Ayahnya sedang sekarat, namun ucapannya membawa gedeg istrinya. Cemburu besar itu membawa istrinya pada sebuah keadaan yang memuakan. Sementara anak-anaknya masih kebingungan dengan sosok yang bernama Jeng Yah. Romo alias ayah ini selalu mengigau dengan nama Jeng Iyah, bagi anak-anaknya igauan ini merupakan satu pertanda akan permintaan terakhir dalam kehidupan, oleh karena itu Lebas berinisiatif untuk mencari Jeng Yah di kota kelahirannya, Kudus.
Bahasa gado-gado ala Indonesia modern masuk ke novel ini, bagi yang kurang kosakata harus rajin membuka kamus bahasa Inggris ataupun kamus gaul. Tapi saya percaya orang muda Indonesia paham dengan gaya bahasa dan kosa kata dalam novel ini. Selain bahasa Indonesia Inggris juga banyak menyisipkan bahasa Jawa, untungnya ada catatan kecil di akhir bab sebagai kunci penerjemahan bahasa Jawa ke bahasa Indonesia. Bisa disebut sastra Indonesia modern dengan tulisan gaya slengean, bahasa campuran dan tidak banyak bahasa pengandaian.
Titik nikmat dari novel ini berada pada cerita kejadian yang menyebabkan sang Ayah (Romo) ngelindur soal Jeng Yah. Sosok Jeng Yah inilah yang menjadi jalan cerita lebih menarik, terlebih lagi latar belakang cerita mundur beberapa generasi dari sang anak (Lebas). Bertempat di Jawa Tengah, pada zaman kolonial Belanda, Jepang dan kemerdekaan. Mungkin cerita ini representasi kecil dari konflik Mr Crab dan Plankton, ya walaupun beda cerita tapi ada inti cerita yang sama, yakni soal resep.
Ada satu hal yang bagiku kurang greget yakni hubungan kakak beradik antara Lebas dan Tegar. Hubungan kakak beradik laki-laki ini serasa intim dan manja, entah kenapa aku merasa membaca hubungan mereka seperti hal yang manja. Padahal Lebas sendiri digambarkan sebagai orang yang serampangan dan anak aliran Bob Marley! Apa mungkin karena penulisnya perempuan jadi dia menulis cerita kakak beradik laki-laki ini seperti 'beraura' hubungan kakak beradik perempuan. Dan bisa jadi penulis ini terbawa kehidupan sehari-harinya sebagai perempuan dan tertuang pada cerita Lebas dan Tegar. Pada umumnya laki-laki yang sudah dewasa terlebih lagi yang mempunyai aliran tertentu lebih cuwek dan lebih pendiam.
Oh ya ternyata novel ini ditulis oleh istri dari penulis besar sastra kekinian Indonesia, Eka Kurniawan.
Judul: Gadis Kretek
Penulis: Ratih Kumala
Cetakan: Maret 2012 (Pertama)
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 978-979-22-8141-5
Komentar