Adalah pertama membaca karya Dee Lestari dan memang terlambat dengan pembaca lainnya. Terlalu banyak karangan penulis lainnya yang belum terbaca, sehingga Dee Lestari terlupa. Aku membaca bukunya juga dalam lingkungan ilegal, membaca lewat format buku elektronik yang dibajak orang. Maaf kan saya mengambil dengan cara haram ini.
Banyak karya Dee yang saya kenal dari rak-rak toko buku kecil maupun besar di kota maupun di kampungku. Aduhai saku tak mampu membayarnya, hingga akhirnya aku menemukan barang haram ini. Karya Dee yang pernah saya cicipi dua halaman saja adalah Supernova. Dan aku lupa. Tapi ada yang ingat di mana ada bagian percintaan tanpa batas gender. Tahun ini 2020, saya membaca Filosofi Kopi. Buku yang meledak dengan sejumlah kafe-kafe di Indonesia.
Pertama saya kira bahwa Filosofi Kopi merupakan novel ataupun trilogi seperti Supernova. Aku salah kira, dan itu terampuni. Buku Filosofi Kopi ternyata sebuah kumpulan cerita pendek alias cerpen yang berisi delapan belas judul. Suatu hal yang mengasikan pada akhir pekan untuk membaca buku yang berhalaman 147 ini, dua hingga tiga jam selesai dengan pemaknaan sempurna.
Saya menemukan hal yang berbeda pada gaya penulisan Dee. Entah kenapa saya lebih cocok dengan gaya dia dalam menulis, jika dibandingkan dengan penulis Indonesia kontemporer lainnya Dee adalah salah satu yang cocok denganku. Lugas, sederhana, apik terus apalagi ya? Banyak sekali pujian dari pribadi saya untuknya.
Pada buku ini saya mendapatkan cubitan perih tentang cinta, hakekat, kehidupan dan semua yang ada. Aku sadar sedikit banyak yang mirip dengan yang dirasakan, seperti kopi. Dee dengan bahasannya masuk ke alam pikiranku untuk menyamakan cerita yang ada dan aku menerima dengan kelapangan pikiran. Dan aku menangisi jalanku selama ini. Suatu karya yang luar biasa karena air mata yang membuat kemarau di pipi berakhir.
Di sini saya tidak akan membahas satu persatu judul cerpen-nya, banyak penulis blog ataupun website lainnya yang sudah menuliskan. Di sini saya hanya menulis pengalaman yang dirasakan saja. Tentu saja ini subjektif.
Ada kebingungan pada cinta yang diceritakan khususnya pada judul Sikat Gigi. Dialektika cinta terjadi yang penuh tanya, keinginan dan hal di luar yang biasa. Pada Sikat Gigi aku merasa sesak. Begitu juga pada Filosofi Kopi, yang merasa sempurna akan tercubit pedas. Selain kebingungan cinta, ada juga lelucon di dalamnya terutama pada judul Rico De Coro dimana Kecoa jatuh cinta pada manusia dan Buddha Bar yang bercerita percintaan tanpa batas gender. Ada kutipan yang membuat saya senyum, tapi ini ada. "Omen percaya bahwa dirinya adalah perempuan dalam tubuh lelaki, tapi perempuan itu lesbi, jadi Omen yang bertubuh lelaki masih menyukai perempuan".
Untuk buku Dee Lestari saya kasih nilai 3! Untuk keterangan buku saya tidak sertakan karena sudah terlalu banyak dibahas orang di blog atau webnya masing-masing. Tulisan ini cuma remehan yang diadakan demi menjadi alarm kelak.
Komentar