Ini adalah sekuel dari cerpen "Tangisan Anak Ayam".
Kematian ibu adalah bencana yang menyengsarakan bagi kami, terlebih adik-adiku yang sudah melanggar perintah ibu. Mereka mati satu persatu hingga mayatnya tidak diketahui dimana berada, entah dikubur oleh manusia atau tergeletak di atas permukaan tanah terbuka. Kini kami hanya hidup berdua Aku dan adikku yang bernama Ciak. Hidup kami semakin tidak jelas dan penuh kesengsaraan, beruntung Ciak bisa berbahasa Sunda yang membuat kehidupan kami lebih baik. Dengan bergaul dengan berbahasa Sunda, Ciak bisa diterima oleh kawanan ayam lainnya yang berbahasa Sunda. Sementara aku yang hanya bisa berbahasa Jawa hanya terdiam saja sambil mengingat kosakata yang muncul dari mulut Ciak.
Nama Ciak sendiri diberikan khusus dari komunitas ayam Sunda, nama yang lucu dan menggemaskan. Sebelumnya nama Ciak adalah Kuthuk, kadang dipanggil Uthuk oleh mendiang ibu. Berkat dialah kami makan dengan kelapangan wilayah yang luas, bukan hanya di wilayah Pawuan saja. Kini kami mencari makanan sampai ke desa Paruntahan yang sejahtera dan termasuk wilayah tanpa wabah.
Tiap hari kami selalu memanggil ibu kesana kemari, penuh sudah kesengsaraan kami saat memanggil ibu dengan air mata yang tak henti. Pekak suara dari paruh kami membuat ayam yang lain benci, tak peduli dan muak. Hanya pekakakan suara inilah yang membuat rindu pada ibu semakin terasa dekat, sehangat delapan ibu. Bahkan manusia pun menggambarkan penderitaan kami sebagai sebuah pribahasa "Bagai anak ayam kehilangan induknya". Sungguh penderitaan yang tak tergambarkan.
Hujan terjatuh dari langit serupa dengan kesengsaraan yang bertambah, tidak ada tempat berlindung, tidak ada kehangatan sayap dari ibu, ancaman demi ancaman datang. Berutung petuah dari ibu selalu kami pegang terutama untuk menghindari wilayah yang ada wabahnya. Setiap kami mendekati ayam lainnya punggung kami selalu dipukul dengan paruhnya yang tajam. Aku kesakitan, tapi hanya menerima begitu saja, tidak ada kekuatan berarti dari tubuhku. Ciak yang cantik terisak sendu saat ayam lainnya memukul dengan paruhnya, kulit putih Ciak membiru. Darah merah yang beku membiru di setiap sudut tubuh Ciak, bulu-bulu rontok bukan karena tidak memakai sampo, tapi karena gangguan ayam lainnya. Sempurnalah kesengsaraan ini.
Perawan tua dari Bangkok itu melihat dengan sinis, wajahnya seperti senang melihat penderitaan kami berdua. Wajar saja Si Perawan Tua dari Bangkok dulu pernah punya masalah dengan ibuku, memang kehidupan ini terlalu banyak masalah hingga bertetangga saja bermusuhan. Kisah pendek dari permusuhan ini memang berasal dari mulut busuk Si Perawan Tua dari Bangkok. Singkat cerita ibuku sedang hamil dan siap mengerami aku dan adik-adikmu.
Si Bangkok: "Cih... Jadi betina kok murahan sekali! Sama siapa-siapa mau! Ih najis banget. Kali-kali pilih pejantan yang keren dan berduit kek"
Ibu: "Tutup mulutmu Bangkok!"
Si Bangkok: "Hmmm mulut betina yang najis selalu begitu! Selalu berusaha menutup kenajisannya dengan kepedihan".
Ibu: "Bangkok, ini urusan dan hidupku. Aku memilih ini karena cinta, bukan karena ketangguhan Pejantan ataupun karena kekuasaan yang luas".
Si Bangkok: "Sok pilih cinta! Yang utama adalah kekuasaan wilayah!".
Ibu terdiam dengan pilihannya, namun Si Bangkok selalu mendesaknya dengan kalimat yang menyakitkan hati. Saat itu ibu juga tidak mengeluarkan kalimat yang buruk pada Si Bangkok yang masih perawan pada usia lebih dari setahun dalam hitungan kalender manusia. Sejak saat itulah ibu dan Si Bangkok bermusuhan, hingga aku terlahir. Saat aku masih anak-anak Ibu selalu melindungiku dari gangguan Si Bangkok yang 'ringan tangan'.
Mata Si Bangkok Perawan Tua melirik tajam ke arah kami berdua, di pojok kandang dia bersenda gurau dengan ayam lainnya yang tak kalah sinisnya. Tak sedikit umpatan kasar keluar melecehkan Aku dan adikku, sungguh ini sudah di luar batas. Saking tidak tahannya, kami keluar kandang saat hujan sangat deras. Guntur menggelegar bak pecut dewa pun tak pernah aku hiraukan, kami hanya meneriakan nama ibu.
Ibu...ibu...ibu...ibu...
(Piyek...piyek...piyek...piyek...)
Dua jam dalam kedinginan hujan akhirnya kami menyerah dengan segala upaya kosong tentang ibu. Kini kami kembali ke kandang dengan basah kuyup, tak satupun perduli. Hanya bola mata sinis yang memandang ataupun patukan kasar dari ayam lainnya yang terganggu oleh kami. Si Bangkok tak ketinggalan mematuk kami hingga kulit membiru hingga tercabutnya bulu kami. Pedih.
Dua hari berlalu dengan hal yang sama, namun kali ini bertambah pula penderitaan kami dimana Ciak demam karena hujan-hujanan kemarin. Aku bersusah payah untuk menghangatnya dengan mendekatkan tubuhnya, sementara di sudut kandang Si Bangkok memperhatikan dengan matanya yang tajam. Ada bahasa tersendiri di dalam matanya, seperti mata ibu yang penuh kasih.
Bahasa mata memang tidak bisa membohongi, Si Bangkok Perawan Tua memdekati kami perlahan. Dia memberikan sejumlah serangga untuk kesembuhan Ciak. Di sini Aku sangat bersyukur sekali atas perubahan pada sikapnya. Tanpa curiga apapun saya menerima ketulusan dari Si Bangkok.
Hanya Si Bangkok Perawan Tua saja yang peduli pada Ciak yang menderita flu, mana ada orang yang peduli saat terjadinya wabah flu cekak ini. Semua ayam takut akan tertular, terlebih Si Pejantan Tangguh yang ingin menyingkirkan kami dari kandang. Beruntung Si Bangkok Perawan Tua membela kami dan melindungi kami.
Si Bangkok Perawan Tua adalah seekor ayam Bangkok yang terpelajar pernah bersekolah di wilayah Chiang Mau, Thailand Utara. Dia pernah bersekolah di fakultas kedokteran, hanya saja ke-egoisannya dia pergi mengembara ke Indonesia dan melupakan keluarganya di Bangkok sana. Sekali lagi berkat ilmu kesehatan yang pernah dipelajari Si Bangkok kami selamat dan tetap tinggal di kandang. Terlebih lagi si Pejantan Tangguh ini cukup percaya pada Si Bangkok.
Tubuhnya yang besar melebihi ibu, Si Bangkok mulai merangkul kami. Awal sekali kami terasa kikuk, seakan hal yang ajaib muncul dihadapan kami. Seekor musuh abadi menjadi selembut ibu dari surga. Pada hari kedua kami diperlakukan seperti anaknya sendiri, kami masuk dalam dekapan hangan sayapnya gang penuh bulu. Aku bersyukur atas berkat Tuhan yang tak pernah diduga.
Ada satu hal istimewa dari ibu sambungku ini, saat Pejantan dari Kandang Wetan datang untuk meminang dia bersikap seperti ibu yang selalu menolak halus. Tolakan kawin dari ibu sambungku seperti tolakan ibu ayam yang baru saja menetaskan telurnya. Lirih, seperti kesakitan dan melebarkan sayap dan menegangkan bulu sebagai tanda mempunyai anak yang baru menetas. Aku cukup heran dengan perilaku ibu sambuku, padahal ibu sambungku ini statusnya perawan yang belum pernah kawin ataupun bertelur. Sungguh hal ajaib, kadang aku berpikir apakah di Bangkok Thailand sana kesetiaan para betina seperti itu.
Hari-hari kami menjadi cerah seperti musim semi yang indah. Tak pernah kulewatkan akan rasa syukur atas Kahadirat Tuhan yang bisa membuat kawanan ayam mengasihi selain anaknya. Setiap hari kami disuapi cacing, kadang biji-bijian yang diperoleh di desa Paruntahan yang jauh itu. Sampai dewasa kami diurus oleh ibu sambung kami, Si Bangkok Perawan Tua.
Kini kami dewasa sudah, aku menjadi Pejantan terkemuka dengan bulu yang indah turunan dari ibuku. Sementara Ciak dipinang oleh kekasihnya dari Paruntahan dan menikah dengan Pejantan unggul di sana, anaknya pun bisa berbahasa Sunda dan Jawa. Sementara ibu sambungku setelah membesarkan kami dia jatuh cinta pada Pejantan impiannya, dia memilih pejantan lokal yang gagah ketimbang dari bangsa ayam lainnya.
Cerita ini terinspirasi dari kisah nyata yang diambil dari ayam saya (penulis) yang mati karena cekak dan menyisakan anaknya yang 12 dan menyisakan 2 ekor saja. Selanjute 2 ekor anak ayam ini ternyata diadopsi oleh ayam Bangkok yang masih perawan. Prilaku ayam Bangkok ini juga tidak biasa yakni dengan bersikap seperti ibu ayam yang mengasihi anaknya. Hingga dua anak ayam dewasa itu besar, barulah si ayam Bangkok yang perawan tua ini kawin dengan pejantan. Suatu hal ajaib!.
Komentar