Ciri tanaaman ini tumbuh tidak terlalu tinggi cuma sekitar satu meter sampai dua meter maksimal tumbuhnya. Kangkung Bandung tidak bisa dimakan layaknya kangkung rabut atau kangkung yang ditanam di atas air. Bentuk daun menyerupai kangkung yang bisa dimasak (bentuk hati) begitu juga dengan bentuk bunganya. Bunganya berbentuk terompet berwarna ungu muda terkadang juga ada yang berwarna putih. Batang Kangkung Bandung cukup kuat sehingga memerlukan tenaga cukup untuk memotongnya (tanpa alat).  Tanaman Kangkung Bandung Sebagai Patok Alami Pematang Sawah Fungsi dan manfaat Kangkung Bandung sendiri belum diketahui banyak, beberapa sumber mengatakan tanaman ini bisa dijadikan obat dan dijadikan kertas. Pada umumnya masyarakat desa menjadikan Kangkung Bandung sebagai tanaman untuk ciri (patok) batas antar pemantang sawah. Daya tumbuh tanaman ini cukup baik d